Dalam penjelajahannya di empat penjara masa Orde Baru, Fadjroel Rachman meretas diam bawah tanah lewat puisi-puisinya.
Oleh
DHIANITA KUSUMA PERTIWI
·6 menit baca
Saya belum genap berusia satu tahun ketika Goenawan Mohamad mengulas terbitan pertama Catatan Bawah Tanah di Catatan Pinggir majalah Tempo tahun 1993. Begitu pun ketika T Mulya Lubis mengulas buku kumpulan puisi tersebut secara lebih komprehensif dengan judul ”Suara Hati dari Balik Terali Besi”. Saat kedua tulisan tersebut dibuat, Indonesia masih berada dalam cengkeraman rezim otoriter Orde Baru yang terus berupaya melanggengkan diri dengan tindakan-tindakan represif-militeristik.
Dalam ulasannya, Goenawan mengakui puisi-puisi Fadjroel Rachman sebagai ”puisi aktivis, grafiti kemarahan di tembok sel, gema kegeraman sendiri di ruang tertutup, pernyataan hasil renungan yang tidak ingin bimbang”. Sementara itu, Mulya Lubis membaca puisi yang ditulis oleh seorang anak muda yang ”dalam usianya yang produktif ia dibelenggu oleh tembok-tembok penjara” tersebut penuh dengan kemarahan dan kritik tajam. Dengan luwes Mulya Lubis juga mengaitkan kritik-kritik dalam puisi Fadjroel Rachman dengan konteks kebijakan dan perundang-undangan di Indonesia. Secara khusus, Mulya Lubis mengaitkannya dengan contempt of court.
Tiga puluh tahun kemudian, Catatan Bawah Tanah dihadirkan kembali oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) dengan penambahan isi, dari yang sebelumnya 27 puisi saat pertama kali diterbitkan menjadi 34 puisi pada terbitan yang kedua.
Kelahiran kembali Catatan Bawah Tanah dibarengi dengan pembacaan baru atas puisi-puisi Fadjroel, kali ini oleh Hasan Aspahani yang ulasannya dimuat dalam cetakan kedua sebagai pengantar.
Dalam ulasannya yang berjudul ”Pernyataan Itu Fana, Pertanyaan Itu Abadi”, Hasan tidak lagi hanya berfokus pada sosok penulisnya sebagai seorang narapidana politik. Tentu, identitas tersebut tidak secara penuh dikesampingkan atau dianulir, tetapi terbaca kecenderungan untuk menanggapi teks tersebut sebagai entitas karya sastra yang lebih ”mandiri” dengan menanggalkan gagasan-gagasan aktivisme dan menggarisbawahi ekspresi pertanyaan yang mendominasi puisi-puisi Fadjroel.
Dalam ulasannya, Goenawan mengakui puisi-puisi Fadjroel Rachman sebagai ”puisi aktivis, grafiti kemarahan di tembok sel, gema kegeraman sendiri di ruang tertutup, pernyataan hasil renungan yang tidak ingin bimbang”.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut, menurut Hasan, lebih kuat daripada pernyataan, ”seperti gema yang tak hilang, berpantulan di tebing-tebing realitas hari ini”, terdapat satu bentuk ekspresi yang dalam puisi Fadjroel yang ditangkap oleh Goenawan Mohamad, Mulya Lubis, ataupun Hasan Aspahani, yaitu kemarahan. Memang, bukan hal yang sulit untuk membaca dan merasakan suasana kemarahan dalam puisi-puisi Catatan Bawah Tanah. Bahkan, kemarahan bisa dibilang menjadi mood yang dibangun hampir di setiap dan keseluruhan puisi dalam buku tersebut. Pada satu sisi, hal tersebut memang tidak sulit untuk dideteksi.
Secara keseluruhan, pilihan kata dan frasa dalam puisi-puisi di Catatan Bawah Tanah mengindikasikan secara cukup kuat emosi kemarahan yang ditumpahkan oleh penulis dalam karyanya.
Namun, ulasan-ulasan yang telah ditulis sebelumnya belum membahas secara mendalam strategi emosi tersebut diekspresikan. Menurut saya, terdapat strategi yang secara sadar dipilih penulis untuk membuat amarah yang membuncah dalam batinnya sebagai narapidana politik tetap terbingkai secara estetis.
Saya ambil sebagai contoh, puisi yang juga menjadi sorotan Mulya Lubis dalam ulasannya, yakni ”Sketsa Penjara III (Percakapan dengan katak selokan)”:
...Kehidupan menggantung layaknya tanda-tanya besar (aneh, aku ingat Aniko Senesh, sanggupkah salju putih menghisap habis darah dan otaknya yang berceceran dihantam peluru kaum fasis? Siapakah yang mengajarkan Aniko menahan penderitaan? Siapakah yang bakal mengajarkan kita menahan penderitaan? Siapakah yang bakal mengabarkan penderitaan rakyat jelata kepada ibu kita terkasih)....
Bandingkan dengan:
...Kehidupan menggantung layaknya tanda-tanda besar (aneh, aku ingat Aniko Senesh, sanggupkah salju putih menghisap habis darah dan otaknya yang berceceran dihantam peluru kaum fasis? Siapakah yang mengajarkan Aniko menahan penderitaan? Siapakah yang bakal mengajarkan kita menahan penderitaan? Siapakah yang bakal mengabarkan penderitaan rakyat jelata kepada ibu kita terkasih)....
Sebagai catatan tambahan, saya sempat menanyakan kepada pihak penerbit KPG terkait proses penyuntingan puisi-puisi dalam Catatan Bawah Tanah. Terkonfirmasi bahwa terlepas dari adanya penambahan isi dalam cetakan kedua buku tersebut, sama sekali tidak dilakukan pengeditan atau perubahan pada bentuk puisi-puisi di dalamnya. Dengan demikian, strategi tekstual untuk mengekspresikan amarah penulis sebagai narapidana politik masih seperti aslinya ketika pertama kali puisi-puisi tersebut ditulis.
Perbandingan di atas menunjukkan bahwa penulis menggunakan enjambemen, atau larik sambung, dalam puisinya. Larik-larik yang ditulis Fadjroel melompat secara sintaksis, bersambung ke larik sebelumnya. Teknik tersebut telah digunakan oleh penyair-penyair besar Indonesia, seperti WS Rendra dalam ”Seonggok Jagung di Kamar” dan Chairil Anwar dalam ”Aku”, juga penyair-penyair klasik dunia seperti TS Elliot dalam pembuka ”The Waste Land”.
Dengan menggunakan enjambemen, penulis mengendalikan ekspresi emosi dalam puisi-puisinya sehingga tidak terbaca meledak-ledak. Sebelum masuk, tenggelam, dan menuntaskan kemarahan yang ditawarkan dalam satu larik, pembaca dipaksa beralih ke larik selanjutnya. Yang tersaji di hadapan pembaca bukanlah sekadar puisi penuh amarah dengan ledakan raw emotion, tetapi puisi penuh amarah yang antisipatif.
Selain penggunaan enjambemen sebagai strategi tekstual, masih di bait yang sama, tampak dengan jelas bahwa penulis menggunakan referensi yang berjarak secara spasial dengan dirinya, yakni Aniko Senesh (1921–1944), seorang penyair Hongaria yang tewas ketika terlibat dalam upaya penyelamatan Yahudi-Hongaria yang akan dideportasi ke Auswitch oleh Nazi-Jerman.
Aniko bukanlah satu-satunya sosok yang disebutkan dalam puisi-puisi di Catatan Bawah Tanah, selain itu ada juga Plato, Socrates, Schopenhauer, Wittgenstein, Giordano Bruno, Rimbaud, dan Perawan Maria, di samping tokoh-tokoh dalam mitologi Yunani seperti Prometheus, Narcissus, dan Sisyphus, serta karakter-karakter fiksi seperti Hamlet dan Ophelia, Don Quixote, serta Estragon dan Vladimir.
Fadjroel Rachman, dalam penjelajahannya dari Penjara Militer Bakorstanasda, Penjara Kebon Waru, Penjara Batu Nusakambangan, sampai Penjara Sukamiskin, ia menemukan diri dan bentuknya yang estetik dengan meretas diam bawah tanah.
Pencantuman referensi-referensi tersebut saya asumsikan berkaitan erat dengan literatur yang menjadi bahan bacaan penulis yang membentang dari tulisan-tulisan filsafat sampai karya-karya sastra dunia. Penulis dalam hal ini tampak ingin menunjukkan kepada semua orang–pembaca puisinya, sipir penjara, orang-orang di balik sistem yang memenjarakannya bahwa ia adalah seorang manusia dengan intelektualitas, bukan sekadar narapidana dengan nomor urut sebagai identitas.
Kombinasi penggunaan enjambemen dan pencantuman referensi dalam puisi ”Sketsa Penjara III”–dan juga beberapa puisi lain–dalam kaitannya dengan pengekspresian emosi penulis selanjutnya membawa saya pada definisi puisi yang ditawarkan William Wordsworth dalam pembuka Lyrical Ballads (1800). Dalam tulisan tersebut, Wordsworth menghadirkan dua definisi puisi yang tampak saling berlawanan: ”aliran yang spontan dari perasaan kuat” dan ”emosi yang dikenang dalam ketenangan” (hlm 308). Ambivalensi dari kedua definisi atas puisi tersebut, menariknya, dapat ditemukan dalam puisi- puisi Fadjroel.
Pada satu sisi, penulis menggunakan diksi dan frasa yang mengindikasikan kemarahannya terhadap penjara yang membekuknya, rezim yang mengempaskannya ke ”Neraka Jahanam” dan ”Kerajaan Derita”, juga bumi yang semakin sakit karena penghuninya kehilangan kemanusiaan. Di sisi lain, ia bermain-main pada tataran stilistik yang memengaruhi cara emosi digambarkan, lalu dirasakan oleh pembaca. Pada satu sisi, penulis mengakui kesendirian dan kesepiannya sebagai seorang narapidana. Di sisi lain, ia menunjukkan bahwa jeruji penjara tidak berhasil memutus keakraban yang ia jalin dengan tokoh-tokoh yang ditemuinya dalam buku-buku yang dibacanya.
Strategi-strategi itulah yang membuat saya kurang setuju dengan pendapat Mulya Lubis bahwa puisi-puisi Fadjroel ”terasa sebagai puisi protes yang nyaris seperti pamflet”. Puisi pamflet seringkali dianggap lemah dari segi estetik karena lebih berfokus pada penyampaian pesan (baca: propaganda) yang ingin diutarakan penulis melalui karyanya. Fadjroel Rachman, dalam penjelajahannya dari Penjara Militer Bakorstanasda, Penjara Kebon Waru, Penjara Batu Nusakambangan, sampai Penjara Sukamiskin, ia menemukan diri dan bentuknya yang estetik dengan meretas diam bawah tanah.
Dhianita Kusuma Pertiwi, Penulis, penerjemah, dan editor.
DATA BUKU
Judul Buku : Catatan Bawah Tanah: Kumpulan sajak seorang anak muda Indonesia dalam empat penjara Orde Baru