Ekofeminisme, Mendobrak Narasi Tunggal Pembangunan
Krisis iklim yang mengancam umat manusia, terutama perempuan dan anak-anak, tidak mendapat ruang dalam pesta demokrasi.
Oleh
SALSABILA KHAIRUNISA
·5 menit baca
Sebagai pemilih pemula pada perhelatan ”pesta demokrasi” lima tahunan, alih-alih bersorak-sorai, saya justru diperhadapkan pada bayangan masa depan yang suram dan penuh dengan ketidakpastian. Percakapan mengenai kemajuan dan pembangunan didominasi oleh narasi-narasi pembongkaran sumber daya alam melalui program industrialisasi, hilirisasi, dan liberalisasi pasar.
Krisis iklim yang tengah terjadi dan mengancam seluruh kehidupan umat manusia, terutama kelompok rentan seperti perempuan dan anak-anak, sama sekali tidak mendapatkan ruang untuk benar-benar dipercakapkan dalam ”pesta demokrasi” tersebut. Genderang perayaan pesta sepenuhnya berada di tangan oligarki, bukan rakyat, sebagaimana sering digaungkan dalam slogan dan jargon kampanye politik yang memuakkan.
Di tengah kelimpungan tersebut, esai-esai dalam buku yang berjudulTidak Ada Cerita Tunggalbak penawar racun. Buku tersebut mencatat beragam pengalaman ketubuhan anak-anak muda yang tersebar di seluruh Indonesia, yang sebagian besar perempuan, dalam memandang krisis sosial ekologis yang terjadi hari ini. Sebagian besar penulisnya yang perempuan sangat relevan dengan peringatan Hari Perempuan Internasional yang jatuh pada 8 Maret 2024, dan tahun ini Perserikatan Bangsa-Bangsa mengangkat tema ”Invest in women: Accelerate progress”.
Sesuai judulnya, buku ini merupakan antitesis dari propaganda keseragaman kemajuan yang berusaha didorong oleh rezim pembangunan yang ekstraktif nan destruktif.
Menggugat keseragaman
Buku yang ditulis secara kolektif oleh para pelajar Sekolah Ekofeminis Ruang Baca Puan ini dibuka dengan tulisan dari Indah Rahmasari, seorang ibu rumah tangga, yang menautkan kapitalisme dan cerita tunggalnya atas kesejahteraan, aktivitas perawatan, seperti pengasuhan dan kerja-kerja domestik yang tidak dibayar (unpaid labor) dengan penindasan atas makhluk hidup di luar manusia (beyond-humans).
Kelindan ini hadir lewat parameter kesejahteraan tunggal yang menyandarkan diri pada pola konsumsi masyarakat, di mana pola konsumsi tersebut sering kali—jika bukan selalu—abai terhadap jejak-jejak ekologis yang disebut oleh Daisy Hilyard (2018) sebagai ”tubuh kedua”.
Relasi eksploitatif dari narasi pembangunan yang seragam juga dibedah oleh tiga pelajar sekolah lainnya, yakni Ayom Mratita Purbandani, Chusnul Khotimah, dan Firdaus Habibu Rohman. Ayom mencoba menyelisik pola pembangunan hari ini yang sejatinya bertentangan dengan Etika Tanah Air; sebuah konsep yang menyatukan entitas manusia dan nonmanusia sebagai satu kesatuan yang saling melengkapi, bertolak belakang dari dualisme kartesian ”tubuh-pikiran” yang melahirkan subordinasi manusia atas nonmanusia.
Tidak jauh berbeda dengan Ayom, Chusnul mencoba mengontekstualisasikan cerita tunggal kesejahteraan dengan dominasi yang dilakukan negara atas Papua lewat izin kontrak karya yang diberikan kepada PT Freeport Indonesia (PTFI) serta dampaknya terhadap kehidupan masyarakat Kamoro dan Amungme yang hidup di sekitar wilayah ekstraksi. Pengetahuan masyarakat lokal, terutama perempuan, untuk pemenuhan ekonomi subsisten mereka juga hilang seiring dengan dirusaknya bentang alam oleh keberadaan perusahaan pertambangan di Papua.
Pendekatan yang sederhana, tetapi cukup membekas bagi saya adalah cerita Firdaus. Dalam ”Kala Gembala Pergi ke Kota”, Firdaus menceritakan perjumpaannya dengan seorang kawan lamanya, Jahidin, yang kini bekerja di Jakarta sebagai pekerja konfeksi. Jahidin yang dulunya menjadi penggembala sapi di kampung merasa gagap di hadapan kota besar hingga akhirnya ia dipecat dan dipulangkan karena kinerja yang ”sangat lambat”.
Saya jadi teringat pada mitos pribumi malas (the myth of the lazy native) yang dikemukakan Syed Hussein Alatas (1977) mengenai konsep ”kemalasan” yang diproduksi oleh kuasa kolonial untuk melanggengkan pembongkaran sumber daya alam lewat penjajahan. Narasi kolonial atas kemalasan tersebut nyatanya masih terus direproduksi hingga hari ini.
Krisis iklim yang tengah terjadi dan mengancam seluruh kehidupan umat manusia, terutama kelompok rentan seperti perempuan dan anak-anak, sama sekali tidak mendapatkan ruang untuk benar-benar dipercakapkan dalam ”pesta demokrasi ” tersebut.
Menampakkan yang tak tampak
Sesungguhnya, buku ini memiliki semangat perayaan hari perempuan sedunia, yang dalam laman resminya, internationalwomensday.com, mencantumkan tema perayaan tahun ini: ”Inspire inclusion”. Selain menggugat narasi keseragaman pembangunan, buku ini juga memunculkan kisah-kisah yang marjinal dalam percakapan menyoal feminisme. Dalam prolognya, buku ini menjelaskan bahwa esai-esai yang dibuat menggunakan pendekatan ekofeminis sebagai lensa kritis.
Namun, pengalaman-pengalaman para penulis yang tumbuh di Indonesia, negara bekas jajahan, dengan identitas yang beragam, mulai aktivis, pekerja media, pengajar, mahasiswa, masyarakat adat, calon pendeta, hingga ibu rumah tangga, justru melahirkan kritik terhadap ekofeminis yang esensialis. Sebab, buku ini berhasil menampilkan persilangan identitas (intersection) yang kerap dipinggirkan, ditindas.
Sebut saja tulisan Linda Tagie mengenai Jingitiu—sebuah kepercayaan tradisional masyarakat adat Pulau Hawu atau dikenal juga sebagai Pulau Sabu yang ramah terhadap perempuan, tapi dianggap kafir oleh kolonialis, dan tidak beragama oleh negara Indonesia. Hal tersebut salah satunya ditunjukkan lewat sebutan ana pa kepue (anak di pohon) bagi anak yang lahir di luar nikah. Ana pa kepue mengandung falsafah hidup bahwa selama perempuan berdaulat atas sumber daya alam, ia akan terus hidup, baik melajang, menikah, maupun menjadi ibu tunggal.
Ada pula kisah perbudakan perempuan adat di perkebunan sawit yang ditelanjangi oleh Meta Septalisa dalam tulisan ”Dari Ma’anyan ke Kinipan: Perbudakan dan Perlawanan Masyarakat Adat”. Perbudakan perempuan dan anak di perkebunan sawit nyata terjadi pada perempuan Dayak Ma’anyan di Desa Gunung Rantau, Kalimantan Tengah. Para perempuan beserta anaknya dibebani kerja-kerja berbahaya, seperti menabur pupuk kimia tanpa alat pengaman dan memanggul karung pupuk tanpa dibayar untuk mencapai target borongan.
Kendali sistem kapitalisme atas pangan juga sangat tampak dalam tulisan Noorjannah yang bercerita soal digantikannya daun bekai— penyedap masakan masyarakat Dayak di Long Beluah, Kalimantan Utara—dengan monosodium glutamat atau yang akrab disebut ”micin”. Pergeseran pola konsumsi ini dipicu oleh semakin langkanya daun bekai akibat alih fungsi hutan menjadi perkebunan sawit dan kawasan permukiman.
Cerita Jannah bahkan menawarkan inklusi dalam identitas multispesies daun bekai, bahwa manusia hidup bersama spesies lainnya di alam.
Ajakan mencari tubuh kedua
Masih banyak tutur pengalaman ketubuhan lain dalam Tidak Ada Cerita Tunggal yang berusaha mendobrak narasi tunggal pembangunan dan kesejahteraan. Namun, dari keberagaman tersebut, saya menemukan benang merah yang menjahitnya ke dalam satu pesan: sebuah ajakan untuk mencari ”tubuh kedua”.
Meminjam konsep Daisy Hilyard (2018), tubuh kedua dapat dimaknai sebagai keterhubungan tubuh kita dengan alam, atau wujud lain dari tubuh kita yang menyebar dan menjelma dalam berbagai rupa. Ia dapat ditemui pada gajah yang mati tertembak di Kongo, asap dari cerobong pabrik pakaian, atau banjir besar di Bangladesh. Ia adalah jejak fisik dari keberadaan kita di bumi yang bergumul dalam krisis kolektif umat manusia; krisis iklim.
Bertolak dari realitas tersebut, saya rasa buku ini hendak mengajak kita berkelana menjumpai tubuh kedua kita; pada borok-borok tambang nikel di Morowali, pada anak-anak yang tenggelam di lubang tambang Samarinda, pada perbudakan perempuan di perkebunan sawit, pada alam yang dikoorbankan atas nama industrialisasi dan modernisasi. Realitas yang makin jauh dari ”pesta demokrasi” lima tahunan.