Kota Medan: “Paris van Sumatera"
Pada masa lalu, Kota Medan dijuluki “Paris van Sumatera” karena memiliki keasrian dan bentuk bangunan gaya Eropa. Sebagai pintu gerbang Indonesia di bagian Barat, Medan menjadi pusat perdagangan, industri, dan bisnis yang multikultur sejak zaman Hindia Belanda hingga sekarang.
Kota Medan terletak di bagian utara Pulau Sumatera. Dekat dengan jalur pelayaran Selat Malaka, Medan memiliki posisi yang strategis sebagai gerbang kegiatan barang dan jasa, baik perdagangan domestik maupun luar negeri. Menurut Bappenas, Kota Medan adalah salah satu dari empat pusat pertumbuhan utama untuk Indonesia bersama dengan Jakarta, Surabaya, dan Makassar.
Ada banyak versi mengenai asal muasal kata “medan”. Dari catatan penulis-penulis Portugis abad ke-16, kata "medan" berasal dari "medina". Sumber lain menyebutnya berasal dari bahasa India "meiden".
Adapun dalam Kamus Indonesia-Karo (2002) yang ditulis Darwin Prints, kata "medan" berarti "menjadi sehat" atau "lebih baik." Asal usul nama Medan yang seperti ini terang-benderang terkait erat dengan pendiri Kota Medan, yakni Guru Patimpus, yang berprofesi sebagai tabib.
Berbagai versi tentang asal muasal nama Medan kurang lebih serupa dengan yang disebutkan dalam Almanak Pemerintah Daerah Sumatra Utara 1969.
Pertama, Medan ialah daerah pertempuran yang pernah terjadi antara Aceh dan Deli Lama. Peperangan meletus akibat Kerajaan Deli Lama menolak pinangan Raja Aceh untuk mempersunting putri raja, yakni Putri Hijau.
Kedua, asal raja-raja Deli dari Hindustan, India, kata "medan" berasal dari perkataan India maiden yang berarti tanah datar.
Ketiga, sejak dahulu ada hubungan erat antara Karo dan Deli, maka kata "medan" berasal dari bahasa Karo "medan” yang berarti sembuh.
Ibu kota Provinsi Sumatera Utara ini dibentuk berdasarkan UU 8/1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Kota-Kota Besar, Dalam Lingkungan Daerah Propinsi Sumatera Utara.
Hari jadi Kota Medan ditetapkan pada tanggal 1 Juli 1590. Penetapan hari jadi Kota Medan ini dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat II Medan setelah ada penelitian lewat Panitia Peneliti Hari Jadi Kota Medan yang dibentuk pada 1971. Tanggal tersebut diusulkan karena dinilai bertepatan dengan didirikannya perkampungan oleh Guru Patimpus.
Sebelumnya, hari jadi Kota Medan ditetapkan pada 1 April 1909. Namun, tanggal itu mendapat bantahan dari ahli sejarah dan kalangan pers.
Kota Medan memiliki luas 265,10 kilometer persegi. Jumlah penduduknya menurut Sensus Penduduk 2020 sebanyak 2.435.252 jiwa atau 16,46 persen dari total penduduk Provinsi Sumatera Utara sebanyak 14,79 juta jiwa.
Secara administratif, Kota Medan terdiri atas 21 kecamatan dengan 151 kelurahan yang terbagi dalam 2.001 lingkungan. Saat ini, Kota Medan dipimpin oleh Walikota M Bobby Afif Nasution dan Wakil Walikota H Aulia Rachman.
Selain berjuluk Kota Melayu Deli, Medan juga terkenal dengan sebutan Paris van Sumatera. Julukan itu muncul karena pada abad-19, Medan bertransformasi dari rawa-rawa menjadi layaknya kota di Eropa setelah masuknya investasi perkebunan tembakau. Selain itu, kota yang identik dengan suku Batak ini, juga terkenal mempunyai ragam kuliner serta multietnis.
Sejarah pembentukan
Sejarah Medan berawal dari sebuah kampung kecil bernama Medan Putri yang didirikan oleh Guru Patimpus Sembiring Pelawi. Ia lahir di Aji Jahe dan hidup sekitar akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17. Guru Patimpus berasal dari dataran tinggi Karo dan masih keturunan Sisingamangaraja, yang memerintah Negeri Bakerah di Dataran Tinggi Karo di pertemuan Sungai Deli dan Sungai Babura.
Kampung kecil bernama Medan Putri itu didirikan oleh Guru Patimpus pada tahun 1590. Lokasi Medan Putri yang strategis sebagai lalu lintas perdagangan di bagian Barat Hindia mendorong kampung Medan Putri berkembang pesat menjadi sebuah kota.
Kedatangan bangsa Eropa pertama di Medan dapat dicatat dengan kehadiran Jhon Anderson, seorang berkebangsaan Inggris yang berkunjung ke Kampung Medan tahun 1823. Dalam bukunya, Mission to the East Coast of Sumatera, dicatat bahwa penduduk Kampung Medan pada masa itu masih berjumlah 200 orang. Anderson menyebutkan bahwa sepanjang Sungai Deli hingga ke dinding tembok Masjid Kampung Medan dibangun dengan batu-batu granit berbentuk bujur sangkar. Batu-batu ini diambil dari sebuah candi Hindu Kuno di Jawa.
Perkembangan Kampung Medan Putri tidak bisa dilepaskan dari perkebunan tembakau Deli. Perkebunan tembakau di Deli semakin berkembang ketika pada tahun 1863, Sultan Deli memberikan kepada Nienhuys Van der Falk dan Elliot dari Firma Van Keeuwen en Mainz & Co konsesi lahan lebih dari 3.000 hektar.
Ketika itu, lembar-lembar daun tembakau yang dihasilkan pada panen pertamanya langsung diakui oleh para pengusaha cerutu di Rotterdam sebagai pembungkus cerutu terbaik di antara jenis tembakau lainnya di seluruh dunia.
Sejak saat itu, Nienhuys melakukan ekspansi lahan perkebunan secara besar-besaran dengan membuka lahan di daerah Martubung, Sunggal, Sungai Beras, dan Klumpang. Kantor perusahaan pun dipindahkan ke Kampung Medan Putri. Usaha perkebunan itu menyerap banyak kuli kontrak dari Jawa, buruh-buruh China, sampai ke pengusaha perkebunan asing dari Inggris dan Belanda.
Pada tahun 1863, orang-orang Belanda mulai membuka kebun tembakau di Deli yang sempat menjadi primadona Tanah Deli. Sejak itu, perekonomian terus berkembang sehingga Medan menjadi kota pusat pemerintahan dan perekonomian di Sumatera Barat.
Penguasaan Belanda terhadap Tanah Deli baru dimulai setelah perang Jawa berakhir. Gubernur Jenderal Belanda J Van de Bosch mengerahkan pasukannya ke Sumatera dan dia memperkirakan untuk menguasai Sumatera secara keseluruhan diperlukan waktu selama 25 tahun. Penaklukan Belanda atas Sumatera ini terhenti di tengah jalan karena Menteri Jajahan Belanda waktu itu, JC Baud, menyuruh mundur pasukan Belanda di Sumatera walaupun mereka telah mengalahkan Minangkabau yang dikenal dengan nama Perang Paderi (1821--1837).
Dalam perkembangannya, Medan Putri semakin menjadi pusat perdagangan yang ramai dan mendorong Medan Putri menjadi pusat pemerintahan. Tahun 1879, ibu kota Asisten Residen dipindahkan dari Labuhan ke Medan. Pada tanggal 1 Maret 1887, ibu kota Residen Sumatera Timur dipindahkan pula dari Bengkalis ke Medan. Istana Kesultanan Deli yang semula berada di Kampung Bahari (Labuhan) juga pindah dengan selesainya pembangunan Istana Maimun pada tanggal 18 Mei 1891 dan dengan demikian ibu kota Deli telah resmi pindah ke Medan.
Pada tahun 1915, Residensi Sumatera Timur ditingkatkan kedudukannya menjadi Gubernemen. Pada tahun 1918, Kota Medan resmi menjadi gemente (kota praja) dengan mengangkat wali kota pertamanya Baron Daniel Mac Kay.
Berdasarkan Acte van Schenking (Akte Hibah) Nomor 97 Notaris JM de-Hondt Junior, tanggal 30 November 1918, Sultan Deli menyerahkan tanah Kota Medan kepada Gemente Medan, sehingga Medan resmi menjadi wilayah di bawah kekuasaan langsung Hindia Belanda. Pada masa awal kota praja ini, Medan masih terdiri dari empat kampung, yaitu Kampung Kesawan, Kampung Sungai Rengas, Kampung Petisah Hulu, dan Kampung Petisah Hilir.
Sejak itu, Medan berkembang pesat dan berbagai fasilitas dibangun. Beberapa di antaranya adalah Kantor Stasiun Percobaan AVROS di Kampung Baru (1919)--sekarang RISPA, hubungan Kereta Api Pangkalan Brandan-Besitang (1919), Konsulat Amerika (1919), Pusat Pasar, RS Elizabeth, dan Lapangan Olah Raga Kebun Bunga (1929).
Pada tahun 1942 hingga 1945, terjadi Perang Asia-Pasifik yang melibatkan Jepang sebagai salah satu negara adikuasa pada saat itu. Pada tahun 1942, Jepang mulai mendarat di beberapa wilayah seperti Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan khusus di Sumatera, Jepang mendarat di Sumatera Timur. Tentara Jepang yang mendarat di Sumatera adalah tentara XXV yang berpangkalan di Shonanto yang lebih dikenal dengan nama Singapore. Pasukan ini terdiri dari Divisi Garda Kemaharajaan ke-2 dengan Divisi ke-18 dipimpin langsung oleh Letnan Jenderal Nishimura.
Ketika peralihan kekuasaan Belanda kepada Jepang, Kota Medan kacau balau. Orang pribumi menggunakan kesempatan ini untuk membalas dendam terhadap orang Belanda. Keadaan ini segera ditertibkan oleh tentara Jepang dengan mengerahkan pasukannya yang bernama Kempetai atau Polisi Militer Jepang.
Dengan masuknya Jepang ke Kota Medan, keadaan segera berubah. Pemerintahan sipil yang pada masa Belanda disebut Gemente Bestuur oleh Jepang diubah menjadi Medan Sico (pemerintahan kota praja). Adapun yang menjabat pemerintahan sipil di tingkat kota praja Kota Medan ketika itu hingga berakhirnya kekuasaan Jepang bernama Hoyasakhi. Sedangkan, untuk tingkat keresidenan di Sumatera Timur disebut Syucokan yang ketika itu dijabat oleh T Nakashima, pembantu residen yang disebut Gunseibu.
Penguasaan tentara Jepang di Sumatera Timur membuat masyarakat Kota Medan hidup sengsara. Semboyan saudara tua hanya sekadar semboyan saja. Akibat kondisi tersebut, muncul pemberontakan dan perlawanan dari rakyat Medan. Pemberontakan terus berlangsung sampai akhirnya Jepang dikalahkan sekutu pada pertengahan tahun 1945.
Jepang menyerah kalah kepada Sekutu setelah Nagasaki dan Hiroshima hancur karena dijatuhi bom atom. Kesempatan ini akhirnya dimanfaatkan oleh Bangsa Indonesia untuk memproklamasikan Kemerdekaan Republik Indonesia yang dikumandangkan pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno dan Mohammad Hatta.
Selanjutnya, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 19 Agustus 1945 menetapkan pembagian wilayah Indonesia ke dalam delapan provinsi, yaitu Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Borneo, Kepulauan Sunda Kecil, Sulawesi, dan Maluku.
Masyarakat Kota Medan menyambut kemerdekaan dengan suka cita dan gegap gempita. Masyarakat berduyun-duyun menuju Lapangan Merdeka untuk merayakan kemerdekaan bangsa Indonesia. Namun demikian, suka cita masyarakat Medan itu tidak berlangsung lama. Hanya dalam hitungan bulan, mereka harus menghadapi Belanda yang ingin merebut kembali kemerdekaan yang telah diraih Indonesia.
Menghadapi Belanda yang membonceng tentara Sekutu, masyarakat Kota Medan berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan. Setidaknya ada dua peristiwa heroik di Kota Medan dalam mempertahankan kemerdekaan, yaitu peristiwa Jalan Bali dan Pertempuran Medan Area.
Sejarah pemerintahan Kota Medan mengalami perubahan dan perkembangannya sejak kemerdekaan. Sesuai dengan dinamika pembangunan kota, luas wilayah administrasi Kota Medan telah melalui beberapa kali perkembangan.
Pada tahun 1951, Wali Kota Medan mengeluarkan Maklumat Nomor 21 Tanggal 29 September 1951, yang menetapkan luas Kota Medan menjadi 5.130 hektar, meliputi empat kecamatan dengan 59 kelurahan. Maklumat Wali Kota Medan dikeluarkan menyusul keluarnya Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor 66/III/PSU Tanggal 21 September 1951, agar daerah Kota Medan diperluas menjadi tiga kali lipat.
Melalui PP 22/1973, Kota Medan kemudian dimekarkan menjadi 26.510 hektar yang terdiri dari 11 kecamatan dengan 116 kelurahan. Berdasarkan luas administrasi yang sama, melalui Surat Persetujuan Menteri Dalam Negeri Nomor 140/2271/PUOD, tanggal 5 Mei 1986, Kota Medan melakukan pemekaran kelurahan menjadi 144 kelurahan.
Geografis
Kota Medan terletak di bagian utara Pulau Sumatera. Posisi koordinatnya adalah 3°35′LU dan 98°40′BT. Kota Medan berbatasan dengan Selat Malaka di sebelah utara dan Kabupaten Deli Serdang di sebelah barat, timur, dan utara.
Luas Kota Medan sekitar 26.510 hektar atau setara dengan 265,10 km². Dengan kata lain, Kota Medan memiliki wilayah 3,6 persen dari keseluruhan Sumatera Utara. Kota Medan jika diperlihatkan secara topografinya cenderung miring ke utara. Kota ini berada pada 2,5 hingga 3,5 meter di atas permukaan laut.
Sebagian besar wilayah Kota Medan merupakan dataran rendah yang menjadi tempat pertemuan dua sungai penting, yaitu Sungai Babura dan Sungai Deli. Sungai lainnya yang melintasi Kota Medan adalah Sungai Belawan, Sungai Badera, Sungai Sikambing, Sungai Putih, Sungai Sulang-Saling, Sungai Kera, dan Sungai Tuntungan.
Pemerintah juga telah membuat kanal besar dengan nama Medan Kanal Timur agar dapat mencegah banjir di beberapa wilayah Kota Medan.
Pemerintahan
Sejak Guru Patimpus membuka wilayah yang diberi nama Medan Puteri dan yang menjadi cikal bakal Kota Medan pada tanggal 1 Juli 1590, Medan telah mengalami pergantian kepemimpinan dari waktu ke waktu, dari kerajaan Melayu Deli, kemudian masuk ke zaman penjajahan Belanda dan Jepang hingga masa kemerdekaan.
Ketika Medan dalam kekuasaan Belanda, tercatat ada empat wali kota yang pernah memimpin kota ini. Keempat wali kota itu adalah Daniel Mackay (1 Mei 1918--30 April 1931), JM Wesselink (1 Mei 1931--30 April 1935), G Pitlo, (1 Mei 1935--30 April 1938), dan Carl Erich Eberhard Kuntze (1 Mei 1938--14 Februari 1942).
Selanjutnya dibawah kekuasaan pemerintahan penjajah Jepang, wali kota yang menjabat di Medan adalah Shinichi Hayasaki (15 Februari 1942--16 Agustus 1945).
Setelah Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, kota Medan telah dipimpin 17 wali kota. Wali kota pertama Kota Medan adalah Luat Siregar yang menjabat antara 17 Agustus 1945 hingga 10 November 1945. Kemudian, secara berturut-turut dipimpin oleh M Yusuf (10 November 1945--31 Oktober 1947), Djaidin Purba (1 November 1947--11 Juli 1952), AM Jalaludin (12 Juli 1952--1 Desember 1954), Muda Siregar (2 Desember 1954--2 Juli 1958), Madja Purba (3 Juli 1958--27 Februari 1961), Basyrah Lubis (28 Februari 1961--9 Oktober 1964, dan PR Telaumbanua (10 Oktober 1964--27 Agustus 1965).
Pada masa Orde Baru, secara berturut-turut Kota Medan dipimpin oleh Wali Kota Aminurrasyid (28 Agustus 1965--26 September 1966), Sjoerkani (26 September 1966--2 Juli 1974), AM Saleh Arifin (3 Juli 1974--31 Maret 1980), Haji Agus Salim Rangkuti (dua periode dari 1 April 1980-31 Maret 1985 dan 1 April 1985--31 Maret 1990), Bachtiar Djafar (dua periode dari 1 April 1990--31 Maret 1995 dan 1 April 1995--31 Maret 2000).
Selanjutnya di masa reformasi, wali kota yang pernah menjabat di Kota Medan adalah Abdillah (1 April 2000--31 Maret 2005 dan 1 April 2005--20 Agustus 2008) dan dilanjutkan oleh pejabat sementara Afifuddin (20 Agustus 2008--22 Juli 2009), Rahudman Harahap (23 Juli 2009--15 Februari 2010), dan Syamsul Arifin (16 Februari 2010--25 Juli 2010).
Lalu diteruskan oleh Wali Kota Rahudman Harahap (26 Juli 2010--16 Mei 2013), Dzulmi Eldin, (15 Mei 2013--17 Juni 2014, 18 Juni 2014--26 Juli 2015), Syaiful Bahri Lubis sebagai pelaksana harian (27 Juli 2015--5 Oktober 2015), Randiman Tarigan sebagai penjabat sementara (5 Oktober 2015--17 Februari 2016), Wali Kota Dzulmi Eldin (17 Februari 2016--16 Oktober 2019), Akhyar Nasution sebagai pelaksana tugas dan wali kota (17 Oktober 2019--17 Februari 2021). Saat ini, Wali Kota Medan dijabat oleh Bobby Nasution dari 17 Februari 2021 hingga 5 tahun ke depan.
Untuk menjalankan roda pemerintahan, Kota Medan memiliki jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebanyak 13.002 orang, yang terdiri dari PNS laki-laki sebanyak 4.307 orang dan PNS perempuan sebanyak 8.695 orang.
Politik
Peta politik di Kota Medan dalam tiga kali pemilihan umum berlangsung dinamis. Hal itu tampak dari perolehan kursi partai politik di DPRD Kota Medan.
Pada Pemilu 2009, dari total 45 kursi yang ada, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) meraih kursi terbanyak, yakni sembilan kursi. Disusul PAN, Golkar, Demokrat, dan PDI-P masing-masing meraih enam kursi, PPP dan Partai Damai Sejahtera (PDS) masing-masing memperoleh lima kursi dan satu kursi untuk Partai Medan Bersatu.
Lima tahun kemudian, pada Pemilu 2014, PDI-P meraih kursi terbanyak, yakni sembilan kursi dari lima daerah pemilihan. Kemudian, tujuh kursi untuk Partai Golkar, enam kursi untuk Partai Gerindra, lima kursi untuk PKS, lima kursi untuk Partai Demokrat, lima kursi untuk PPP, empat kursi untuk PAN, dua kursi untuk Partai Nasdem, dua kursi untuk PKPI, dan satu kursi untuk PBB. Sedangkan, PKB tidak mendapatkan satu pun kursi untuk DPRD Kota Medan dalam Pemilu 9 Juli 2014 tersebut.
Terakhir, pada Pemilu 2019, PDI-P dan Gerindra mendominasi perolehan kursi di DPRD Kota Medan. Keduanya sama-sama memperoleh 10 kursi dari total 50 kursi yang ada. Disusul kemudian PKS memperoleh tujuh kursi dan PAN memperoleh enam kursi. Sedangkan Golkar, Demokrat, dan Nasdem sama-sama memperoleh empat kursi. Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dan Hanura sama-sama memperoleh dua kursi serta PPP mendapatkan satu kursi.
Kependudukan
Penduduk Kota Medan menurut hasil sensus penduduk 2020 sebanyak 2,43 juta orang atau 16,46 persen dari seluruh penduduk Sumatra Utara. Secara rinci, penduduk Kota Medan berjenis kelamin laki-laki berjumlah 1,21 juta orang, sementara penduduk berjenis kelamin perempuan berjumlah 1,22 orang.
Dengan luas Kota Medan hanya sebesar 0,35 persen dari luas wilayah Sumatra Utara, kepadatan penduduk mencapai 9.239 jiwa per kilometer persegi. Angka ini sekaligus menunjukkan Kota Medan sebagai kota terpadat di Sumatera Utara.
Sebagai “kota metropolitan baru”, Kota Medan terkenal dengan kota multietnis yang penduduknya terdiri dari orang-orang dengan latar belakang budaya dan agama yang berbeda-beda. Selain Melayu dan Karo sebagai penghuni awal, Medan didominasi oleh etnis Jawa, Batak, Tionghoa, Minangkabau, Mandailing, dan India.
Suku Melayu bermukim di pinggiran kota sementara untuk suku Minangkabau dan Tionghoa lebih dominan tinggal di tempat-tempat ramai karena banyak diantaranya yang menjadi pedagang. Lain lagi dengan suku Mandailing, mereka banyak dijumpai tinggal di daerah pinggiran yang lebih nyaman dan tidak sepadat di kawasan perkotaan.
Islam dan Kristen Protestan adalah agama yang dominan di kota ini. Menurut data BPS, penduduk yang beragama Islam pada tahun 2020 tercatat sebanyak 9,52 juta jiwa sedangkan penduduk yang beragama Kristen Protestan sebanyak 4,01 juta jiwa.
Setelahnya, secara berurutan adalah agama Katolik, Budha dan Hindu. Kota Medan, seperti halnya Indonesia secara umumnya, memberikan kebebasan kepada setiap masyarakat untuk dapat melakukan ibadah sesuai dengan kepercayaan masing-masing.
Mayoritas penduduk Medan bekerja di sektor perdagangan, sehingga banyak ditemukan ruko di berbagai sudut kota.
Kesejahteraan
Pembangunan manusia di Kota Medan dalam satu dekade terakhir terus menunjukkan kemajuan. Nilai indeks pembangunan manusia (IPM) meningkat dari 77,02 pada tahun 2010 menjadi 80,97 pada tahun 2020. Pencapaian IPM Kota Medan ini tertinggi di Provinsi Sumatera Utara.
Indeks ini dibentuk dari beberapa indikator yaitu angka harapan hidup sebesar 73,14 tahun, harapan lama sekolah sebesar 14,74 tahun, rata-rata lama sekolah sebesar 11,39 tahun dan Pengeluaran Perkapita sebesar Rp 14,89 juta/kapita/tahun.
Medan juga masih didera kemiskinan dan pengangguran. Badan Pusat Statistik menyebutkan, pada Maret 2020, angka kemiskinan di Medan mencapai 8,01 persen atau sebanyak 183.540 orang, terbanyak di Sumatera Utara.
Adapun tingkat pengangguran terbuka di Kota Medan sebesar 10,74 persen pada Agustus 2020. Angka itu menduduki posisi kedua setelah Pematangsiantar. Sedangkan gini rasionya sebesar 0,3144 pada tahun 2018.
Ekonomi
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Medan tahun 2020 tercatat senilai Rp153,66 triliun. Apabila ditinjau dari komponen PDRB-nya, kegiatan di bidang perdagangan bersama konstruksi dan industri pengolahan menjadi motor penggerak roda perekonomian kota. Kontribusi ketiga aktivitas ini sekitar 58,66 persen. Nilai ini setara dengan Rp90,09 triliun.
Jika dilihat secara individual, dari nilai yang dihasilkan itu kegiatan perdagangan menjadi kontributor utama. Aktivitas di lapangan usaha ini menghasilkan Rp40,1 triliun, sedangkan perolehan dari konstruksi dan industri pengolahan masing-masing bernilai sekitar Rp29,03 triliun dan Rp20,96 triliun.
Apabila ditinjau dari sisi sumber pendapatannya, pendapatan asli daerah (PAD) hanya berkontribusi sebesar Rp1,5 triliun atau 37,68 persen dari total pendapatan Rp3,98 triliun. Sebagaimana kebanyakan daerah lainnya, dana perimbangan masih menjadi tulang punggung penerimaan Kota Medan. Kontribusi dana perimbangan mencapai Rp2,05 triliun atau 51,5 persen dari total pendapatan Kota Medan.
Sebagai pusat bisnis, Medan memiliki lokasi industri. Salah satu kawasan industri yang memiliki fasilitas relatif lengkap adalah Kawasan Industri Medan (KIM). Pada kawasan industri seluas lebih kurang 514 hektare ini, telah bergabung sebanyak 600 pengusaha mulai dari industri dengan skala UKM, menengah hingga industri-industri multinasional dan internasional.
Sebagai pintu gerbang wilayah Indonesia bagian barat, Kota Medan didukung oleh adanya pelabuhan Belawan dan Bandar Udara Internasional Kualanamu. Akses dari pusat kota dan bandara telah terlengkapi oleh jalan tol dan kereta api. Medan adalah kota pertama di Indonesia yang berhasil mengintegrasikan bandara dengan kereta.
DI luar potensi bisnisnya, Kota Medan menyimpan potensi wisata yang cukup beragam. Selain wisata alam, Medan juga kaya akan objek wisata sejarah, pendidikan, serta tempat liburan yang modern.
Istana Maimoon, Masjid Raya, dan Tjong A Fie merupakan destinasi wisata yang menjadi daya tarik wisatawan lokal maupun mancanegara menurut Dinas Pariwisata Kota Medan. Selain ketiga destinasi wisata itu, tempat wisata lainnya di Kota Medan adalah Taman Buaya di kawasan Sunggal yang berisikan ribuan ekor buaya aneka jenis; Taman Bunga; Kebun Binatang Simalingkar; Menara Air Tirtanadi sebagai ikon kota Medan; dan Titi Gantung yang merupakan sebuah jembatan di atas rel kereta api; serta Gedung London Sumatera.
Untuk mendukung wisata dan bisnis, Kota Medan memiliki 229 hotel (BPS 2018). Sebanyak 62 di antaranya hotel berbintang. Jumlah restorannya mencapai 1.141 buah.