Kota Palembang: Venesia dari Timur dan Kota Pempek
Kota Palembang dahulu kala dikenal dengan julukan sebagai “Venesia dari Timur”, karena lebih dari 100 sungai dan anak sungai melintas dan mengalir di dalam kota ini. Secara historis, Kota Palembang yang pernah menjadi ibu kota Kerajaan Sriwijaya juga dikenal dengan makanan khas pempek atau empek-empek.
Kota Palembang merupakan ibu kota Provinsi Sumatera Selatan. Kota terbesar kedua di Sumatera setelah Medan ini merupakan kota tertua di nusantara berdasarkan prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan di Bukit Siguntang, sebelah barat Kota Palembang.
Letak Kota Palembang juga strategis karena berada di tepian Sungai Musi dan tidak jauh dari Selat Bangka. Selain itu, Palembang dilalui oleh jalur jalan lintas Pulau Sumatera yang menghubungkan antardaerah di Pulau Sumatera.
Setelah kemerdekaan Indonesia, Kota Palembang ditetapkan menjadi daerah otonom berdasarkan Undang-Undang Darurat Nomor 5 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Kota Besar Dalam Lingkungan Daerah Provinsi Sumatera Selatan.
Hari jadi Kota Palembang diperingati setiap tanggal 17 Juni berdasarkan Perda No. 5/Perd/Huk/1976 tanggal 10 Juni 1976 tentang Penetapan Hari Jadi Kota Palembang. Dalam perda tersebut, ditetapkan bahwa tanggal 17 Juni 683 merupakan awal berdirinya Kota Palembang. Ketetapan itu diambil pada masa pemerintahan Wali Kota RHA Arifai Tjek Yan (1973--1978).
Dasar penetapan ini diambil berdasarkan bait-bait akhir Prasasti Kedukan Bukit. Dengan berpatokan pada usianya itu, perjalanan sejarah Kota Palembang lebih panjang dari Baghdad yang didirikan pada tahun 762 M, Kyoto (794 M), apalagi Jakarta (1527 M).
Luas wilayah kota ini mencapai 400,61 kilometer persegi. Secara administratif, Palembang terdiri dari 18 kecamatan dan 107 kelurahan. Sejak 2018, kota ini dipimpin oleh Wali Kota H Harnojoyo dan Wakil Wali Kota Fitrianti Agustinda.
Dalam sejarahnya, Palembang pernah menjadi ibu kota dari Kerajaan Sriwijaya yang juga merupakan kerajaan terkuat di Melayu. Sedangkan dalam catatan Belanda, pada awal abad ke-19, kota ini disebut "Venesia dari Timur" atau Kota Air, karena lebih dari 100 sungai dan anak sungai mengalir di dalam kota ini.
Palembang terkenal dengan Jembatan Ampera yang ikonik. Jembatan ini berada di tengah pusat kota Palembang yang menghubungkan seberang Ulu dan seberang Ilir. Dulunya, Jembatan Ampera bernama Jembatan Bung Karno. Nama Bung Karno tersebut disematkan sebagai bentuk penghargaan untuk Presiden Pertama Republik Indonesia tersebut. Pada 1966, nama Jembatan Bung Karno berubah menjadi Jembatan Ampera.
Di samping itu, Palembang terkenal pula dengan makanan khasnya, yaitu pempek atau empek-empek yang membuat kota ini kerap disebut sebagai Kota Empek-Empek atau Pempek.
Sejarah pembentukan
Asal usul nama Palembang terdapat beberapa versi seperti disebut dalam buku Asal-usul Kota-Kota di Indonesia Tempo Doeloe yang ditulis oleh Zaenuddin HM. Ada pendapat yang menyebutkan kata Palembang diambil dari kata lembang yang dalam Melayu Kuno berarti "tanah yang terendam air" atau lembeng yang dalam bahasa Melayu-Palembang berarti "rembesan air".
Ada juga yang menyebutkan kata Palembang berasal dari palimbang, yang tercantum dalam catatan ekspedisi militer Angkatan Laut Kerajaan Inggris Memoir of The Conquest of Java yang ditulis Major William Thorn tahun 1815. Palimbang merujuk pada aktivitas melimbang, yakni memisahkan logam dari pasir/tanah dengan cara mengayak dengan nyiru. Ini cukup relevan karena dulunya banyak aktivitas pelimbangan emas atau logam berharga lainnya di sekitar Sungai Musi.
Versi lain lagi menyebutkan nama Palembang berasal dari kata Pai Lian Bang, yakni nama menteri di Negeri Tiongkok yang sempat ke Sumatera dan menjadi adipati di Kerajaan Sriwijaya untuk menggantikan Ario Damar. Karena susah penyebutannya, orang Melayu menyebut Pai Lian Bang dengan ucapan Palembang.
Terlepas adanya banyak versi mengenai asal usul nama Palembang, dalam sejarahnya, Kota Palembang memiliki rekam jejak panjang sejak Kedatuan Sriwijaya hingga masa kolonial Belanda. Namanya tersohor dan didatangi banyak bangsa untuk menggali ilmu atau berdagang di sana.
Kisah Palembang dimulai dari torehan huruf Pallawa berbahasa Melayu Kuno di Prasasti Kedukan Bukit. Di prasasti bertarikh 604 Saka (682 Masehi) itu tertulis perjalanan pendiri Kedatuan Sriwijaya, yakni Dapunta Hyang Sri Jayanasa, dari Minanga ke Palembang dengan membawa dua laksa tentara.
Sejarawan Universitas Sriwijaya, Dedi Irwanto, dalam jurnal berjudul ”Simbol Kejayaan Ibu Kota Sriwijaya dalam Tiga Prasasti Sriwijaya di Palembang”, mengutip tafsir arkeolog, Boechari, yang menyatakan awal mulanya Kerajaan Sriwijaya berpusat di Minanga, Batang Kuantan, di tepi Sungai Inderagiri, yang sekarang masuk Provinsi Riau. Pada tahun 682, Jayanasa menyerang dan menguasai Palembang, menjadikannya ibu kota kerajaan baru.
Jayanasa membangun Palembang menjadi kota besar. Posisinya yang strategis, dibelah Sungai Musi, yang bermuara ke Selat Malaka, berkembang menjadi kota dagang, kota pelajar, dan kota agama. Bahkan, pada abad ke-9, Bukit Siguntang di Palembang merupakan tujuan para pendeta Budha (biksu) dari Asia yang ingin berguru kepada Mahaguru Suvarnadvipa Dharmakirti.
Cerita kebesaran Kota Palembang juga tertuang dalam Prasasti Telaga Batu yang ditemukan di kawasan Sabokingking, Kecamatan Ilir Timur II. Dalam prasasti itu, ada gambaran aturan terkait tata kelola pemerintahan, termasuk aturan atau kebijakan dari seorang pemimpin yang harus dipatuhi.
Kemegahan kota metropolitan juga tergambar di Prasasti Talang Tuwo, yang ditemukan di kawasan Talang Tuwo, Kecamatan Alang-Alang Lebar. Dalam prasasti itu dikisahkan tentang berdirinya taman asri yang dibuat Dapunta Hyang Sri Jayanasa. Taman ditumbuhi beragam tanaman pangan ramah rawa yang dapat dinikmati untuk kemakmuran rakyatnya.
Setelah mengalami kejayaan pada abad ke-7 hingga abad ke-9, pada abad ke-12, Kerajaan Sriwijaya mulai mengalami keruntuhan secara perlahan. Menurut Tome Pires, pupusnya pengaruh Majapahit dan China di Palembang disebabkan adanya kebangkitan Agama Islam di wilayah Palembang. Situasi ini telah menempatkan Palembang menjadi wilayah perlindungan Kerajaan Islam Demak sekitar tahun 1546 yang melibatkan Aria Penangsang dari Jipang dan Pangeran Hadiwijaya dari Pajang. Kematian Aria Penangsang membuat pengikutnya melarikan diri ke Palembang. Mereka mendirikan Kesultanan Palembang. Tokoh pendiri Kesultanan Palembang adalah Ki Gede Ing Suro.
Beberapa pengganti Ki Gede Ing Suro yang memiliki pengaruh di Palembang diantaranya adalah Ki Mas Hindi yang bergelar Sultan Abdurrahman, yang dikenal sebagai Sunan Cinde Walang (1659--1706). Setelah keraton Kuto Gawang dibakar oleh Belanda, maka keraton dipindahkan ke Beringin Jangut. Kemudian Sultan Mahmud Badaruddin I yang bergelar Jayo Wikrama (1741--1757) melakukan pembangunan Masjid Agung, Makam Lembang, dan Keraton Kuto Batu.
Setelah jatuhnya Kesultanan Palembang, pascakalahnya Sultan Mahmud Badaruddin II pada pertempuran yang keempat melawan Belanda yang pada saat ini turun dengan kekuatan besar pimpinan Jenderal de Kock, maka Palembang nyaris menjadi kerajaan bawahan.
Beberapa Sultan setelah Sultan Mahmud Badaruddin II yang menyatakan menyerah kepada Belanda berusaha untuk memberontak tetapi kesemuanya gagal dan berakhir dengan pembumihangusan bangunan kesultanan untuk menghilangkan simbol-simbol kesultanan. Setelah itu, Palembang dibagi menjadi dua keresidenan besar, dan pemukiman di Palembang dibagi menjadi daerah Ilir dan Ulu.
Pada tanggal 7 Oktober 1823, Kesultanan Palembang dihapuskan oleh Pemerintah Kolonial Belanda dan Kota Palembang dijadikan Komisariat dibawah Pemerintahan Hindia Belanda (kontrak terhitung 18 Agustus 1823), dengan Regering Commisaris J.I. Van Sevenhoven sebagai pejabat Pemerintah Belanda pertama.
Kemudian Kota Palembang dijadikan Gameente berdasarkan Staatbald No. 126 Tahun 1906. Pemerintah Kota Palembang pada tanggal 1 April 1906 menjadi satu Stadgemeente, yang merupakan suatu pemerintah kota yang otonom dimana terdapat dewan kota yang mengatur pemerintahan. Pemerintah Kolonial Belanda menguasai Palembang hingga masuknya Jepang tanggal 16 Februari 1942.
Ketika Pemerintahan Kolonial Belanda digantikan oleh pendudukan Jepang dari tahun 1942 sampai dengan 1945, sistem pemerintahan di bawah tentara pendudukan Jepang meneruskan sistem yang dijalankan oleh pemerintahan Kolonial Belanda. Pada periode itu pula, Palembang Syi dipimpin Syi-co (Wali Kota) yang berlangsung dari tahun 1942 hingga kemerdekaan RI.
Setelah Indonesia menyatakan kemerdekaan tahun 1945, berdasarkan keputusan Gubernur Kdh. Tk. I Sumatera Selatan No. 103 Tahun 1945, Palembang dijadikan Kota Kelas A. Kemudian berdasarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 1948, Palembang dijadikan Kota Besar.
Selanjutnya berdasarkan Undang-Undang No. 18 Tahun 1965, Palembang dijadikan Kotamadya dan berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tanggal 23 Juli 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, Palembang dijadikan Kotamadya Daerah Tingkat II Palembang.
Geografis
Kota Palembang terletak antara 2o52’ sampai 3o5’ Lintang Selatan dan 104o37’ sampai 104o52’ Bujur Timur. Wilayah Kota Palembang bagian utara, bagian timur, dan bagian barat berbatasan dengan Kabupaten Banyuasin, sedangkan bagian selatan berbatasan dengan Kabupaten Muara Enim dan Kabupaten Ogan Ilir.
Luas Kota Palembang sebesar 400,61 km2 atau sekitar 2,65 persen dari total luas daratan Provinsi Sumatera Selatan. Sebagian besar wilayahnya, 52,24 persen, berupa rawa dan terletak pada ketinggian antara 0,5--50 meter dari permukaan laut. Kondisi alamnya sangat dipengaruhi oleh perilaku pasang surut air laut yang kadangkala bisa mencapai ketinggian antara 3 sampai 5 meter.
Kota ini juga merupakan daerah tropis dengan suhu yang cukup panas mencapai 23,40 sampai 31,70 Celcius. Curah hujan yang turun di Palembang terbanyak terjadi dalam bulan April sebesar 338 mm dan bulan September menduduki posisi yang paling sedikit berkisar 10 mm.
Kota Palembang terbelah oleh Sungai Musi menjadi dua bagian besar, yaitu Seberang Ulu dan Seberang Ilir. Sungai ini merupakan salah satu sungai terpanjang di Indonesia, yakni sekitar 750 km. Sejak dahulu Sungai Musi telah menjadi urat nadi perekonomian di Kota Palembang dan Provinsi Sumatera Selatan.
Selain Sungai Musi, terdapat pula tiga sungai besar lain, yaitu Sungai Komering, Sungai Ogan, dan Sungai Keramasan. Di samping sungai-sungai besar tersebut, terdapat sungai-sungai kecil lainnya terletak di Seberang Ilir yang berfungsi sebagai drainase perkotaan (terdapat ± 68 anak sungai aktif). Sungai-sungai kecil tersebut memiliki lebar berkisar antara 3--20 meter.
Kota Palembang juga mempunyai kawasan lindung yang dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu hutan (5,68 persen) dan rawa (3,83 persen). Untuk hutan sendiri, terdiri dari berbagai jenis guna lahan, di antaranya adalah kawasan cagar alam (46,91 hektar) dan kawasan cagar budaya (21,75 hektar).
Pemerintahan
Sejak awal masa kemerdekaan Indonesia, kota yang dibelah oleh Sungai Musi ini telah dipimpin oleh 16 wali kota hingga pelaksana harian dan pelaksana tugas (PLT).
Pada periode kemerdekaan hingga era Orde Lama, enam wali kota pernah menjabat di Kota Palembang, yaitu R Hanan (1945--1947), MR Sudarman Ganda Subrata (1950--1954), pejabat sementara (RA Abusamah 1954), RM Ali Hamin (1955--1960), pejabat sementara Mgs HA Rahman (1960--1962), dan AKBP H Abdullah Kadir (1962--1968).
Kemudian pada masa Orde Baru, Kota Palembang pernah dipimpin oleh HM Rasjad Nawawi (1968--1970), pejabat dan definitif RHA Arifai Tjek Yan (1970--1978), HA Dahlan HY (1978--1983), H Cholil Aziz (1983--1993), dan Husni (1993--2003).
Pada era Reformasi, Wali Kota Palembang yang pernah menjabat adalah H Eddy Santana Putra (2003--2008, 2008--2013), H Romi Herton (2013-2014), H Harnojoyo (2015--2018), H Akhmad Najib, Pj Walikota Palembang (2018). Sejak 2018, Palembang dipimpin oleh Wali Kota H Harnojoyo (2018--sekarang).
Secara administratif, Kota Palembang terdiri dari 18 kecamatan dan 107 kelurahan. Untuk mendukung berjalannya roda pemerintahan, Pemerintah Kota Palembang didukung oleh 11.342 orang PNS pada tahun 2020. Dari jumlah itu, persentase PNS golongan IV, III, II, I berturut-turut adalah 39,00 persen, 47,96 persen, 12,28 persen, dan 0,76 persen.
Politik
Peta politik di Kota Palembang dalam tiga kali penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) berlangsung dinamis. Hal itu tecermin dari perolehan kursi partai politik (parpol) di DPRD Kota Palembang selama tiga pemilu terakhir tersebut.
Pada Pemilu 2009, Partai Demokrat meraih jumlah kursi terbanyak DPRD Kota Palembang, yaitu 11 kursi. Berikutnya Partai Golkar dan PDI Perjuangan (PDI-P) masing-masing tujuh kursi. Partai Keadilan Sejahtera, Partai Gerindra, dan Partai Hanura masing-masing meraih lima kursi.
Selanjutnya, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) meraih tiga kursi, Partai Amanat Nasional (PAN) dan partai Kebangkitan Bangsa (PKB) masing-masing meraih dua kursi, dan Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN), Partai Bintang Reformasi (PBR), serta Partai Barisan Nasional masing-masing memperoleh satu kursi.
Pada Pemilu 2014, dari 50 anggota DPRD Kota Palembang, PDI-P memperoleh jatah kursi terbanyak sembilan kursi. Kemudian tujuh kursi diisi kader Demokrat. Partai Golkar kebagian enam kursi. Setelah itu, PKB, Nasdem, dan Gerindra masing-masing memperoleh lima kursi. Partai Hanura, PKS, dan PAN masing-masing memperoleh tiga kursi sedangkan PBB dan PPP masing-masing meraih dua kursi.
Pada Pemilu 2019, terdapat sembilan partai politik yang memiliki perwakilan di DPRD Kota Palembang. Dari 50 kursi yang tersedia di DPRD Kota Palembang, Partai Demokrat meraih kursi terbanyak, yakni sembilan kursi. Kemudian disusul oleh partai Gerindra memperoleh delapan kursi dan PDI-P memperoleh tujuh kursi. Adapun PAN dan PKB masing-masing mendapat enam kursi. Selebihnya PKS dan Golkar masing-masing meraih lima kursi, Nasdem mendapat tiga kursi, dan PPP meraih satu kursi.
Adapun tujuh partai lainnya, yakni Hanura, PBB, PKPI, Berkarya, Garuda, Perindo, dan PSI tidak mendapat satupun jatah kursi di DPRD Palembang pada periode 2019-2024.
Kependudukan
Penduduk Kota Palembang menurut sensus penduduk 2020 terbanyak di antara kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan. Kendati luasnya hanya 0,4 persen dari wilayah Sumatera Selatan, Palembang dihuni oleh 1,66 juta jiwa atau 19,71 persen dari total penduduk Provinsi Sumatera Selatan.
Berdasarkan jenis kelamin, penduduk laki-laki sedikit lebih banyak dibanding perempuan, yaitu 837.031 laki-laki dan 831.817 perempuan. Dengan demikian, besarnya angka rasio jenis kelamin tahun 2020 penduduk laki-laki terhadap penduduk perempuan sebesar 100,63 persen yang berarti bahwa jumlah penduduk laki-laki lebih besar dibandingkan dengan jumlah penduduk perempuan.
Sebagai wilayah urban, Kota Palembang dihuni oleh masyarakat yang multietnis. Bahkan sejarah mencatat bahwa Palembang sebagai kota dengan multietnis telah berkembang sejak menjadi ibu kota Kerajaan Sriwijaya.
Catatan Malthe Conrad Bruun (1755--1826), seorang petualang dan ahli geografi dari Perancis, mendeskripsikan, Kota Palembang waktu itu telah dihuni oleh masyarakat heterogen yang terdiri atas warga China, Siam, Melayu, dan Jawa. Selain itu, disebutkan pula bahwa di kota tersebut didirikan bangunan dengan menggunakan konstruksi batu bata, seperti vihara dan istana kerajaan.
Penduduk Palembang dari etnis Melayu umumnya menggunakan bahasa Melayu yang telah disesuaikan dengan dialek setempat yang kini dikenal sebagai bahasa Palembang. Sedangkan para pendatang acap kali menggunakan bahasa daerahnya sebagai bahasa sehari-hari, seperti bahasa Komering, Rawas, Musi, Pasemah, dan Semendo.
Mayoritas penduduk Kota Palembang beragama Islam. Menurut BPS, pada tahun 2020, jumlah pemeluk agama Islam sebesar 92,66 persen dari total penduduk Kota Palembang.
Kesejahteraan
Dalam satu dekade terakhir, pembangunan manusia di Kota Palembang terus menunjukkan kemajuan. Hal itu tampak dari pencapaian indek pembangunan manusia (IPM) yang mencapai 78,33 pada tahun 2020. Pencapaian IPM Palembang tersebut merupakan tertinggi dibandingkan kota/kabupaten di Provinsi Sumatera Selatan.
Ditilik dari komponen pembentuk IPM, pada tahun 2020, umur harapan hidup mencapai 70,79. Di sisi pendidikan, harapan lama sekolah mencapai 14,41 tahun dan rata-rata lama sekolah mencapai 10,53 tahun. Sedangkan pengeluaran per kapita mencapai Rp14,67 juta.
Pada tahun 2020 jumlah angkatan kerja di Kota Palembang sebanyak 839.317 orang. Dari keseluruhan angkatan kerja tersebut, 90,14 persen di antaranya merupakan penduduk yang bekerja.
Tingkat pengangguran Kota Palembang pada tahun 2020 sebesar 9,86 persen atau sebanyak 82.771 orang. Angka tersebut naik 1,2 persen dibandingkan 2019 yang berjumlah 60.242 orang. Menurut BPS, pertambahan angka pengangguran pada 2020 disebabkan adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) massal dari perusahaan yang merugi akibat Covid-19.
Selain itu, penambahan angka penangguran juga disumbang oleh angkatan kerja baru yang belum bekerja dan kebanyakan merupakan para pendatang yang berpendidikan formal rendah dengan kemampuan minim.
Kota Palembang termasuk daerah dengan tingkat kemiskinan cukup tinggi di Provinsi Sumatera Selatan. Dari total penduduknya, sebesar 10,89 persen diantaranya tergolong miskin pada tahun 2020. Adapun pada tahun 2019, angka kemiskinan di Kota Palembang tercatat sebesar 10,90 persen dan pada tahun 2018 sebesar 10,95 persen.
Ekonomi
Sebagai kota industri dan perdagangan, struktur perekonomian Kota Palembang didominasi oleh empat lapangan usaha, yaitu sektor industri pengolahan; perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil; sepeda motor; konstruksi; dan informasi dan komunikasi. Dari nilai PDRB Kota Palembang sebesar Rp155,82 triliun pada tahun 2020, masing-masing lapangan usaha itu kontribusinya sebesar 31,28 persen; 17,50 persen; 17,90 persen; dan 7,1 persen.
Di sektor industri pengolahan, menurut data Dinas Koperasi dan UKM Provinsi Sumatera Selatan, pada tahun 2019 dari sekitar 163.291 UMKM di Sumatra Selatan, sebanyak 37.351 UMKM berada di Kota Palembang. Adapun pada tahun 2017, jumlah perusahaan perdagangan sebanyak 1.671 baik berupa perseroan terbatas (PT), CV, koperasi, dan perseorangan.
Laju pertumbuhan ekonomi kota penghasil pempek ini dalam kurun waktu 2011 hingga 2019 selalu berada di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi Provinsi Sumatera Selatan. Namun pada tahun 2020, laju pertumbuhan Kota Palembang terkontraksi lebih dalam dibandingkan rata-rata pertumbuhan Sumatera Selatan. Tercatat kontraksi yang dialami Palembang sebesar 0,22 persen, lebih tinggi dibandingkan Provinsi Sumatera Selatan yang terkontraksi sebesar 0,11 persen.
Dari sisi keuangan pemerintah, pendapatan Kota Palembang masih didominasi oleh dana perimbangan yang merupakan transfer dari pemerintah pusat dengan porsi sebesar Rp1,95 triliun dari total Rp3,48 triliun pada tahun 2020. Kemudian, Pendapatan Asli Daerah (PAD)---yang merupakan indikator kemandirian daerah---hanya berkontribusi Rp1,02 triliun persen. Sisanya, penerimaan disumbang oleh pendapatan lain-lain yang sah.
Di sektor pariwisata, Palembang memiliki keunggulan dari sisi wisata olahraga, wisata sejarah dan wisata kuliner. Untuk wisata olahraga, terdapat kompleks olahraga Jakabaring Sport City yang pernah menjadi tuan rumah perhelatan Asian Games XVIII.
Untuk wisata budaya dan sejarah, terdapat banyak museum dan tempat-tempat menarik yang menyuguhkan informasi seputar kekayaan budaya dan sejarah di Kota Palembang. Destinasi unggulan seperti Benteng Kuto Besak (BKB), dan Pulau Kemaro yang merupakan tempat rekreasi yang lokasinya tepat di tepian Sungai Musi. Kemudian terdapat pula Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya, Museum Negeri Balaputera Dewa, Masjid Ki Marogan, dan Rumah Al-quran Al-Akbar.
Adapun potensi wisata kuliner di Palembang, antara lain, pempek, tekwan, laksan, pindang ikan patin khas Palembang, sambal tempoyak, sate ikan belido, kerupuk dan kemplang, lempok durian, kue delapan jam, dan burgo.
Pada tahun 2018, kunjungan wisatawan ke Palembang baik nusantara maupun mancanegara mencapai 2,12 juta jiwa . Jumlah ini naik 11,5 persen dibandingkan tahun 2017 sebanyak 1,9 juta jiwa.
Untuk mendukung sektor wisata, Kota Palembang memilik 145 hotel dan 56 di antaranya adalah hotel berbintang.