Tren ekonomi memang membaik. Negara-negara yang baru pulih mulai menciptakan permintaan global, menggerakkan ekspor, dan mengatrol harga sejumlah komoditas. Hati-hati jangan terjebak pada euforia pemulihan dan vaksinasi.
Oleh
hendriyo widi
·4 menit baca
Dunia dan Indonesia jangan terlalu bergembira dahulu kendati perekonomian kembali tumbuh. Lonjakan kasus Covid-19 di sejumlah negara dan ketidaksetaraan akses vaksin Covid-19 bisa kembali memperlambat laju pertumbuhan ekonomi.
Berkisar tiga bulan terkahir ini, kasus Covid-19 melonjak di sejumlah negara, seperti India, Malaysia, Sri Lanka, Thailand, Nepal, dan Kamboja. Di India, terutama, pada Sabtu pekan lalu, angka kematian harian akibat Covid-19 sebanyak 4.187 kasus dengan 401.078 kasus infeksi baru dalam 24 jam terakhir.
Lonjakan kasus Covid-19 di India terjadi setelah melonggarkan pembatasan, baik karena alasan ekonomi, pemilihan umum, maupun ritual keagamaan. Ledakan kasusnya menggila seusai perayaan ritual mandi umat Hindu di tepi Sungai Gangga di Haridwar, Godavari di Nasik, Kshipra di Ujjain, dan Sanggam (pertemuan Gangga, Yamuna, dan Saraswati) di Allahabad (Prayag). Para peserta ritual tersebut sama sekali tidak mengindahkan protokol kesehatan, seperti tak memakai masker dan menjaga jarak.
Hal ini semakin memberi tempat bagi penyebaran virus korona varian baru B.1.6.1.7 yang sebenarnya sudah dideteksi muncuk sejak tahun lalu. Virus yang berasal dari mutasi ganda E484Q dan L452R diketahui mengurangi pengikatan antibodi yang ditimbulkan oleh infeksi dan vaksinasi.
Sejumlah kalangan menilai, India terlalu percaya diri mampu melewati gelombang pertama Covid-19 tahun lalu. Apalagi, India juga menjadi salah satu negara yang memproduksi vaksin Covid-19. Hal ini membuat India abai membenahi fasilitas dan sarana-prasara kesehatan sehingga tak siap menghadapi ”tsunami” kedua Covid-19.
Padahal, tahun lalu, India mampu keluar dari jurang resesi seusai perekonomiannya tumbuh 0,4 persen pada triwulan IV-2020. Sebelumnya, perekonomiannya tumbuh minus 7,3 persen pada triwulan III-2020 dan 24,4 persen pada triwulan II-2020. Namun, kini, ekonomi India dipastikan kembali terpuruk lantaran lonjakan kasus Covid-19.
Sama seperti India, Indonesia sebenarnya tengah berproses mentas dari resesi. Ekonomi Indonesia pada triwulan I-2021 memang masih tumbuh minus 0,74 persen. Kontraksinya semakin menciut dibandingkan dengan tiga triwulan tahun lalu, yaitu minus 2,4 persen pada triwulan IV-2020, minus 3,49 persen pada triwulan III-2020, dan minus 5,32 persen pada triwulan II-2020.
Namun, tren positif laju perbaikan ekonomi tersebut dibayangi lonjakan kasus Covid-19. Sepanjang triwulan I-2021, jumlah total kasus positif Covid-19 sudah sebanyak 1.511.712 orang. Kasus ini berpotensi melonjak kembali seusai Lebaran tahun ini. Hal ini mengingat lonjakan kasus di Indonesia selalu terjadi seusai libur panjang atau libur hari raya keagamaan.
Memang sejumlah upaya telah dilakukan Pemerintah Indonesia dengan melarang mudik dan menyekat para pemudik. Upaya positif ini tidak dibarengi dengan perilaku masyarakat yang lebih memilih mudik dengan ilmu kucing-kucingan atau dengan dalih penugasan luar kota. Masyarakat juga dibuat bingung dengan kebijakan pemerintah yang melarang mudik, tetapi membolehkan tempat wisata beroperasi, dan mendorong belanja daring, tetapi membiarkan tempat-tempat belanja konvensional diserbu pembeli.
Dari sejak kemunculan kasus Covid-19 pertama kali di Indonesia, penanganan pandemi dan geliat ekonomi selalu menjadi perdebatan. ”Gas dan rem” menjadi kebijakan kompromistis yang diambil pemerintah untuk menyelaraskan keduanya.
Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) pada 4 Mei 2020 mengingatkan, tren pemulihan ekonomi global akan terus berlanjut. Tahun ini, ekonomi global diperkirakan tumbuh 5 persen. Namun, pemulihan ekonomi itu bakal tidak merata lantaran distribusi vaksin yang tidak merata akan memengaruhi kemampuan negara-negara untuk pulih dari krisis.
Tahun ini, ekonomi global diperkirakan tumbuh 5 persen. Namun, pemulihan ekonomi itu bakal tidak merata lantaran distribusi vaksin yang tidak merata akan memengaruhi kemampuan negara-negara untuk pulih dari krisis.
Per 31 Maret 2021, UNCTAD mencatat, dosis vaksin yang diberikan per 100 orang sangat bervariasi di sejumlah negara. Afrika tertinggal jauh dengan hanya 0,6 persen populasi yang divaksinasi dibandingkan dengan 2,1 persen di Asia, 12,7 persen di Eropa, 6,7 persen di Amerika Selatan, dan 18,8 persen di Amerika Utara.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, distribusi vaksin Covid-19 sangat timpang. Dari 700 juta dosis yang sudah diberikan sampai April 2021, tidak sampai 1 juta dosis diberikan kepada negara miskin. Hampir 500 juta dosis disuntikkan untuk warga di AS dan China. Sisanya terbagi ke beberapa negara lain di Asia, Eropa, dan Amerika.
Kondisi ini membuat negara-negara maju akan mengalami titik balik perekonomian yang lebih cepat ketimbang negara-negara berkembang. Di sisi lain, negara-negara miskin akan semakin tertinggal sehingga perekonomian dunia berpotensi beralih pada meluasnya kesenjangan antara negara kaya dan miskin.
Ekonomi memang sedang dalam tren membaik. Hati-hati dan waspada. Jangan sampai terjebak pada euforia vaksinasi dan tren pemulihan ekonomi.
Pengangguran bisa semakin bertambah. Hal ini akan berujung pada meningkatnya penduduk miskin sebuah negara, bahkan global. UNCTAD memperkirakan jumlah penduduk dunia yang jatuh ke dalam kemiskinan ekstrem pada 2020 sebanyak 119 juta orang hingga 124 juta orang, sedangkan pada 2021 sebanyak 143 juta orang hingga 163 juta orang.
Ekonomi memang sedang dalam tren membaik. Negara-negara yang baru pulih mulai menciptakan permintaan global, menggerakkan ekspor, dan mengatrol harga-harga sejumlah komoditas. Konsumsi rumah tangga juga mulai bertumbuh akibat guliran stimulus pemerintah. Namun, di tengah semuanya itu, mobilitas masyarakat yang kurang terkendali bisa menenggelamkan impian pemulihan ekonomi.
Hati-hati dan waspada. Jangan sampai terjebak pada euforia vaksinasi dan tren pemulihan ekonomi.