Toleransi Tetap Bersemi Meski Pandemi Mendera Kota Wali
Toleransi di Cirebon tetap bersemi meski pandemi. Perbedaan tidak membuat nilai kemanusiaan luntur tapi justru saling menguatkan.
Oleh
Abdullah Fikri Ashri
·5 menit baca
Pandemi Covid-19 tidak mampu mematikan toleransi keberagaman di Kota Cirebon, Jawa Barat. Warga yang berbeda latar belakang saling dukung, mulai dari vaksinasi hingga isolasi mandiri. Toleransi “Kota Wali” pun tetap bersemi.
Jika ingin memotret keguyuban saat pandemi, datanglah ke Gereja Santo Yusuf di Jalan Yos Sudarso, Lemahwungkuk, Kamis (9/9/2021) mendatang. Warga yang mengenakan salib hingga jilbab bakal berkumpul di sana untuk menjalani vaksinasi dosis kedua Covid-19.
Saat vaksinasi dosis pertama di gedung serba guna, Kamis (12/8) lalu, kerukunan itu terasa. Remaja gereja memandu peserta vaksinasi, termasuk yang muslim. Mereka divaksin di dekat patung Yesus dan patung Bunda Maria.
“Enggak apa-apa sih. (Vaksin) di mana aja sama. Ini kan toleransi,” kata Yoan Periyana (19), peserta vaksinasi. Perempuan berhijab ini justru bersyukur mengikuti vaksinasi di Gereja Santo Yusuf.
“Tadi pagi saya mau kerja. Syaratnya, harus divaksin dulu. Ke Puskesmas Kesunean cari info, tapi vaksinnya habis. Pas lewat gereja ada ramai-ramai. Ternyata, ada vaksinasi. Saya langsung ke sini,” kata pekerja di toko perlengkapan bayi ini.
Selain kehabisan vaksin, Yoan sebelumnya mengaku belum divaksin karena takut. Lulusan sekolah menengah atas ini termakan kabar bohong soal vaksin berbahaya. Tuntutan pekerjaan dan banyaknya warga yang ingin divaksin mengubah pandangannya.
“Sakit, enggak. Lebih sakit dari pada ditinggalin pacar ya?” canda Yoan sebelum jarum suntik menyentuh kulitnya. Ia dan petugas vaksinator tersenyum. Mereka lantas berfoto dengan latar spanduk “Gerai Vaksin Keliling TNI-Polri”.
Reina Azzahra (15), juga tidak mempersoalkan vaksinasi di gedung serba guna gereja. “Kata orangtua, enggak apa-apa. Ini toleransi, semua sama aja, yang penting saling menghargai,” kata perempuan berhijab yang baru pertama kali masuk lingkungan gereja ini.
Siswa SMKN 2 Kota Cirebon ini justru kagum dengan arsitektur Gereja Santo Yusuf. Bangunan kolonial yang didirikan mulai 1878 ini termasuk cagar budaya berdasarkan keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik pada 2010.
Bersama kakaknya, Reina awalnya berburu vaksin di Puskesmas Pamengkang, Kabupaten Cirebon, sekitar 8 kilometer dari gereja. Namun, stok vaksin terbatas. Ia lalu mencoba mendaftar vaksinasi secara daring di Sekolah Santa Maria. Lagi-lagi, ia tak kebagian tempat.
Beruntung, Polres Cirebon Kota bersama Gereja Santo Yusuf menggelar vaksinasi dengan kuota 1.000 orang. Ia pun turut serta. “Vaksin ini anjuran pemerintah supaya tambah imun. Semoga enggak kena Covid-19,” ucapnya.
Romo Yulius Hirnawan, mantan Kepala Paroki Gereja Santo Yusuf, mengatakan, kegiatan vaksinasi di gereja yang ia inisiasi sempat diragukan sejumlah pihak, utamanya soal keamanan. Apalagi, sejumlah pelaku teroris berasal dari Cirebon.
Pada 2011 silam, masjid di Mapolres Cirebon Kota diguncang bom. Sedikitnya 29 orang luka-luka akibat bom bunuh diri yang dilakukan M Syarif, warga Cirebon, itu. Hingga kini, sekitar 70 warga Cirebon dan sekitarnya tertangkap Densus 88 Antiteror (Kompas, 23/2/2021).
Di sini (gereja) ruang publik untuk melepas semua sekat agama. Vaksin ini gerakan kemanusiaan. Saya mau memperlihatkan potret kebhinekaan itu (Romo Yulius Hirnawan)
Akan tetapi, pengalaman kelam itu tidak menghalangi Yulius menjadikan lingkungan gereja sebagai wadah vaksinasi. “Di sini (gereja) ruang publik untuk melepas semua sekat agama. Vaksin ini gerakan kemanusiaan. Saya mau memperlihatkan potret kebhinekaan itu,” katanya.
Sekitar lima tahun di Cirebon, Yulius merasakan kehangatan itu. Ia kerap dibantu organisasi masyarakat Islam, seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. “Kami mau melawan isu sentimen agama. Gereja ini bagian dari masyarakat Cirebon,” ujarnya.
Isolasi mandiri
Saling bantu tanpa memandang sekat agama juga dilakukan Suara Gratia Cirebon, radio yang kerap menyiarkan ibadah minggu umat kristiani. Melalui program Catering Bantu Aku, radio ini membagikan makanan gratis bagi warga yang melakukan isolasi mandiri (isoman).
Paket berisi nasi dan lauk-pauk itu diantar langsung untuk santap siang dan malam sejak Senin (12/7). “Total dari hari pertama sampai terakhir 20 Agustus, 4.162 paket sudah disalurkan. Banyak yang muslim juga daftar,” kata Diah Anggraeni dari tim Catering Bantu Aku.
Diah menegaskan, bantuan makanan untuk warga isoman merupakan program kemanusiaan, semua umat bisa mengaksesnya. “Bahkan, ada orang Malang (Jawa Timur) menyumbangkan uang. Dia seorang muslim yang kehilangan ibunya karena Covid-19,” paparnya.
Inspiration House (IH), komunitas yang bergerak di bidang pendidikan dan toleransi sejak 2014, juga ambil bagian dalam penanganan pandemi di Cirebon. Belasan anak muda ini rutin menggelar doa lintas iman via daring setiap pekan sejak pandemi melanda April 2020 lalu.
Selain bermunajat agar pandemi segera usai, mereka juga saling mendoakan jika ada yang sakit. Kegiatan ini turut menguatkan Eka Wulan Yunita (21), koordinator acara doa lintas iman. “Mau dilihat atau tidak dilihat, kami akan terus berdoa,” ujarnya.
Cici Situmorang (33), pendiri IH, bersyukur acara tersebut tetap awet. ”Yang kami enggak nyangka, sejak doa bersama, ada saja berkah, seperti sembako dan uang donasi,” ungkap Cici, yang bersama anggota IH lainnya mendampingi puluhan anak kurang mampu di Cirebon.
Jauh sebelum pandemi Covid-19, kolaborasi berbeda latar belakang telah berlangsung di Cirebon. Pada awal abad ke-19, misalnya, pemerintah, swasta, dan masyarakat mendirikan Perkumpulan Akan Menolong Ibu Terus Rawat Anak Nusunya atau dikenal dengan Pamitran (Zaenal Masduqi: 2011).
Pamitran dimaksudkan memberi pertolongan dan perawatan kepada ibu bersalin dan anak susuannya. Belakangan, rumah sakit bersalin itu menjadi cikal bakal Rumah Sakit Daerah Gunung Jati yang dibangun 1921.
Salah satu donaturnya adalah Mayor Tan Tjin Kie, pimpinan Tionghoa saat itu. Padahal, rumah sakit itu merawat warga Cirebon, dari keturunan Tionghoa, Arab, Eropa, juga warga setempat.
Kini, keberagaman di “Kota Wali” kembali diuji. Vaksinasi di gereja hingga doa lintas iman menunjukkan toleransi tetap bersemi kala pandemi.