Target Pertumbuhan 7 Persen pada Triwulan II-2021 Sulit Tercapai
Pertumbuhan ekonomi Indonesia masih sangat bergantung pada permintaan global. Sektor padat karya yang menyerap banyak tenaga kerja pun masih lesu.
Oleh
Benediktus Krisna Yogatama/Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Membaiknya sejumlah indikator ekonomi membuat pemerintah optimistis pertumbuhan ekonomi triwulan II-2021 bisa mencapai 7 persen secara tahunan. Namun, sejumlah kalangan berpendapat target tersebut akan sulit tercapai mengingat ada potensi lonjakan kasus Covid-19 pasca-Lebaran hingga masih lemahnya konsumsi masyarakat.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, pada triwulan II-2021, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan naik seperti kurva huruf V. ”Kita berharap pertumbuhan ekonomi pada triwulan kedua akan masuk jalur positif dan diperkirakan bisa mencapai 7 persen,” ujar Airlangga akhir pekan lalu secara daring.
Menurut Airlangga, optimisme itu didasarkan pada sejumlah indikator. Pertama, indeks manajer pembelian (Purchasing Manager Index/PMI) Indonesia per April 2021 yang mencapai 54,6, tumbuh dibandingkan Maret 2021 yang sebesar 53,2.
Dalam pengukuran PMI, nilai di atas 50 menunjukkan sektor usaha berada dalam zona ekspansi, sedangkan angka di bawah 50 merupakan zona kontraksi.
Kedua, lanjut Airlangga, Indeks Keyakinan Konsumen yang diterbitkan Bank Indonesia (BI) juga berada dalam level optimistis.
Ketiga, nilai ekspor dan impor berada dalam tren membaik. Begitu pula pembentukan modal tetap bruto (PMTB). ”Kami melihat pertumbuhan PMTB sudah mendekati positif,” ujarnya.
Covid-19
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan, berbagai indikator memang menunjukkan tren pemulihan ekonomi. Namun, target 7 persen akan sulit tercapai.
”Triwulan kedua ini masih berlangsung 1,5 bulan lagi. Masih banyak hal yang bisa terjadi. Ini yang harus diwaspadai dan diantisipasi,” ujar Bhima.
Ia mengatakan, pemerintah harus bisa mengendalikan jumlah kasus Covid-19. Jangan sampai pasca-Lebaran malah terjadi lonjakan kasus yang justru mengakibatkan pengetatan aktivitas sosial ekonomi lagi. Jika terjadi demikian, akan kontraproduktif dengan pemulihan ekonomi.
Selain itu, pemerintah juga harus mengantisipasi gejolak geopolitik di Timur Tengah. Meski bukan mitra dagang utama Indonesia, konflik Israel-Palestina berpotensi mengganggu perdagangan internasional yang juga belum pulih sepenuhnya. Hal ini bisa berdampak pada kinerja ekspor Indonesia.
Bhima juga berharap pemerintah bisa terus menjaga gairah aktivitas ekonomi baik produksi maupun konsumsi yang perlahan membaik. Caranya adalah terus memberikan relaksasi dan insentif yang mendorong perekonomian.
”Dengan melihat indikator-indikator serta tantangan yang membayangi, saya memprediksi pertumbuhan ekonomi di triwulan kedua tahun ini berkisar 2-4 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu,” ujar Bhima.
Ekonom PT Bank Permata Tbk Josua Pardede mengatakan, pertumbuhan ekonomi hingga 7 persen masih terlalu berat untuk dicapai. Ia memperkirakan pertumbuhan ekonomi akan berada di kisaran 6 persen.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, kendati mengalami lonjakan signifikan dibandingkan titik terendah pada April 2020, indeks PMI yang ekspansif belum tentu menggambarkan pemulihan seluruh sektor industri.
”Industri itu sangat beragam. Kalau mau dibedah satu per satu, hanya beberapa sektor yang memang mulai konsisten membaik. Itu pun banyak ditopang oleh permintaan global yang kembali naik karena perekonomian negara lain yang mulai pulih,” katanya.
Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, per triwulan I-2021, sektor-sektor yang menopang kinerja industri adalah kimia, farmasi dan obat tradisional yang tumbuh 11,46 persen, disusul industri furnitur 8,04 persen, industri logam dasar 7,71 persen, industri karet 3,84 persen, industri mesin dan perlengkapan 3,22 persen, serta industri makanan dan minuman 2,45 persen.
Belum pulih
Faisal mengatakan, kendati sejumlah sektor itu mampu tumbuh selama pandemi, masih banyak sektor lain yang belum pulih, khususnya yang bersifat padat karya. Sektor tekstil dan pakaian, misalnya, masih terkontraksi minus 13,28 persen, demikian juga industri pengolahan tembakau minus 9,58 persen, industri bahan galian bukan logam minus 7,28 persen, serta industri alat angkutan minus 10,93 persen.
Menurut dia, beberapa sektor itu masih mengalami kontraksi karena permintaan domestik yang belum membaik. Jika pandemi mulai terkendali dan tingkat mobilitas kembali normal, permintaan otomatis akan meningkat lagi untuk produk seperti baju dan sepatu.
Di sisi lain, meskipun pasar ekspor saat ini mulai bangkit, produk tekstil Indonesia masih sulit bersaing dengan negara lain yang juga menjual produk serupa. ”Sementara pertumbuhan ekonomi sangat bergantung pada sektor-sektor padat karya ini. Kalau masih terkontraksi, tentu dampaknya pada penyediaan lapangan kerja juga tidak signifikan,” ujar Faisal.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia Anton J Supit mengatakan, dengan kondisi industri yang belum pulih sepenuhnya itu, target pemerintah untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 7 persen pada triwulan II-2021 akan sulit dicapai. ”Kita masih bergantung pada pemulihan ekonomi negara lain,” ujarnya.