Kita kaget dengan kisah Mukherjee di buku ini yang penuh makna akan gagasan perkembangan sel. Juga memantik imajinasi.
Oleh
JOKO PRIYONO
·4 menit baca
Di Amerika Serikat, tempat tinggalnya saat ini, Shiddharta Mukherjee bukanlah seorang guru di sekolah menengah pertama (SMP). Ia adalah ahli onkologi, dokter, dan seorang akademisi. Walakin, mengerti buku garapannya, Sel: Eksplorasi Kedokteran dan Manusia Baru, mudah membuat kita menerawang ingatan terhadap satu materi di pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) semasa bersekolah di SMP.
Kita ingat, dulu pernah diajari guru menghafalkan pengertian sel, mempelajari mikroskop, serta membedakan antara sel hewan dan sel tumbuhan. Uraian-uraian yang disampaikan Mukherjee kemudian membuat kita agak kecewa, ketika pelajaran IPA yang hanya terlintas di kepala adalah hafalan. Kita kaget dengan kisah di buku ini yang penuh makna akan gagasan perkembangan sel.
Ia mengajak kita memasuki lapisan-lapisan teori, sejarah, pergulatan, dan daya imajinasi sains bagi peradaban manusia. Di beberapa sudut, keterangan mudah membuat kita sedih, bahagia, dan hati bergejolak. Sungguh, ia memberikan bukti dalam halaman demi halaman yang mengagumkan itu. Kita boleh tegang, namun tidak boleh berlebihan untuk mengerti dunia kecil yang penting bagi kehidupan makhluk hidup tersebut.
Kita kaget dengan kisah di buku ini yang penuh makna akan gagasan perkembangan sel.
Lintasan sejarah menjadi sajian penting dari Mukherjee untuk memberi babak demi babak keilmuan. Penelitian sel dalam sejarah erat berhubungan dengan jenis penyakit yang dihadapi manusia. Dengan kata lain, penelitian memacu perkembangan kedokteran. Dulu, saat abad ke-16 dan ke-17 diterangkan sebagian besar penyakit disebabkan miasma (uap beracun yang memancar dari parit atau air tercemar).
Di sana kemudian eksplorasi sel berkembang. Adalah mikroskop, sebuah penemuan menakjubkan dalam peradaban. Ia sebagai alat yang menyiratkan daya kekuatan mata manusia terbatas. Mikroskop adalah sebuah kekuatan optik yang mampu melihat, menggambarkan, dan membantu analisis sebuah benda berukuran kecil (mikro).
Mikroskop pertama kali dikembangkan oleh bapak dan anak, ahli optik dari Belanda, Hans dan Zacharias Jansen di awal abad ke-17. Selang beberapa waktu kemudian, muncul ilmuwan Belanda Antoni van Leeuwenhoek. ”Leeuwenhoek mengembangkan hasil karya bapak-anak Janssen dan membuat mikroskop sederhana sendiri, dengan satu lensa yang dipasang di selembar lempeng kuningan, dan meja obyek kecil tempat meletakkan spesimen” (hlm 33).
Tokoh demi tokoh mengisi babak perkembangan. Mukherjee jujur menyampaikan saat di antara ilmuwan terjadi perdebatan mengenai teori. Ia menegaskan, perkembangan sains bukanlah jalan yang senantiasa mulus. Ada sanggahan, kritikan, dan kemarahan. Seperti halnya terjadi saat fisikawan Inggris, Robert Hooke, yang juga mengembangkan mikroskop dalam banyak kesempatan mengkritik Leeuwenhoek. Di Inggris sendiri, Hooke adalah seorang yang berseteru lama dengan Isaac Newton.
Uraian ketegangan antara ilmuwan kadang yang tak sampai di telinga murid-murid di Indonesia. Kita malah ingin mengerti sedikit kisah di masa lalu. Di majalah Pengantar Pengetahuan edisi Februari 1952 terdapat liputan berjudul ”Perlu Ahli Penjelidik”. Liputan menyoal kurangnya dokter di Indonesia dan perlunya menggelorakan nalar saintifik untuk mengatasi penyakit. Keterangan terbaca: ”Djawabnja ialah: penjelidikan, penjelidikan sekali lagi penjelidikan.”
Baik riset maupun penelitian menjadi lanskap sejarah Indonesia. Di sana berhubungan dengan lembaga pendidikan. Uraian membuat kita menengok buku pelajaran Ilmu Kuman (1958) susunan Rd. Mh. Djoehana Wiradikarta dan M. H. A Patah terbitan Kementerian Kesehatan yang digunakan untuk Sekolah Djuru Kesehatan. Para bocah sekolah menyimak buku dapat mengetahui teori sel, mikrobiologi, mikroskop, jenis penyakit, hingga vaksin.
”Dalam pengertian sempit, sel adalah unit otonom yang bertindak sebagai mekanisme pembaca kode gen. Gen menyediakan instruksi—boleh disebut sebagai kode—untuk membangun protein, molekul yang melakukan nyaris semua kerja dalam sel” (hlm. 14). Ia sedang mengingatkan konsep gen, yang kebetulan secara komprehensif telah ia uraikan dalam buku Gen: Perjalanan Menuju Pusat Kehidupan (KPG, 2020).
Satu hal mendasar, buku ini memang mengisahkan ilmu biologi. Menariknya, sebagaimana sering dilakukan oleh Mukherjee, ia mengemas tulisan dengan metafora yang memantik imajinasi dalam menelaah keilmuan. Hal itu kemudian ditambah penyenaraian teks-teks kesusastraan yang kemudian menjadikan tulisan sebagai keilmuan populer yang hidup dan syarat makna.
Pada abad ke-20 dan ke-21, kehidupan makin kompleks. Kita makin mengerti bahwa manusia itu rapuh. Ragam penyakit adalah salah satu tantangannya, yang bisa merenggut kematian. Riset-riset mengenai biologi molekuler dan sitologi menjadi makin penting. ”Dua dasawarsa antara 1940 dan 1960 mungkin merupakan periode paling subur dan produktif bagi para ahli biologi sel yang berupaya membedah anatomi fungsional sebelah dalam sel” (hlm 133).
Menariknya, sebagaimana sering dilakukan Mukherjee, ia mengemas tulisan dengan metafora yang memantik imajinasi dalam menelaah keilmuan.
Babak demi babak menginginkan buku tak lekas berakhir. ”Saya tak bisa memikirkan momen saintifik lain yang telah mengungkapkan sedemikian banyak kekurangan yang mendalam dan mendasar dalam pengetahuan kita mengenai biologi suatu sistem yang kita tadinya pikir kita ketahui. Kita telah belajar sedemikian banyak. Masih tersisa banyak hal yang perlu kita pelajari” (hlm 318).
Sains adalah tentatif. Ia membutuhkan jeda, sembari berharap muncul kelanjutan akan perkembangan dengan kisah-kisah yang ada. Kisah itu mengharuskan para ilmuwan mendekam dalam kesepian dan kesunyian di laboratorium, menyigi obyek dalam lensa mikroskop, kesetiaan terhadap fakta obyektif, dan menerjemahkan partitur musik orkestra kehidupan. Kepastian tak mudah hadir, dengan sendirinya membuat kita mau memaknai ”masa tunggu”.
Joko Priyono. Fisikawan Partikelir dan Budayawan; Penulis Buku Bersandar pada Sains.
DATA BUKU
Judul: Sel: Eksplorasi Kedokteran dan Manusia Baru