”Simvlacrvm: A Political-Thriller Novel” menggunakan konsep simulakra sebagai fondasi jalan cerita.
Oleh
MOHAMMAD HILMI FAIQ
·3 menit baca
Judul tulisan ini merupakan aksioma yang pas untuk mewakili konsep simulakra. Sebuah konsep yang menunjukkan bahwa segala yang kita lihat, saksikan, persepsikan, dan yakini tidaklah seperti yang kita lihat, saksikan, persepsikan, dan yakini. Ada bangunan yang lebih kompleks dan rumit.
Simvlacrvm: A Political-Thriller Novel karya Cassandra dan Noorca M Massardi menggunakan konsep di atas sebagai fondasi jalan cerita. Novel setebal 240 halaman terbitan Penerbit Buku Kompas ini berkisah tentang Tiara, seorang polisi, yang menyelidiki pengeboman di kantor polisi dan menewaskan beberapa rekannya. Penyelidikan itu membawanya kepada runtutan peristiwa yang tak kalah mengejutkan, termasuk fakta-fakta baru tentang jati dirinya.
Namun, atas fakta-fakta itu, hingga akhir cerita, Tiara masih meragukannya karena keyakinan awal dia terhadap satu peristiwa kerap kali dibantah oleh kenyataan lain. Di sinilah simulakra beroperasi dan membuat Tiara bingung setengah mati.
Membaca novel ini butuh ketekunan karena peristiwa demi peristiwa yang dijabarkan tidak berjalan paralel meskipun alurnya linier. Pembolakbalikan peristiwa memaksa pembaca memahaminya sebagai titik-titik yang perlu penghubung. Nah, judul Simvlacrvm (dibaca simulakrum) menjadi pintu penting untuk memahami konsep simulakra (jamak dari simulacrum) sekaligus memahami isi cerita novel ini.
Adalah filsuf Perancis, Jean Baudrillard, yang semula mengenalkan konsep simulakra seperti dalam buku Simulacra and Simulation (1981). Konsep ini mengacu pada representasi atau replika dari sesuatu yang sebenarnya tidak ada, atau mungkin tidak memiliki substansi yang jelas.
Secara sederhana, simulakra dapat dijelaskan sebagai tiruan yang kehilangan hubungannya dengan realitas aslinya. Ini dapat terjadi ketika tiruan itu sendiri menjadi lebih penting atau lebih dominan daripada apa yang diwakilinya.
Dalam novel ini, misalnya, kita bisa menengok pada Bab 16 (halaman 193-197) ketika secara bersamaan kepala kepolisian, pesohor, ulama, pengusaha, musisi, dosen, dan ketua organisasi kepemudaan dibunuh secara sporadis. Pembunuhan serupa juga terjadi di beberapa daerah.
Di dahi atau di sekitar korban selalu ditemukan stiker berlambang As-sassi dan logo Paguyuban As-Sassinian (PAS) dilengkapi dengan tulisan ”PENGHIANAT”. PAS kemudian membantah melakukannya. Lantas, siapa dalang semua itu?
... medsos adalah malaikat dan iblis sekaligus. Sebagaimana penggemar medsos juga adalah malaikat dan iblis sekaligus.
Mari lihat juga bagaimana salah satu tokoh dalam novel, Aline, bekerja sebagai produsen hoaks (halaman 25-26). Dia mengumpulkan audio, video, foto, dan dokumen terkait, lalu mengompilasinya menjadi video berdurasi satu menit tentang seorang politikus digambarkan dengan bertindak mesum. Aline menyebarkannya ke media sosial dan langsung disambar warganet dengan beragam komentar.
Di sini, antara kebenaran dan ”kebenaran” yang lain tumpang tindih. Tidak jauh beda dengan isi media sosial yang kita konsumsi hari ini. Kerap kali isinya adalah kebenaran yang dipelintir untuk tujuan tertentu.
Ketika Aline menghadapi pertanyaan tentang nilai moral atas tindakannya itu, dia menjawab lugas, ”... medsos adalah malaikat dan iblis sekaligus. Sebagaimana penggemar medsos juga adalah malaikat dan iblis sekaligus.”
Di bagian lain, Aline mengimani, ”Jangan lupa, hoaks itu sudah menjadi candu bagi masyarakat.” (halaman 30).
Bagi banyak orang, hoaks-hoaks tersebut lebih meyakinkan dibandingkan fakta sesungguhnya sehingga layak dijadikan pijakan dalam mengambil keputusan. Dalam konteks pemilihan umum, misalnya, hoaks atau disinformasi membanjiri media sosial dan menggiring calon pemilih untuk menentukan pilihannya.
Baudrillard menegaskan, fenomena simulakra menjadi semakin penting dalam masyarakat modern karena adanya pergeseran dari realitas yang sebenarnya menuju dunia yang terus-menerus dibentuk oleh media, teknologi, dan simbol-simbol. Ini menimbulkan pertanyaan tentang apa yang benar-benar nyata dan bagaimana kita membedakan antara realitas dan representasi. Novel ini membantu pembaca memahami operasionalisasi konsep simulakra tersebut.