Sepuluh Tahun Buku Seni Rupa Paripurna
Buku album seni rupa yang susah dicari tandingannya dalam sejarah seni Indonesia. Nyaris perfek dalam semua aspek.
Pada 2013, buku selesai dicetak, tetapi baru beredar pada Februari 2014 selepas Tahun Baru Imlek. Pada Februari 2024 ini, sang buku genap berusia 10 tahun. Buku ini berjuluk Selected Works of Ninety-Nine Artists Who Depicted Indonesia atau Karya-karya Terpilih dari 99 Seniman yang Menggambarkan Indonesia.
Buku NNA (Ninety Nine Artists)—begitu saya selanjutnya menyebut—harus dibilang istimewa. Buku berukuran 23 x 29,5 cm dan tercetak di kertas artpaper ini memiliki tebal 540 halaman. Untuk kategori buku seni lukis yang sepenuhnya berwarna, NNA harus dianggap sebagai kitab sejenis paling gemuk dalam sejarah seni rupa Indonesia. Tentu setelah Vibrant Arie Smit susunan Amir Sidharta yang 628 halaman terbitan Hexart Publishing tahun 2002.
NNA digarap selama 900 hari oleh Koes Karnadi, fotografer yang sangat meminati seni lukis, dan bergaul dengan banyak perupa di seluruh Indonesia.
Berawal dari kartu pos
Koes Karnadi lahir di Denpasar, Bali, tahun 1946. Sejak belia ia mendalami fotografi. Dari pendalaman itu ia merasakan bahwa ada hubungan fotografi dengan seni lukis. Maka, ia pun sering bertandang ke Ubud, desa 24 kilometer sebelah utara Denpasar. Di Ubud ia pun dekat dengan sejumlah seniman tradisional, seperti Ida Bagus Made Poleng, Ida Bagus Made Nadera, dan I Gusti Ketut Kobot. Nama-nama yang kemudian menjadi ikon. Ia berdekat-dekat pula para pelukis pendatang, seperti Anton Kustiawijaya, Alimin Tamin, Han Snel, Antonio Blanco, sampai Rudolf Bonnet. Kedekatan itu lalu ditandai Koes dengan upayanya memotret sosok para pelukis dan lukisan mereka. Setelah diafdruk, lembar foto itu dihadiahkan. Hubungan batin pun terbina.
Dari situ banyak orang tahu bahwa Koes Karnadi adalah fotografer yang potensial. Sampai akhirnya ia disarankan untuk membuat foto-foto mengenai alam dan kebudayaan Bali, yang diformat sebagai kartu pos. Koes menatap peluang itu. Apalagi, ia melihat arus turis asing dan domestik datang ke Bali sejak menjelang 1980. Maka, kartu pos produk Koes Studio pun berlahiran, terpajang di kios-kios dan diminati banyak tamu.
Dari pendalaman itu ia merasakan bahwa ada hubungan fotografi dengan seni lukis.
Publik umum dan para seniman menyambut hangat kehadiran kartu pos itu sehingga lantas memunculkan gagasan baru, yakni: menerbitkan kartu pos yang berilustrasi lukisan tradisional Bali. Bukankah lukisan tradisional adalah bagian sangat khas dari kebudayaan Bali? Lalu, terbitlah seri kartu pos yang mengetengahkan lukisan karya seniman ternama. Lukisan-lukisan itu dipetik dari koleksi museum dan galeri, seperti Museum Puri Lukisan, Galeri Agung Rai, Galeri Rudana, dan Museum Neka.
Tak disangka, kartu pos bertema ini juga laris! Dari situ muncul ide lain lagi: mencetak kartu pos yang berilustrasi lukisan modern yang berinspirasi Bali. Pelukisnya bisa asli Bali atau dari luar Bali. Kartu pos Koes Studio pun dianggap sebagai bagian dari ”pemasaran kebudayaan” Bali. Dan, dijunjung sebagai pionir kartu pos seni rupa di Indonesia. Sebab, pada 1980-an kartu pos bertema seperti itu baru Koes yang menerbitkan dan mendistribusikannya di pasar luas.
Setelah bertahun-tahun berkartu pos ria, Koes ingin memosisikan kepiawaian fotografinya dalam bentuk yang lebih masif. Memasuki tahun 1990-an ia mengimbau para kolektor agar mengemas koleksi lukisannya untuk diformulasi dalam bentuk buku album. Agar terbitan itu tidak sekadar memuat gambar, buku disertai esai pengantar dari satu atau dua orang tokoh seni rupa. Dalam proyek ini Koes juga bertindak sebagai fotografer, desainer buku, dan sekaligus koordinator pencetakannya. Maka, pada 1995 sampai 2000 terbit sejumlah buku monografi pelukis dengan dilabeli Koes Artbooks.
Dari kesuksesan penerbitan buku-buku (bertebal tanggung 80-100 halaman) itu, Koes lalu berkeinginan menggubah buku besar. Setelah dipersiapkan matang, terbitlah buku Modern Indonesian Art-From Raden Saleh to The Present Day pada 2006. Buku 334 halaman ini menampilkan karya 303 pelukis. Setiap seniman diwakili satu lukisannya. Di bawah setiap lukisan tertera teks riwayat hidup yang berimbuh seulas konten ciptaan karya pelukis. Untuk artikelnya, Koes melibatkan 22 penulis yang terdiri dari pengamat seni ternama.
Pada tahun 2010, buku itu diperlengkap. Buku dibikin bertebal 474 halaman dengan mencakup (wuiiih!) 439 pelukis! Untuk penulisannya, ia melibatkan 26 pengamat seni semua generasi. Seperti sebelumnya, tampilan buku ini sangat terukur dan rapi. Lukisan Raden Saleh, Irsam, Gunawan Hanjaya, sampai J Ariadhitya Pramuhendra tampil dengan sangat representasional.
Kesuksesan buku itu membuat banyak kolektor mendorong Koes Karnadi untuk membuat buku lebih besar. Maka, ini dia, dibikinlah NNA. Tetapi, meski lebih besar, buku ini tidak lagi menderet ratusan pelukis Indonesia. Koes cenderung untuk melakukan seleksi atas perbendaharaan seniman yang ada. Oleh karena itu, yang muncul adalah nama-nama pelukis Indonesia legendaris saja, plus para pelukis yang diakui memiliki reputasi amat tinggi secara akademik. Lalu terhidanglah nama pelukis I Gusti Nyoman Lempad, Anak Agung Gde Sobrat, Sudjojono, Lee Man Fong, Hendra Gunawan, Wen Peor, Srihadi Soedarsono, dan Nyoman Gunarsa. Bahkan, ada generasi yang lebih muda, seperti Dede Eri Supria, Agung Mangu Putra, Nasirun, Aytjoe Christine, sampai Mariam Sofrina.
Bersamaan dengan itu disertakan pula pelukis luar negeri yang pernah hidup di Indonesia, melukis tentang Indonesia, serta memetik prestasi dan memberi kontribusi dalam dunia seni lukis Indonesia, seperti WOJ Nieuwenkap, Donald Friend, Ramualdo Locateli, Roland Strasser, dan Chang Fee Ming. Setiap pelukis diwakili oleh empat atau lima karya. Untuk teks, Koes melibatkan 18 penulis.
Alhasil, buku yang berlimpah foto perfek ini—dalam ketajaman visual dan presisi warna—hadir sangat bagus. Bahkan, menurut saya, inilah buku seni rupa terbaik dalam sejarah Indonesia. Dan, mungkin hanya bisa ditandingi oleh buku Walter Spies, A Life in Art (edisi biasa dan edisi khusus) terbitan Afterhours Books, 2012.
Sakit setelah berjuang
Setelah hampir tiga tahun dikerjakan, buku akhirnya selesai dicetak di Shenzhen, China. Beberapa kali Koes bertandang ke sana untuk memeriksa. Pada Agustus 2013 dikabarkan buku selesai cetak dan final dalam penjilidan. Paket buku besar itu pun siap dikirim ke Jakarta untuk selanjutnya diedarkan ke banyak kota.
Dalam minggu-minggu penantian itu Koes ditegangkan oleh persoalan bea cukai yang konon akan menghambat keluarnya buku dari gudang pabean. Ia mendengar kabar bahwa di bea cukai, kedatangan buku tersebut akan dicekik oleh bea masuk. Sebab, NNA—yang seratus persen berbahasa Inggris—bisa dianggap sebagai barang impor. Sementara diketahui, dalam FoB (free on board) atau pembebasan bea masuk hanya dikenakan bagi barang yang berharga 3 dollar AS. Sementara buku NNA harga satuannya 100 dollar AS. Dengan demikian, sesuai dengan dokumen pengiriman barang atau consignment note (CN), negara akan membebani buku NNA dengan tarif 7,5 persen dari nilai pabean atau nilai CIF (cost atau harga barang + insurance atau asuransi + freight atau ongkos kirim). Koes menghitung-hitung semua itu.
”Alamak. Saya sudah berjuang untuk bikin buku babon ini. Setiap hari saya kerja khusus untuk ini, tanpa sedikit pun bantuan pemerintah. Namun, begitu jadi, akan dipunguti di banyak sisi,” katanya.
Ia juga membayangkan betapa nanti secara di luar prosedur aparat bea cukai akan melakukan pungutan liar untuk mengeluarkan buku dari gudang. Pada bagian lain ia juga khawatir buku itu tidak sesuai ekspektasi dirinya yang memang sangat perfeksionis.
Berminggu-minggu Koes tegang, sampai akhirnya ia menderita strok, beberapa hari sebelum buku tiba di Tanjung Priok. Keluarga Koes pun sibuk menyembuhkan. Karena optimistis akan sembuh, mereka pun merancang: Koes akan menjemput sendiri buku itu di pabean, untuk pemuasan hati. Bukanlah NNA adalah ”anak agung” Koes Karnadi?
Sayang, Koes tak pernah melihat sendiri buku itu berada di pangkuan kolektor. Sejak terkena strok, ia tak pernah keluar rumah. Sampai akhirnya meninggal pada 2018.
Sampai memasuki tahun 2014, Koes belum juga pulih dari sakitnya. ”Akhirnya saya yang mengurus,” kata Hann Karnadi, putra sulung Koes.
Dan, buku pun keluar dengan lancar tanpa banyak dibebani aneka pungutan. Kelancaran itu terjadi berkat bantuan Hingkie Hinggono, pemilik Zola Zolu Gallery, Bandung, Jawa Barat, sponsor utama buku ini. Lalu buku seberat 3,45 kilogram itu pun beredar. Sayangnya, Koes tak pernah melihat sendiri buku itu berada di pangkuan kolektor. Sebab, sejak terkena strok, ia tak pernah keluar rumah. Sampai akhirnya meninggal pada 2018.
Kini sepuluh tahun sudah Selected Works of Ninety-Nine Artists Who Depicted Indonesia mewarnai khasanah seni rupa Indonesia. Desain, fotografi, konten buku, dan cetakannya yang paripurna melahirkan keanggunan yang nyaris tidak ada duanya. *
Baca juga: Budi Darma dan Kritik Sastra Kreatif
Agus Dermawan T, Kritikus dan Penulis Buku-buku Budaya dan Seni
Data Buku
Judul Buku: Selected Works of Ninety-Nine Works Artists Who Depicted Indonesia.
Penulis: Koes Karnadi
Penerbit: Koes Artbooks
Tahun Terbit: Cetakan I, 2013
Tebal Buku: 537 halaman
ISBN: 978-979-8704-04-8