Empat Wilayah Pengelolaan Perikanan Masih Rawan Pencurian
Perairan Indonesia masih rawan pencurian ikan. Tata kelola perikanan dan pengawasan mendesak ditingkatkan, termasuk meninjau ulang rencana pengoperasian kembali kapal-kapal buatan luar negeri.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Wilayah perairan Indonesia hingga kini masih rawan praktik pencurian ikan. Di tengah kerawanan itu, pemerintah diminta konsisten memperkuat pengawasan dan perbaikan tata kelola perikanan serta menutup celah beroperasinya kapal ikan ilegal guna menjamin keberlanjutan sumber daya ikan.
Dari data Kementerian Kelautan dan Perikanan, empat wilayah rawan praktik penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (IUU Fishing) meliputi wilayah pengelolaan perikanan (WPP) RI 711 yang mencakup Selat Karimata dan Laut Natuna Utara, WPP RI 571 meliputi Selat Malaka dan Laut Andaman, serta WPP RI 716 yang terdiri dari Laut Sulawesi dan sebelah utara Pulau Halmahera. Selain itu, WPP RI 718 mencakup perairan Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut Timor bagian timur.
Hingga pertengahan 2021, aparat pengawasan KKP sudah menangkap 119 kapal penangkap ikan ilegal, terdiri dari 41 kapal ikan berbendera asing dan 78 kapal berbendera Indonesia.
Koalisi LSM untuk Perikanan dan Kelautan Berkelanjutan (Koral) meminta pemerintah untuk memperbaiki tata kelola perikanan serta memperkuat industri perikanan nasional secara berkelanjutan, termasuk peningkatan penerimaan negara dari sektor perikanan.
Oleh karena itu, diperlukan penguatan pengawasan untuk memberantas penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan dan tidak diatur (IUU Fishing), termasuk manipulasi ukuran kapal dengan mengecilkan ukuran (markdown) serta alih muatan kapal di tengah laut (transshipment) secara ilegal.
”Praktik perikanan ilegal menyulitkan negara dalam mengejar peningkatan target pendapatan negara bukan pajak dan pajak dari usaha perikanan,” kata Direktur Eksekutif Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Muhammad Abdi Suhufan, yang juga tergabung dalam Koral.
Secara terpisah, Direktur Dukungan Penegakan Hukum dan Akses terhadap Keadilan Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) Fadila Octaviani mengingatkan pemerintah untuk berhati-hati terhadap rencana pemberian izin terhadap kapal-kapal ikan buatan luar negeri atau eks asing yang berpotensi memicu pelanggaran. Di masa lalu, praktik IUU Fishing dan duplikasi izin marak dilakukan oleh kapal-kapal ikan eks asing sehingga berdampak pada rendahnya pendapatan negara dari sektor perikanan.
Kementerian Kelautan dan Perikanan pernah melaksanakan analisis dan evaluasi terhadap 1.132 kapal ikan eks asing pada 2015-2016. Dari hasil analisis itu, kapal-kapal penangkap ikan eks asing terbukti melanggar berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perikanan hingga penyelundupan dan perdagangan orang.
Kapal-kapal penangkap ikan eks asing, meski berbendera Indonesia, kendali atas kegiatan perusahaan dan kapal berada pada operator atau pemilik modal yang berada di luar negeri. Ketiadaan hubungan asli (genuine link) dengan Indonesia menyulitkan Pemerintah Indonesia meminta pertanggungjawaban dari pemilik modal karena kedudukannya yang berada di luar Indonesia.
Data Direktorat Jenderal Pajak menunjukkan, penerimaan pajak dari sektor perikanan pada 2014 saat kapal eks asing masih beroperasi adalah Rp 851 miliar. Pasca-kebijakan moratorium, penerimaan pajak dari sektor perikanan terus meningkat, yakni tahun 2015 sebesar Rp 1,14 triliun, tahun 2016 Rp 1,06 triliun, tahun 2017 senilai Rp 1,33 triliun, tahun 2018 (Rp 1,63 triliun), tahun 2019 (Rp 1,97 triliun), dan tahun 2020 (Rp 1,73 triliun).
”Pemerintah perlu tetap mempertahankan kebijakan untuk tidak memberikan izin penangkapan ikan pada kapal-kapal ikan eks asing demi terlaksananya prinsip ekonomi perikanan berkelanjutan dan prinsip keberlanjutan lingkungan,” kata Fadila.
Sebelumnya, Kementerian Kelautan dan Perikanan menyatakan akan mengatur kuota tangkapan ikan bagi kapal-kapal buatan luar negeri atau eks asing yang diizinkan kembali beroperasi. Kapal eks asing itu akan diarahkan untuk memanfaatkan potensi lestari ikan yang belum termanfaatkan.
”Izin kapal buatan luar negeri atau kapal eks asing memang akan kita buka guna memanfaatkan sisa kuota yang belum termanfaatkan. Namun, itu pun hanya 50 persen dari sisa kuota tangkap, selebihnya dipersiapkan untuk nelayan kecil,” kata juru bicara Menteri Kelautan dan Perikanan, Wahyu Muryadi (Kompas, 6/5/2021).
Koordinasi
Menurut Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono, pihaknya terus berupaya memberantas praktik perikanan ilegal, tidak dilaporkan dan tidak diatur di wilayah pengelolaan perikanan RI. Kerja sama lintas sektor diperkuat untuk memberantas praktik tersebut, khususnya dari kapal penangkap ikan ilegal berbendera asing.
Saat ini, KKP memiliki 30 armada kapal pengawas untuk menjaga sumber daya laut Indonesia dari praktik ilegal ataupun perikanan yang merusak.
Menteri Trenggono mengungkapkan, penangkapan terhadap pelaku praktik IUU Fishing banyak dilakukan di WPP RI 711 dan WPP RI 571 karena berbatasan langsung dengan Laut China Selatan dan Selat Malaka. Pihaknya juga kerap menangkap kapal ilegal yang masuk dari wilayah Papua Niugini dan WPP RI 716. ”Yang paling sering kami tangkap di wilayah 711. Paling banyak kapal Vietnam dan Malaysia,” ujarnya, dalam siaran pers, Jumat.