Karya akademisi yang disponsori CIA malah menjadi rujukan aktivis kiri. Padahal, tujuan proyek itu adalah untuk membendung penyebaran paham politik kiri.
Oleh
KRIS MADA
·3 menit baca
Perang Dingin, yang secara resmi berakhir lebih dari 30 tahun silam, antara lain melibatkan kegiatan intelijen, seperti mata-mata alias spionase. Di antaranya adalah dengan melibatkan para sarjana terkenal. Indonesia pun tidak luput dari sasaran jaringan spionase para akademisi terkenal itu.
Keterlibatan para sarjana itu terungkap puluhan tahun setelah mereka meneliti Indonesia dan sejumlah negara Asia Tenggara. Pada era Perang Dingin, Asia Tenggara menjadi salah satu kawasan pertarungan pengaruh antara Blok Barat dan Blok Timur. Belakangan dengan munculnya persaingan antara Amerika Serikat (AS) dan China, Asia Tenggara kembali menjadi medan persaingan pengaruh kedua negara tersebut.
Penanggung Jawab Kebijakan Indo-Pasifik di Gedung Putih Kurt Campbell mengatakan, Indonesia negara penting sekaligus paling tidak dipahami AS. Pernyataan Campbell tecermin antara lain pada koleksi buku-buku tentang Indonesia di Perpustakaan Kongres AS. Hanya ada 149.115 buku koleksi soal Indonesia.
Bandingkan dengan koleksi tentang Vietnam yang sebanyak 245.599 buku dan tentang Thailand yang mencapai 297.369 buku. Australia, dengan penduduk hampir 80 persen lebih sedikit dari Indonesia, koleksinya mencapai 207.421 buku.
Sebagian dari koleksi Perpustakaan Kongres AS soal Indonesia dan Asia Tenggara merupakan karya-karya Clifford Geertz dan James C Scott. Mereka dikenal sebagai antropolog Asia Tenggara. Agama Jawa, Tafsir Kebudayaan, dan Penjaja dan Raja, adalah sebagian karya Geertz dari hasil riset di Indonesia. Sementara Scott terutama dikenal lewat bukunya yang berjudul Senjata Kaum Lemah, Dominasi dan Seni Perlawanan, serta Against The Grain yang bahannya dikumpulkan dari riset di Asia Tenggara.
Buku-buku Scott menjadi bacaan wajib para aktivis kiri. Sebagaimana tercantum dalam ”Patriotic Betrayal: The Inside Story of the CIA’s Secret Campaign to Enroll American Students in the Crusade Against Communism” yang disusun Karen M Paget, Scott terlibat dalam proyek intelijen AS selama Perang Dingin. Tujuan utama proyek itu jelas membendung penyebaran pandangan politik kiri.
Geertz mengakui karya-karyanya berdasarkan riset dalam Proyek Modjokuto. Sejarawan dan antropolog AS yang juga peneliti, David Price, menemukan sejumlah bukti bahwa Proyek Modjokuto adalah salah satu program Centre for International Studies (Cenis). Lembaga itu bernaung di bawah Massachusetts Institute of Technologies (MIT). Menurut Price dan sejumlah peneliti AS lainnya, Cenis didanai Badan Pusat Intelijen AS (CIA) dan Ford Foundation. Salah satu pentolan Cenis adalah Max Millikan, ekonom MIT.
Pada 1970, terungkap dokumen yang memuat identitas 27 pakar AS yang dikenal sebagai anggota Princeton Consultant. Dibentuk pada 1951, Princeton Consultant rutin bertemu untuk memberi masukan kepada CIA. Millikan diketahui sebagai salah satu anggota kelompok itu.
Dalam wawancara dengan Price pada 1995, Geertz menyangkal mengetahui kegiatan Millikan di luar Cenis. Ia mengaku motivasinya terlibat di Cenis adalah mendirikan pusat studi sebesar Pusat Kajian Rusia di Harvard University.
Meski memasukkan pengakuan Geertz, Price juga mencatat bahwa sebagian ilmuwan AS secara sadar bekerja untuk kebutuhan intelijen AS. Ia menyebut, sebagian akademisi tidak tahu soal pendanaan lembaga intelijen karena rumitnya alur pendanaan sebelum sampai ke para peneliti. Price menuangkan semua itu dalam ”How The CIA and Pentagon Harnessed Anthropological Research during the Second World War and Cold War with Little Critical Notice” yang diterbitkan pada 2011.
Sementara dalam ”Cold War Anthropology, the CIA, the Pentagon, and the Growth of Dual Use Anthropology” yang diterbitkan pada 2016, Price menyinggung jaringan profesor AS yang bekerja bagi CIA. Tugas mereka mengarahkan mahasiswa mendalami tema yang menjadi perhatian intelijen AS.
Sigmund Diamond dalam ”Compromised Campus” juga mengungkap jaringan akademisi yang membantu intelijen AS. Berbagai riset lain juga menyimpulkan hal senada.
Inti berbagai penelitian itu mengungkap praktik lama yang diterapkan Belanda pada abad ke-19. Praktik itu diwujudkan dengan mendukung riset Christiaan Snouck Hugronje alias Abdul Ghaffar di Aceh. (AFP)