Sosok Syekh Nawawi al-Bantani, Pencari dan Penyebar Ilmu
Tidak hanya Islam Indonesia, tetapi Syekh Nawawi sudah mewariskan kekayaan budaya umat Islam dunia.
Oleh
DESI PERMATASARI
·5 menit baca
Kalimat di atas merupakan bagian dari pengantar buku Syekh Nawawi al-Bantani (1812-1897): Mahaguru Ulama Hijaz & Nusantara Abad Ke-19 (GPU, 2023). Buku ini ditulis oleh Prof Mufti Ali, PhD dan Dr Hj Siti Ma’rifah Ma’ruf Amin dengan pendekatan prosopografis untuk memahami topik yang menjadi fokus tulisan berdasarkan kata kunci ”jaringan ulama”.
Penulis menggunakan pendekatan prosopografis untuk memperhitungkan berbagai studi sebelumnya yang menunjukkan peran dan pengaruh Syekh Nawawi dalam transmisi jaringan ulama dan tradisi intelektual keagamaan Islam abad ke-19 dan ke-20. Pendekatan prosopografis menuntut penulis untuk melibatkan banyak tokoh ulama sebelum, semasa, serta sesudahnya, yang terhubung dengan Syekh Nawawi, seperti guru, kolega, ataupun murid-muridnya.
Demi mendalami tokoh, sebaran murid dan karya Syekh Nawawi, penulis melakukan penelusuran fakta yang masih terfragmentasi pada kehidupan tiap-tiap tokoh yang saling terhubung.
Sosok Syekh Nawawi al-Bantani
Buku setebal 198 halaman ini memaparkan sosok Syekh Nawawi dengan terperinci, mulai dari latar belakang hingga menjadi mutawwif saat musim haji tiba.
Muhammad Nawawi bin Umar al-Bantani merupakan nama lengkap Syekh Nawawi. Pria kelahiran Tanara, Banten, pada 1813 ini memiliki seorang istri dan empat anak perempuan: Ruqoyah, Nafisah, Maryam, dan Zahrah. Istrinya tidak hanya potret yang religius, tetapi juga pandai dalam dunia usaha.
Syekh Nawawi memiliki keterikatan erat dengan Mekkah, tempat beliau menjalani sebagian besar kehidupannya. Terbukti saat ia menyelesaikan studi, ia langsung berangkat ke Mekkah dan hanya kembali ke Tanah Air selama kurang dari lima tahun. Setelah itu, ia kembali ke Mekkah sampai akhir hayatnya.
Syekh Nawawi mampu membaca dan menghafal Al Quran dengan sempurna. Syekh Nawawi sangat fasih dalam membaca naskah berbahasa Arab sebab Syekh Nawawi telah hidup di Mekkah selama 30 tahun.
Syekh Nawawi populer bukan karena lisannya, tetapi justru karena goresan penanya. Namun, menurut Snouk Hurgronje sebagai ilmuwan besar dengan karya-karya Islam di Nusantara, dalam bahasa sehari-hari Syekh Nawawi tidak sefasih saat membaca naskah, tetapi istrinya yang asli Arab yang membantunya.
Syekh Nawawi dikenal dengan gaya hidupnya yang sederhana. Tampilannya mencerminkan persona yang bersahaja dengan menyembunyikan kebesaran nama, keluhuran akhlak, dan kedalaman ilmunya. Saking bersahajanya Syekh Nawawi, Hurgronje menilai ”If the ritual law Islam had not made cleanliness a duty he would be positively dirty”.
Tampilannya memang sederhana, tetapi dalam menimba ilmu, Syekh Nawawi sangat giat hingga mendatangi ulama ternama di luar daerah. Sebelum Syekh Nawawi menuntut ilmu ke Mekkah, beberapa ulama di Banten dan Purwakarta sempat dikunjunginya.
Salah satunya KH Umar bin Arabi yang merupakan orang tua dan seorang alim di Tanara. Selaku ulama yang diakui kealimannya oleh banyak kalangan. Ia mengajarkan Syekh Nawawi tentang ilmu-ilmu dasar keagamaan, khususnya akidah dan fikih, serta tata bahasa Arab.
Syekh Nawawi melanjutkan studinya ke Mekkah saat itu usianya sekitar 15 tahun. Niatnya belajar hingga ke Mekkah adalah mendalami ilmu dari para guru yang tersohor. Syekh Nawawi masuk ke dalam gelombang kedua pelajar asal Hindia Belanda yang bermukim dan kemudian menjadi guru agama di Mekkah.
Berdasarkan pemaparan penulis, pada periode tersebut banyak laporan penelitian yang menyebut para pelajar asal Hindia Belanda banyak bermukim di Mekkah dan belajar dari para ulama. Semenjak itu, membentuk jaringan ulama dan mentransmisikan tradisi intelektual Islam Timur Tengah ke wilayah kepulauan Nusantara. Para pelajar yang datang ke Mekkah bermukim dan belajar untuk waktu yang tidak lama, sekitar tiga sampai lima tahun, kemudian kembali ke Tanah Air.
Namun, berbeda dengan Syekh Nawawi, ia menghabiskan masa belajarnya tiga tahun lebih di Mekkah, lalu kembali ke Tanah Air. Saat pulang ke Tanah Air, ia tidak sabar untuk menimba ilmu kembali. Akhirnya, ia kembali ke Mekkah dan menghabiskan hidup di sana.
Setelah kedatangan Syekh Nawawi ke Mekkah, gelombang haji dari Banten meningkat pesat. Jumlah haji terus meningkat tajam pada tahun 1858 menjadi 3.862 yang sebelumnya hanya 413 orang. Sepanjang musim haji dari 1850 sampai 1858, daerah Banten, Batavia, Bogor, dan Priangan yang menjuarai jemaah haji.
Orang-orang Banten yang tinggal di Mekkah juga memiliki aktivitas yang bervariasi, seperti pedagang, membuka usaha, dan berprofesi sebagai syekh haji atau mutawwif.
Profesi mutawwif ini menjadi tradisi pekerjaan selama tiga generasi. Syekh Nawawi pernah menjadi mutawwif saat musim haji, yang diperkirakan paling tidak sampai 1950. Pada bab 3 dari publikasi ini, penulis meyakini bahwa keturunan sebagian besar mutawwif generasi Syekh Nawawi juga mendapatkan lisensi sebagai mutawwif. Berdasarkan sumber dan arsip kolonial pada 1884-1950 menyebutkan tradisi menjadi mutawwif terjadi pada tahun 1880-an, dilanjutkan oleh keturunannya.
Transmisi jaringan tradisi intelektual Islam
Pada halaman 57 dijelaskan bahwa pendidikan dan pengajaran Islam yang diselenggarakan di Mekkah tersedia untuk tingkat dasar sampai tingkat tinggi. Hurgronje menyamakannya dengan universitas yang dipimpin oleh profesor. Guru yang mengajar kebanyakan adalah mufti dan ahli hukum Islam di Masjidil Haram.
Tak heran jika Syekh Nawawi disebut memiliki andil sebagai pemegang kunci yang menyatukan para ulama asal Nusantara (Melayu-Indonesia). Peran Syekh Nawawi dalam transmisi jaringan tradisi intelektual Islam adalah membuka kegiatan pengajaran di rumahnya. Beberapa sumber menyebutkan bahwa rumah Syekh Nawawi selalu ramai orang datang untuk belajar dan mayoritas yang datang adalah orang Jawah. Abdul Sattar al-Dihlawi, seorang ulama asal New Delhi, India, yang berkunjung ke rumah Syekh Nawawi menyaksikan murid yang belajar di sana mencapai 200 orang.
Syekh Nawawi mengajar murid-muridnya seorang diri dengan menggunakan buku-buku teks yang ditulis oleh guru-gurunya, seperti Sayyid Ahmad Dahlan, Syekh Abdul Hamid Daghestani, dan Syekh Ahmad Nahrawi.
Menurut Hurgronje, 15 tahun terkahir ketika dirinya tinggal di Mekkah, kesibukan Syekh Nawawi dalam menulis karya menyita separuh waktunya. Syekh Nawawi membagi tiga kelompok untuk murid-muridnya, yakni kelas pemula, kelas mahir, dan kelas dewasa atau kelas lanjutan bagi para kiai yang sudah membuka kegiatan mengajar di rumah masing-masing.
Penjelasan mengenai jaringan intelektual terletak pada halaman 74, yang menjelaskan Syekh Nawawi memainkan peranan menghubungkan para pelajar asal Nusantara dengan para guru utama di Haramain. Murid-murid Syekh Nawawi kebanyakan berasal dari Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Murid yang telah menyelesaikan studi bersama SyekH Nawawi kebanyakan melanjutkan kepada ulama terkenal.
Buku ini mengutip pernyataan Jajang A Rohmana melalui tulisan berjudul Authorship of The Jawi Ulama in Egypt: A Contribution of Nawawi Banten and Haji Hasan Mustapa to Sharh Tradition (2020) bahwa luasnya pengaruh Syekh Nawawi melalui murid-muridnya membuatnya memegang otoritas yang kuat dalam mentransmisikan tradisi intelektual Haramain dan koneksinya dengan ulama asal Asia Tenggara. Terbukti melalui karya-karyanya yang kemudian menjadi bahan ajar di berbagai pesantren. (Litbang Kompas/DPS)