Aturan larangan ekspor benih bening lobster perlu segera ditindaklanjuti dengan peta jalan budidaya, mencakup dari mekanisme penangkapan benih hingga budidaya lobster. Tanpa penataan, konflik baru dikhawatirkan mencuat.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah telah mengatur tata cara penangkapan benih lobster untuk tujuan budidaya dan pengembangan budidaya lobster. Namun, pendampingan budidaya dan mekanisme teknis perlu diperjelas agar tidak memicu masalah baru.
Aturan pengembangan budidaya lobster termaktub dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 17 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla spp), dan Rajungan (Portunus spp) di Wilayah Negara Republik Indonesia, yang diundangkan pada 4 Juni 2021. Aturan yang merupakan revisi terhadap Permen KP No 12/2020 itu juga melarang ekspor benih lobster.
Dalam Permen KP itu disebutkan, penangkapan benih bening lobster wajib menggunakan alat tangkap ramah lingkungan dan lokasi budidaya lobster hanya boleh di provinsi yang sama dengan lokasi penangkapan benih.
Ketua Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Lombok Timur (Nusa Tenggara Barat) Amin Abdullah menyampaikan, aturan pelarangan ekspor benih lobster memberikan angin segar bagi pembudidaya lobster lokal yang sebelumnya kesulitan mendapatkan benih karena sebagian besar diekspor. Selain itu, pembatasan lalu lintas benih bening lobster hanya dalam satu provinsi yang sama dengan lokasi penangkapan diharapkan dapat menekan lalu lintas benih ke wilayah lain yang berpotensi untuk diselundupkan.
”Implementasi aturan itu membutuhkan keseriusan semua pihak. Ini saatnya membuktikan keberpihakan terhadap pengembangan budidaya lobster di dalam negeri,” kata Amin saat dihubungi, Minggu (20/6/2021).
Amin menambahkan, sebagian besar nelayan dan pembudidaya lobster merupakan pelaku usaha dan kelompok skala kecil. Sejak pemerintah menggulirkan kebijakan pengembangan budidaya lobster tahun lalu, hingga kini belum terlihat pendampingan teknis dan manajemen kepada nelayan dan pembudidaya lobster.
Nelayan memasok benih ke pembudidaya untuk dibesarkan, tetapi belum ada kejelasan mekanisme teknis hingga penataan lokasi budidaya lobster agar tidak menuai konflik tata ruang. Jalur penangkapan benih lobster juga cenderung bersinggungan dengan wilayah pariwisata.
”Belum terlihat keseriusan instansi terkait dalam menggenjot pendampingan teknis dan nonteknis kepada pembudidaya agar menjadi kelompok yang kuat dengan manajemen yang baik. Jangan sampai lokasi tangkap dan budidaya bersinggungan dengan kegiatan lain dan menyebabkan konflik tata ruang,” kata Amin.
Senada dengan itu, Ketua Umum Himpunan Pembudidaya Ikan Laut Indonesia (Hipilindo) Effendy Wong mengemukakan, aturan menghentikan ekspor benih lobster merupakan fondasi awal untuk keberhasilan budidaya lobster di Indonesia. Meski demikian, kebijakan itu perlu segera diikuti dengan strategi dan peta jalan budidaya lobster. Sampai saat ini, belum ada kejelasan peta jalan terkait budidaya lobster, pengaturan tata ruang, pemberian pakan, dan pencegahan penyakit.
Sebagian besar usaha budidaya lobster kini dalam tahap awal sehingga butuh pembinaan teknis dan penataan sesuai tata ruang. Sementara muncul tren serangan penyakit susu (milky disease) pada lobster yang perlu segera diantisipasi dengan penerapan cara budidaya yang baik dan penataan. Tanpa keseriusan upaya pengembangan budidaya lobster, dikhawatirkan akan banyak terjadi kegagalan.
”Pembudidaya lobster masih tahap pemula sehingga butuh pendampingan teknis. Jangan sampai terjadi kegagalan-kegagalan budidaya sampai serangan penyakit sehingga mematahkan semangat untuk mengembangkan budidaya lobster,” kata Effendy.
Secara terpisah, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Perikanan Budidaya (DJPB) KKP Tb. Haeru Rahayu menerangkan, proses selanjutnya setelah terbitnya Permen KP No 17/2021 ialah menyusun keputusan terkait pengaturan pengelolaan. Pihaknya sedang menyiapkan peta jalan budidaya bersama lingkup eselon I terkait.
Sekretaris Jenderal KKP Antam Novambar mengemukakan, penangkapan benih bening lobster hanya dapat dilakukan oleh nelayan kecil yang terdaftar dalam kelompok nelayan di lokasi penangkapan benih bening lobster. Penangkapan benih itu didasarkan pada kuota dan lokasi penangkapan benih yang ditetapkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan berdasarkan masukan/rekomendasi dari Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Zaini Hanafi menambahkan, pengambilan benih bening lobster wajib menggunakan alat tangkap yang bersifat pasif dan ramah lingkungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Langkah ini untuk memastikan pengambilannya tidak menganggu keberlanjutan ekosistem laut. Nelayan penangkap juga wajib melaporkan hasil tangkapannya ke pemerintah daerah.
”Nelayan kecil yang menangkap BBL wajib melaporkan hasil tangkapan kepada dinas setempat untuk selanjutnya dilaporkan kepada direktur jenderal di bidang perikanan tangkap,” kata Zaini.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Susan Herawati menyoroti izin penangkapan benih lobster untuk keperluan budidaya yang dikeluarkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan belum berdasarkan pada data ketersediaan benih lobster yang ada di perairan Indonesia.