Flora Rikin dalam Dekapan Otonomi Semiotik
Buku foto ”Dialektika” yang hadir tanpa judul dan takarir memberikan ruang tafsir secara luas bagi pembaca.
Membolak-balik buku Flora Rikin segera mengingatkan pada ungkapan Ted Grant (1913-2006), seorang fotografer dokumenter Kanada yang dikenal dengan kontribusinya dalam bidang fotografi peristiwa dan olahraga. Dia mengatakan, ”When you photograph people in color, you photograph their clothes. But when you photograph people in black and white, you photograph their souls.”
Secara tegas dia membedakan bahwa ketika kita memotret seseorang dalam foto warna, hanya memotret pakaian. Namun, jika foto tersebut hitam putih, kita dianggap telah memotret jiwanya. Ungkapan tersebut mencerminkan pandangan umum dalam dunia fotografi bahwa fotografi hitam putih memiliki kemampuan unik untuk menangkap esensi dan ekspresi batin subyek.
Oleh karena itu, banyak fotografer selama bertahun-tahun terinspirasi oleh ide ini dan memilih untuk fokus pada fotografi hitam putih untuk mengeksplorasi dimensi emosional dan artistik yang lebih dalam. Frasa ini mencerminkan pandangan bahwa fotografi hitam putih memiliki kemampuan khusus untuk menangkap esensi dan ekspresi batin subyek, dengan mengabaikan warna dan fokus pada esensi jiwa atau karakter mereka.
Anggapan bahwa foto hitam putih mampu menangkap esensi sebuah peristiwa lebih baik daripada foto berwarna bisa jadi berasal dari preferensi dan pandangan pribadi.
Konon, beberapa fotografer kelas dunia banyak yang setuju, bahkan terpengaruh oleh ungkapan Ted Grant tersebut. Sebutlah, Henri Cartier-Bresson ( 1908-2004), salah satu pendiri Magnum Photos, dikenal dengan kemampuannya untuk menangkap decisive moment (momen penentu) dalam fotografi jalanan dan dokumenter.
Ada juga Dorothea Lange ( 1895-1965), fotografer dokumenter yang terkenal dengan karyanya selama masa Depresi Besar di Amerika Serikat, termasuk foto ikonik ”Migrant Mother”. Foto yang diambil oleh Dorothea Lange pada tahun 1936 memiliki dampak politik dan sosial yang signifikan, terutama dalam konteks Depresi Besar di Amerika Serikat. Foto ini menjadi ikon visual dari penderitaan dan kesulitan yang dialami oleh banyak keluarga selama masa krisis ekonomi tersebut.
Baca juga: Realisme Sosial dan Kumpulan Cerpen ”Kompas”
Tak kalah mencengangkan adalah Sebastião Salgado (1944), fotografer Brasil terkenal dengan karyanya yang mencakup isu-isu sosial dan lingkungan, seringkali dalam hitam putih. Juga Ansel Adams (1902-1984), pionir dalam fotografi lanskap hitam putih, terkenal dengan karya-karyanya di taman nasional Amerika Serikat. Mereka diduga terpengaruh oleh gagaran Ted Grant tadi.
Fotografi hitam putih atau monokrokromatisme muncul sejak fotografi lahir pada abad ke-19. Namun, beberapa fotografer dan gerakan seni telah memainkan peran penting dalam mempopulerkan dan mengembangkan penggunaan hitam putih dalam dunia fotografi. Misalnya muncul gerakan Pictorialisme pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Fotografer-fotografer seperti Alfred Stieglitz dan Edward Steichen adalah tokoh utama dalam gerakan ini, dan mereka sering menggunakan teknik dan estetika monokromatik dalam karya-karya mereka.
Fotografer-fotografer seperti Ansel Adams, yang dikenal dengan karyanya dalam fotografi lanskap hitam putih, juga turut berkontribusi dalam pengembangan estetika monokromatik. Adams mengembangkan sistem Zona yang melibatkan pemahaman mendalam tentang reproduksi tonal dan kontras dalam fotografi hitam putih.
Kesan
Foto hitam putih sering kali dianggap memberikan kesan klasik, dramatis, dan artistik. Tanpa adanya warna, foto hitam putih sering kali menyoroti detail, kontras, dan tekstur dari objek yang difoto. Foto hitam putih juga dapat memberikan fokus yang lebih besar pada ekspresi dan emosi subjek, karena warna tidak memecah perhatian. Beberapa orang mungkin juga mengaitkan foto hitam putih dengan nostalgia atau keindahan yang lebih murni karena kesederhanaannya. Makna dari foto hitam putih bervariasi tergantung pada konteks dan preferensi individual.
Baca juga: Pertolongan Pertama untuk Mereka yang ”Kena Mental”
Anggapan bahwa foto hitam putih mampu menangkap esensi sebuah peristiwa lebih baik daripada foto berwarna bisa jadi berasal dari preferensi dan pandangan pribadi. Beberapa orang berpendapat bahwa dengan menghilangkan warna, foto hitam putih dapat memusatkan perhatian pada ekspresi dan emosi tanpa gangguan warna, sehingga memungkinkan foto tersebut untuk menyampaikan cerita yang lebih dalam dan universal.
Tampaknya itu yang terasa ketika menyimak foto-foto Flora Rikin dalam buku bertajuk Dialektika yang diterbitkan Mahacharita pada 2022 ini. Pemilihan sampul dengan konsep death center berupa foto pohon (terkesan meranggas), yang hanya menempati sekitar 5 persen ruang frame, segera menyerap perhatian dan membayangkan suasana damai, dingin, dalam, sekaligus sepi. Kesendirian pohon sebagai metafora diri atau jiwa, dapat dimaknai sebagai keterasingan.
Kesan itu juga muncul pada foto-foto lain dalam buku setebal 96 halaman ukuran 17 cm x 23 cm tanpa takarir dan nomor halaman ini. Tak kurang dari 24 foto menggunakan pohon sebagai obyek utama. Tidak bisa dipungkiri, beberapa foto pohon tersebut memberikan kesan yang sama atau mirip dengan paparan di atas, sementara beberapa foto lainnya menyiratkan kesan berbeda.
Seperti yang terlihat di beberapa foto serumpun pohon yang bertaburan salju. Bahwa kebersamaan pun kadang tak mampu mengalahkan dingin. Foto ini bisa juga ditafsir bahwa ketika dingin menyergap tidak menjadi masalah besar selama ada yang menemani. Dengan kata lain, foto-foto yang ditampilkan tanpa judul dan takarir ini memberi keleluasaan tafsir kepada penbaca.
Para pembaca dapat menjadikan foto-foto tersebut sebegai pemantik dialog antara fakta (foto) dan dinamika psikis pembaca. Beda pembaca bisa memunculkan perbedaan tafsir. Tampaknya, di sinilah makna dialektika menemukan tempatnya. Flora Rikin hanya menyediakan stimulus dan tidak mencoba mengarahkan lebih jauh makna atau tafsir pembaca.
Dari sana tampak sekali bahwa buku Dialektika ini memberikan otonomi semiotik sekaligus meminimalisasi intervensi penulis. Setiap tanda dalam bingkai amat longgar untuk ditafsir sesuai referensi, intensi, kebutuhan, dan pengalaman pembaca.
Meskipun kurator buku, Andang Iskandar, menegaskan bahwa foto-foto ini merupakan hasil dialog Flora dengan fakta yang dia lihat dan kemudian dibekukan menjadi foto, namun corak, ragam, bentuk, bahkan narasi dialektika tersebut terlampau abstrak untuk bisa ditangkap. Sungguh pun Andang telah mencoba mengarahkan makna tersebut ke dalam kompartemen-kompartemen tafsir dengan beberapa kata kunci seperti “keluarga”, “kesendirian”, dan “ketidakhadiran”.
Dari sana tampak sekali bahwa buku Dialektika ini memberikan otonomi semiotik sekaligus meminimalisasi intervensi penulis. Setiap tanda dalam bingkai amat longgar untuk ditafsir sesuai referensi, intensi, kebutuhan, dan pengalaman pembaca. Apakah kemudian hasil tafsir tersebut bisa bertolak belakang dengan maksud awal Flora memotretnya? Amat mungkin dan tak terhindarkan. Oleh karena itu, Flora semestinya merelakan hal itu sembari menginsyafi bahwa foto yang dilempar ke publik sudah menjadi milik publik dan mereka bebas menafsirkannya.
Secara teknis, foto-foto karya Flora ini nyaris tanpa cacat baik dari sisi pencahayaan, komposisi, maupun sudut pengambilan gambar. Dengan kata lain, setiap foto menemukan pembenarannya masing-masing dalam aspek teoritis meskipun tetap menyimpan celah untuk dikritisi dan dijadikan bahan diskusi. Misalnya, apakah Flora sudah menjadikan “soul” dari setiap fotonya sebagaimana ungkapan Ted Grant di awal tulisan ini? Dalam buku yang memberikan otonomi semiotik seperti ini, pertanyaan itu bukan hal aneh.