Budi Darma mewujudkan ”Harmonium” sebagai kontribusi berharga terhadap perkembangan sastra di Indonesia.
Oleh
NOVITA DEWI
·5 menit baca
Seperti kondisi politik Indonesia saat ini, sastra Indonesia sedang tidak baik-baik saja karena terserang penyakit akut bernama kedangkalan, seperti tersirat dalam Harmonium. Akibatnya, bermunculan pengarang-pengarangan, kritikus-kritikusan, dan pembaca sastra sepintas lalu. Sastra Indonesia lahir di tanah tanpa tradisi berpikir kritis, lemah dalam analisis, dan miskin kepekaan estetis. Pesimistis memang.
Diterbitkan pertama kali pada 1995 oleh Penerbit Pustaka Pelajar, kumpulan esai sastra ini menyajikan berbagai persoalan sastra Indonesia dari sudut pandang seorang Budi Darma. Pengamatannya tentang hakikat sastra dan stagnasi sastra Indonesia hampir tidak berubah selama rentang waktu yang panjang.
Sekadar saran, sebaiknya membaca dulu Solilokui, kumpulan esai ikonik Budi Darma yang terbit empat puluh tahun yang lalu setelah novelnya, Olenka, memenangkan hadiah pertama dari Dewan Kesenian Jakarta. Solilokui berisi 17 tulisan pendek, sementara Harmonium berisi 10 tulisan lebih panjang; beberapa merupakan olahan kembali dan penyempurnaan sejumlah gagasan yang tertuang dalam Solilokui.
Baik di Solilokui maupun Harmonium, pembaca pertama-tama diajak membayangkan kisah Nirdawat. Lewat kacamata tokoh kita yang bukan kritikus dan bukan pengarang ini, Budi Darma membahas sastra dan kritik sastra serta wawasannya terkait tugas dan tanggung jawab seorang pengarang dan/atau kritikus sastra.
Seperti kondisi politik Indonesia saat ini, sastra Indonesia sedang tidak baik-baik saja karena terserang penyakit akut bernama kedangkalan seperti tersirat dalam Harmonium.
Menjadi pengarang merupakan takdir, yakni terus menulis, membaca, menulis lagi, membaca lagi, dan seterusnya dengan kegilaan Sisipus. Kerja keras yang berkesinambungan ini kerap tidak ditemui di pengarang kita; sebagian besar akhirnya memilih untuk menjadi kritikus sastra. Namun, kritikus sastra dan pengarang haruslah dahaga dan tertarik mempelajari karyanya sendiri dan karya orang lain. Pendek kata, pengarang adalah seorang intelektual yang mampu melakukan abstraksi atas peristiwa-peristiwa di sekitarnya seraya mengambil jarak agar karya yang dihasilkan tidak menggurui, tetapi membuahkan empati.
Maass (2016), misalnya, menekankan pentingnya mengembangkan empati terhadap protagonis sehingga memungkinkan pembaca terhubung secara emosional dengan tokoh utama dan lika-liku perjalanannya. Sebagai intelektual, Budi Darma percaya bahwa seorang penulis juga harus menjadi kritikus sastra. Dalam pandangannya, membaca adalah jalan menuju intelektualitas dan kemampuan untuk membaca dengan kritis adalah modal utama seorang penulis ditambah, kalau ada, bakat, meskipun hanya sedikit.
Proses kreatif
Sastra Indonesia cetek karena ada persoalan dalam proses kreatif. Dalam menggarap realitas harfiah, Budi Darma menekankan bahwa daya ingat saja tidaklah cukup. Sebagai contoh, fiksi Idrus tidak hanya bermodalkan daya ingat pengarang tentang revolusi 10 November, tetapi juga naluri dan aspirasi untuk mengecam mental ikut-ikutan. Hasilnya, lahirlah cerpen Surabaya yang sulit diabaikan. Realitas harfiah tidak hanya diungkapkan melalui fakta-fakta kasar, tetapi perlu dikobarkan melalui kekuatan imajinasi dan pemahaman nilai-nilai kemanusiaan yang lebih dalam. Hanya dengan cara ini realitas kehidupan sehari-hari akan bermetamorfosa menjadi sebuah novel yang ciamik.
Acuan Budi Darma berasal dari pengarang-pengarang Amerika (terutama William Faulkner) dan Eropa yang dinilai dapat membuka cakrawala untuk memahami proses kreatif dalam menulis. Secara tegas Budi Darma memisahkan antara sastra ’sungguhan’ dan sastra yang berwawasan pop sembari mengakui kejujuran penulis seperti Marga T dan Motinggo Busye yang tidak berpura-pura menjadi sastrawan. Tidak banyak contoh karya sastra Indonesia yang ditampilkan. Diduga kuat, belum ada yang sehebat dan sekreatif Nirdawat.
Ketika kreativitas tersumbat, penulis yang asal menulis akan cepat-cepat membuka kran dan mengalirlah tulisan yang biografis, parokial, dan melodramatis. Pengarang menjadi tidak imajinatif karena kadang tersandera oleh ’tuntutan’ menyelipkan amanat, nilai-nilai moral, atau kritik sosial dalam karyanya sebagai takaran keberhasilan. Padahal, Budi Darma mencontohkan, David Copperfield karya Charles Dickens melambung bukan karena penulis Inggris ini membeberkan ketidakadilan dan eksploitasi terhadap anak-anak yatim piatu, melainkan karena unsur estetis novel ini baik dan penceritaannya pun menarik, berbeda dengan Hard Times yang menjadi novel buruk karena terbeban oleh kritik sosial (hlm 129).
Moralitas dan melodrama dalam sastra menjadi penghambat perkembangan sastra Tanah Air. Belum lagi hasrat pengarang Indonesia untuk menuntaskan persoalan, padahal ketidakjelasan kadang menimbulkan keindahan dalam sastra. Yang tidak kalah penting dalam mendongkrak kreativitas adalah kemampuan membentang lanskap imajinasi selain geografi. Orang-orang Bloomington mungkin diberi judul ”Orang-orang Surabaya” jika ditulis di Surabaya, ujar penerima anugerah Cendekiawan Berdedikasi 2013 ini di sejumlah kesempatan. Jagat sastra Indonesia harus bergaul dengan sastra dunia jika tidak ingin mandeg. Sekali lagi, kreativitas tidak dapat menanggalkan intelektualitas. Hakikat seniman yang baik adalah intelektual yang baik, yang terus-menerus mencari, belajar, dan berkembang (hlm 57).
Di sini Budi Darma menekankan pentingnya kritik sastra kreatif yang tidak terpasung oleh teori sastra dan jargon-jargonnya.
Harmonium mencerminkan kritik Budi Darma yang berani dan terus terang atas kedudukan sastra Indonesia sambil mengajak pembaca untuk merenung dan berperan serta agar kualitas (kritik) sastra Indonesia meningkat. Di sini Budi Darma menekankan pentingnya kritik sastra kreatif yang tidak terpasung oleh teori sastra dan jargon-jargonnya. Catatan tentang teori sastra ini penting dan menemukan relevansinya dengan penulisan skripsi dan artikel jurnal ilmiah dewasa ini yang harus taat templat. Kritikus sastra ’dipaksa’ mengacu teori sastra dengan ilustrasi sastra Barat yang belum tentu diakrabinya. Ada baiknya membuka-buka buku lawas Pengantar Ilmu Sastra karya Jan van Luxemburg dkk, yang secara cermat diterjemahkan dan disadur disertai contoh-contoh karya sastra Indonesia oleh Dick Hartoko dan B Rahmanto (Gramedia, 1984).
Dengan gaya penulisan yang lugas, tajam, dan analitis, Budi Darma mewujudkan Harmonium sebagai kontribusi berharga terhadap perkembangan sastra di Indonesia dan menjadikannya karya yang selalu bersangkut-paut dengan perbincangan sastra modern. Selain wajib dibaca oleh para pencinta sastra Indonesia, buku ini menawarkan pemikiran-pemikiran penting yang dapat menggugah kita untuk berpikir ulang tentang kesusastraan Indonesia. Beberapa esai mungkin agak berat untuk pembaca awam, tetapi perlu dijelajahi karena sastra Indonesia memang dalam kondisi sedang tidak baik-baik saja, setidaknya sampai muncul Nirdawat-Nirdawat muda, bukan Nirdawat-Nirdawatan.