Di Bawah Bayang-bayang Janji Jepang
Kedatangan Jepang ke Indonesia membuat Belanda angkat kaki. Tiga setengah tahun kemudian Indonesia merdeka.
Di Jepang, kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 memicu suatu perdebatan. Kelompok pertama berpendapat bahwa kemerdekaan Indonesia adalah hadiah dari Jepang. Alasannya adalah Jepang berhasil mengusir Belanda dari tanah Hindia Belanda pada Maret 1942. Hal ini telah membuka langkah Indonesia untuk membebaskan diri dari belenggu kolonialisme. Pendapat ini didukung oleh para pejabat ataupun tentara Jepang yang hidup di masa itu.
Namun, ada kelompok kedua yang menyatakan bahwa kemerdekaan Indonesia adalah buah perjuangan sendiri dari para pejuang Indonesia. Mereka beralasan pada peristiwa Rengasdengklok yang memaksa Soekarno-Hatta untuk segera membacakan proklamasi seiring dengan kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II. Kelompok ini didominasi oleh golongan nasionalis Indonesia.
Meskipun pendapat antarkelompok bertentangan, terdapat salah satu orang Jepang yang justru mendukung hipotesa dari kelompok kedua, yaitu Aiko Kurasawa. Hampir setengah abad berkarier sebagai sejarawan, Aiko Kurasawa konsisten melawan pendapat kelompok pertama. Menurut Aiko Kurasawa, pendudukan Jepang di Indonesia juga termasuk kolonialisme. Pendapatnya diperkuat dengan terbitnya buku Aiko Kurasawa yang terbaru berjudul Kemerdekaan Bukan Hadiah Jepang (Komunitas Bambu, 2023).
Judul buku menjadi penegasan seorang Aiko Kurasawa yang menyatakan bahwa kemerdekaan Indonesia adalah perjuangan orang Indonesia sendiri, bukan Jepang. Buku ini berisi hasil penelitiannya tentang alasan mengapa Jepang datang ke Indonesia dan bagaimana pola pendudukan Jepang di Nusantara. Lewat buku ini Aiko ingin mengkritik kelompok yang mempercayai bahwa kemerdekaan Indonesia adalah hadiah dari Jepang.
Aiko juga ingin menjawab pertanyaan apakah Soekarno ”antek-antek” Dai Nippon? Apalagi, beberapa media ada yang menunjukkan bahwa Soekarno justru tidak terlalu tegas dibandingkan ketika diduduki oleh Belanda. Soekarno justru dituduh ikut bekerja sama dengan Jepang untuk meraih kemerdekaan Indonesia.
Pendudukan Jepang
Saat Jepang datang ke Indonesia ditanggapi dengan sukacita oleh beberapa penduduk pribumi. Saat itu banyak dari mereka memercayai sebuah ramalan yang mengatakan akan ada bangsa berkulit kuning dari utara yang mengalahkan bangsa berkulit putih dan berganti menguasai Pulau Jawa dalam waktu yang singkat. Ramalan ini dipercaya ditulis oleh Jayabaya raja dari Kerajaan Kediri.
Ramalan ini menjadi kenyataan ketika Maret 1942 Belanda menyerahkan kekuasaan kepada Jepang di Perjanjian Kalijati. Masyarakat mengalami euforia senang karena lepas dari belenggu kolonialisme, terlebih Jepang menganggap dirinya sebagai saudara tua yang akan membebaskan bangsa Asia dari penjajahan Barat.
Namun, tujuan Jepang ke wilayah selatan bukan untuk memerdekakan Indonesia. Jepang ingin menguasai wilayah selatan untuk mendukung mereka dalam Perang Asia Timur Raya. Indonesia dianggap memiliki sumber daya alam ataupun manusia yang bisa dimanfaatkan demi kemenangan Jepang. Kondisi Jepang saat itu sedang di atas angin setelah meluluhlantakkan Pearl Harbour pangkalan militer Amerika Serikat dan berhasil mengambil alih negara-negara jajahan Barat di Asia Tenggara.
Maka, setelah menguasai Indonesia, Jepang mulai mempekerjakan pribumi secara paksa atau dikenal romusha. Tujuan romusha adalah untuk memenuhi kebutuhan Jepang. Salah satu contohnya adalah program penyerahan paksa padi kepada tentara Jepang. Aiko memperlihatkan sepanjang pendudukan Jepang terjadi kelangkaan beras dan banyak korban jiwa meninggal karena kelaparan.
Di masa Hindia Belanda belum pernah ada peristiwa kelangkaan beras seperti yang terjadi di masa pendudukan Jepang. Kondisi ini terjadi akibat orang Jepang yang gemar memakan nasi sama seperti orang Indonesia dibandingkan dengan orang Belanda.
Jepang juga melakukan debelandanisasi atau menghilangkan pengaruh kebudayaan Belanda di Indonesia. Lewat berbagai macam media propaganda Jepang ingin menanamkan kebudayaan Jepang dan Indonesia. Sejak saat itu bahasa Belanda dilarang dan pribumi diperbolehkan untuk menggunakan bahasa Indonesia.
Lewat propaganda ini Jepang ingin menginformasikan kepada penduduk tentang maksud Jepang dalam berperang dan meduduki Indonesia, sekaligus menekankan kejahatan bangsa barat. Jepang ingin mengajak pribumi Indonesia mendukung langkah-langkah Jepang dalam Perang Asia Timur Raya. Ini juga sebagai bagian penanaman slogan mereka, yakni ’Jepang: Cahaya Asia, Pelindung Asia, dan Pemimpin Asia’.
Melalui propaganda ini Aiko ingin menunjukkan bahwa kedatangan Jepang ke Indonesia justru bukan ingin membebaskan rakyat pribumi dari penjajahan. Kolonialisme masih tetap ada yang berubah hanya tuannya saja. Meskipun begitu, pada zaman Jepang tekanan terhadap Indonesia tidak begitu ketat dibandingkan dengan saat zaman Belanda.
Soekarno dan Jepang
Ada beberapa tuduhan yang menyatakan bahwa Soekarno adalah antek-antek Jepang. Dia dituduh secara sengaja bekerja sama dengan Jepang. Namun, Aiko Kurasawa menjawabnya bahwa Soekarno adalah korban keadaan. Jepang memanfaatkan Soekarno untuk berorasi tentang kehebatan-kehebatan Jepang. Artinya, Jepang meminjam lidah Soekarno agar pribumi mendukung Jepang.
Pertemuan Soekarno dengan Jepang adalah ketika Soekarno ditinggal oleh Belanda saat mereka sedang mengungsi ke Australia. Saat itu, status Soekarno sedang menjalani masa pembuangan di Bengkulu. Jepang akhirnya bertemu dengan Soekarno di Bukittinggi. Dalam pertemuan itu Soekarno dijanjikan untuk dibebaskan dan diperbolehkan kembali ke Jawa.
Saat kembali ke Jawa, Soekarno bertemu dengan Jenderal Imamura di Jakarta. Pada pertemuan tersebut Jenderal Imamura menanyakan kesiapan Soekarno untuk bekerja sama dengan Jepang. Menurut Imamura, ia tidak memaksa Soekarno untuk bekerja sama, tetapi dia hanya mengatakan, jika Soekarno menentang Jepang, akan menghadapi kekerasan. Imamura pun tidak menjanjikan kemerdekaan Indonesia.
Soekarno kemudian berunding dengan teman-temannya. Sesuai dengan otobiografinya, Soekarno bersedia dengan alasan ingin mendidik rakyatnya memiliki pemerintahan mandiri dengan biaya Pemerintah Jepang. Memang keputusan Soekarno besar resikonya, tetapi Soekarno yakin mampu mengatasinya.
Sejak saat itu, Soekarno berorasi untuk membangkitkan kebencian terhadap Barat. Dalam menjalankan tugasnya, Soekarno ternyata pandai dalam menata bahasanya. Dia tidak pernah menggunakan kata-kata ”merdeka” di dalam pidatonya, justru ia menekankan kata-kata penyatuan dan kolektivisme seperti ”bersatu” dan ”bersama-sama”.
Soekarno mencari aman agar tidak menyinggung perasaan Jepang. Namun, tidak disangka pidato Soekarno malah mempersatukan masyarakat Indonesia sebagai bangsa antipenjajahan. Dari sinilah kemudian Soekarno justru semakin dikenal oleh masyarakat akar rumput. Bisa dibilang ada faktor Jepang yang membuat Soekarno kemudian menonjol sampai menjelang kemerdekaan.
Dalam menjalankan tugasnya sebagai orator di zaman Jepang, Soekarno juga bergerak untuk memastikan janji kemerdekaan Indonesia. Ketika di tahun 1943 Filipina dan Burma dimerdekakan, Indonesia disia-siakan, hal ini membuat kecewa Soekarno dan golongan nasionalis.
Saat Konferensi Asia Timur Raya di Tokyo pada November 1943, wakil-wakil dari semua negara ”merdeka” di Kawasan Persemakmuran Bersama, seperti Manchukuo, Thailand, Filipina, Burma, dan Tiongkok, diundang, sedangkan Indonesia tidak. Di sinilah Soekarno marah kepada Jepang.
Pemerintah Jepang sempat meredam kemarahan Soekarno dengan mengundangnya ke Jepang bersama dengan Mohammad Hatta dan Ki Hadjar Dewantara. Mereka diterima oleh Kaisar dan Perdana Menteri Tojo. Sayangnya, mereka tidak diberikan tanda-tanda berarti tentang isyarat kemerdekaan Indonesia di masa depan. Soekarno pulang dengan perasaan kecewa.
Kekecewaan Soekarno kepada Jepang memuncak menjelang akhir tahun 1944. Sesaat setelah Deklarasi Koiso pada September 1944, Jepang menjanjikan kemerdekaan Indonesia. Namun, setelah enam bulan pengumuman tersebut Jepang tidak berbuat apa-apa. Soekarno kemudian menekan Jepang. Dia tidak lagi menaruh harapan pada Deklarasi Koiso karena dia merasa kemerdekaan bukan barang yang akan diberi, melainkan harus direbut dengan perjuangan. (LITBANG KOMPAS)
Data Buku
Judul: Kemerdekaan Bukan Hadiah Jepang
Penulis: Aiko Kurasawa
Penerbit: Komunitas Bambu
Tahun terbit: 2023
Jumlah halaman: xx + 300 halaman
ISBN: 978-623-7357-43-8