Menuju Kepunahan Sang Manusia ”Sapiens”
Umat manusia harus mengatasi berbagai persoalan yang menghambat kesiapan dirinya untuk meloloskan diri dari kehancuran.
Peradaban Homo sapiens, kita sebut saja umat manusia, beberapa abad ini terancam oleh kerusakan ekologis dan perang nuklir. Ancaman atas kelangsungan fisik manusia. Ancaman terbaru yakni teknologi disruptif menyasar sampai hakikat umat manusia. Gabungan ketiganya bisa menyebabkan krisis eksistensial yang belum pernah dihadapi manusia.
Jenis kepunahan yang semakin mendekati sapiens ini berbeda dari yang sudah menghapus spesies dari genus Homo sebelumnya. Di antaranya ada Homo neanderthal yang punah dari peradaban 30.000 tahun lalu dan Homo floresiensis menyusul pada 13.000 tahun lalu.
Jika ingin selamat, umat manusia harus mengatasi berbagai persoalan yang menghambat kesiapan dirinya untuk meloloskan diri dari bom waktu kehancuran tadi. Yuval Noah Harari ”meneriakkan” peringatan ini kepada pembaca buku 21 Pelajaran untuk Abad ke-21 (KPG, 2023). Banyaknya persoalan tersebut, apalagi dengan ”kebingungan massal” sebagai respons dari disrupsi teknologi, membuat manusia semakin kehilangan arah. Manusia kalang kabut mengejar agar tidak tertinggal dan tetap relevan dengan perkembangan zaman.
Kita harus segera kembali memahami dan mengendalikan pikiran sebelum algoritma yang melakukannya dan mengambil alih otoritas atas peradaban.
”Tentu, jauh lebih sulit berjuang melawan irelevansi ketimbang eksploitasi”. Demikian Harari menegaskan tantangan terberat abad ini dibandingkan dengan apa yang harus dihadapi oleh umat manusia selama kejayaan imperialisme, fasisme, komunisme, atau bahkan liberalisme sekalipun.
Revolusi industri menghasilkan teknologi mesin produksi yang bisa menggantikan kemampuan fisik manusia, tetapi bukan pemikiran (kognitif). Kini, kemampuan fisik dan kognitif manusia menjadi garapan revolusi ganda teknologi. Sisi kognitif manusia, khususnya kemampuan otak, pikiran, emosi, dan intuisi, dikoding menjadi algoritma mahadata. Eksistensi manusia terdefinisi ulang di periode bersejarah ini.
Harari menyebut akan kemunculan kelas ”tidak berguna” yang tersisih dari dunia kerja gabungan manusia-kecerdasan buatan. Juga, pergeseran otoritas dari manusia ke algoritma yang berpotensi menciptakan ”kediktatoran digital”. Dalam hal kesetaraan akan lahir kasta biologis baru. Kasta ini diisi sebagian kecil manusia dari kelompok elite yang mampu mengakses teknologi rekayasa biologis yang membuatnya menjadi manusia super. Dengan proyeksi masa depan seperti itu, ke mana arah yang umat manusia harus tuju?
Meretas umat manusia
Harari sejak mula tulisannya mempersoalkan liberalisme yang beberapa dekade terakhir ”melindungi keteraturan dunia” tampak limbung menghadapi lawan baru yang tidak koheren. Padahal, liberalisme telah berhasil mendorong dunia ke dalam satu peradaban yang sama, yaitu peradaban global.
Sepuluh tahun terakhir, peristiwa-peristiwa penting muncul mengejutkan kemapanan liberalisme, di antaranya Brexit (2016) dan kemenangan Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat (2017). Dalam pandangan Harari, setelah itu dunia tidak memiliki lagi kisah dominan peradaban. Posisi liberalisme dipertanyakan, justru karena bagi Harari isme ini masih menjadi pilihan terbaik.
Dalam kondisi umat manusia yang gamang tanpa pegangan ideologis kokoh ini, ketiga ancaman global yang disebut di awal tadi membayangi kelangsungan umat manusia. Sebagai sejarawan, Harari ingin berkontribusi dengan membawa isu penting ini ke depan publik agar menjadi perbincangan di tingkat global sekaligus individu manusia. Untuk membantu pemahaman pembaca, Harari menulis secara linear dengan mengupas selapis demi selapis persoalan yang selama ini memburamkan pandangan kita.
Harari memulainya dari perkembangan teknologi yang menantang eksistensi manusia dalam bekerja, kebebasan, dan kesetaraannya dengan sesama manusia. Persatuan umat manusia juga diuji dengan dinamika politik global. Sumber konflik dan perpecahan berderet dari benturan peradaban, eksistensi komunitas maya di dunia digital, serta eksklusivitas nasionalisme, agama, dan budaya.
Harari menyebut akan kemunculan kelas ”tidak berguna” yang tersisih dari dunia kerja gabungan manusia-kecerdasan buatan.
Bergeser dari tantangan selanjutnya dibutuhkan pikiran jernih dalam melihat persoalan lama yang membuat putus asa, yaitu terorisme dan perang. Beri perhatian pada terorisme model baru yang memperalat nuklir, teknologi siber, dan senjata biologis, alih-alih menjadi panik menonton teater ketakutan yang dimainkan teroris tradisional.
Bicara tentang perang di abad ke-21, Harari melihat perang hanya memberikan keuntungan secuil ketika aset ekonomi tak lagi bersifat material yang dulu bisa dihasilkan melalui penaklukan. Meski demikian, perang bisa kembali berkobar dalam bentuk baru jika tidak mewaspadai manusia bodoh. ”Kebodohan manusia adalah salah satu kekuatan terpenting dalam sejarah, tetapi kita sering mengabaikannya” (hlm 183). Faktanya, saat ini perhatian dunia sedang terfokus pada perang Rusia-Ukraina dan perang yang menjurus genosida oleh Israel atas Palestina.
Kembali menjadi ”sapiens”
Membaca buku setebal 357 halaman ini bukanlah tanpa tantangan. Kelebihan Harari dalam menuliskan buah pikirannya dengan menarik dan detail secara ilmiah menonjol di buku ini. Namun, untuk memahaminya secara utuh, dibutuhkan tambahan waktu. Memang terasa lebih mudah menikmati buku tentang peradaban manusia karya Harari lainnya. Dalam buku pertama berjudul Sapiens: Riwayat Singkat Manusia, Harari memperjelas detail sejarah yang secara garis besar menjadi pengetahuan umum. Sementara itu, pada buku kedua, Homo Deus: Masa Depan Umat Manusia, kisah masa depan terasa seperti dongeng.
Di buku ketiganya inilah Harari mempertemukan sejarah lampau sapiens dengan kisah masa depan yang masih terasa fiktif dalam masa kini dan memunculkan pertanyaan-pertanyaan baru. Harari mengajak kita menjawabnya dengan segera. Sebuah ajakan yang penting meski terasa tidak mengenakkan karena seperti ditarik melangkah menembus jalan berkabut.
Harari tidak hanya melemparkan persoalan kepada kita tanpa alternatif solusi. Untuk mengantisipasi kediktatoran digital, misalnya, dia menyarankan pengaturan aliran data antara pemerintah, pengusaha, dan individu. Alih-alih mendramatisasi imajinasi tentang robot penghancur peradaban manusia seperti dalam film atau buku, Harari mendorong fiksi ilmiah dimanfaatkan untuk mengedukasi umat manusia tentang apa yang sebenarnya sedang terjadi sekarang.
Perjalanan pemikiran dan spiritual yang disusun Harari dalam buku ini memang dimaksudkan sebagai bahan diskusi terbuka yang membebaskan diri dari pandangan sempit. Secara sengaja, Harari tidak menyensor diri saat mengkritik model liberal dan menyarankan sekularisme sebagai solusi. Juga saat menguliti keruhnya pandangan umat manusia saat ini, termasuk pada bagian isu agama dalam konteks kisah fiksi dan kritiknya pada keyakinan bangsa Israel yang adalah tanah airnya.
Baca juga: Ekofeminisme, Mendobrak Narasi Tunggal Pembangunan
Sebagai inti dari refleksi, Harari mengingatkan untuk kembali mengenali hakikat manusia sebagai Homo sapiens yang bijak. ”Inilah nasihat tertua yang ada di dalam buku ini: kenali diri sendiri” (hlm 273). Kenali lagi diri kita yang nyata, lepas dari manipulasi dunia maya atau jebakan ilusi kisah fiksi yang selama ini kita yakini. Kita harus segera kembali memahami dan mengendalikan pikiran sebelum algoritma yang melakukannya dan mengambil alih otoritas atas peradaban. Peradaban dengan 21 ranjau kepunahan terserak.
Sugihandari, Peneliti dan pegiat literasi Omah Otara.
Data buku
Judul: 21 Pelajaran untuk Abad ke-21
Penulis: Yuval Noah Harari
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit: Cetakan I, 2023
Tebal: xvi+357 halaman
ISBN: 978-602-06-1848-7