Gagalnya Sosio-Demokrasi Soekarno
Bagi Bung Karno, demokrasi tidak boleh dipisahkan dari upaya memajukan keadilan sosial, harus dibarengi demokrasi ekonomi.
Indonesia pada periode 1959-1965 merupakan periode paling antidemokrasi dalam masa pemerintahan Presiden Soekarno. Beberapa indonesianis, seperti Herbert Feith, Harold Crouch, dan John Legge, memiliki penilaian serupa atas periode Demokrasi Terpimpin itu.
Feith (1962), misalnya, memandang bahwa demokrasi terpimpin yang dicanangkan Presiden Soekarno praktis menutup era Demokrasi Parlementer dan membuka jalan bagi otoritarianisme. Crouch (2007) melihat Bung Karno tidak lebih dari sosok ”sultan Jawa tradisional” yang berusaha mempertahankan kekuasaannya dengan cara memainkan perimbangan kekuatan antara kelompok militer dan Partai Komunis Indonesia.
Sementara, menurut Legge (1967), periode tersebut merupakan bukti bahwa Soekarno adalah seorang ”penjaga ideologi konservatisme” serta pelindung ”birokratisme konservatif” dalam perpolitikan Indonesia. Penulis otobiografi Bung Karno yang terkenal, yakni Cindy Adams, pada 1967 menerbitkan buku tentang Bung Karno berjudul My Friend the Dictator.
Saling menghormati
Menurut buku ini, pandangan-pandangan tersebut perlu didiskusikan kembali. Pada satu sisi memang terjadi semacam pemusatan kekuasaan politik dan ekonomi di tangan kepala negara. Pada sisi lain, pemusatan kekuasaan tersebut tidak datang tiba-tiba. Terdapat bermacam faktor yang mendorong lahirnya keputusan-keputusan yang diambil Presiden Soekarno saat itu.
Dengan gamblang, rapi dan melalui tuturan yang mudah diikuti, buku ini mencoba menempatkan periode Demokrasi Terpimpin dan periode-periode sebelumnya dalam konteks lebih luas. Tujuannya agar sejarah Indonesia, khususnya pasca-1945, dapat dipahami secara lebih jelas dan seimbang.
Dengan gamblang, rapi dan melalui tuturan yang mudah diikuti, buku ini mencoba menempatkan periode Demokrasi Terpimpin dan periode-periode sebelumnya dalam konteks lebih luas.
Diingatkan kembali melalui buku ini, misalnya, ketika memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, Soekarno memandang kemerdekaan bukan sebagai tujuan utama, melainkan sebuah ”jembatan emas” menuju ke kondisi bangsa yang lebih baik (hlm 204). Itulah kondisi di mana martabat kemanusiaan setiap rakyat semakin dihormati, sementara susunan masyarakatnya semakin tertata (hlm 483).
Jauh sebelum Proklamasi Kemerdekaan RI, Soekarno muda telah mencita-citakan kaum marhaen sebagai subyek revolusioner dalam melawan feodalisme, kolonialisme, dan imperialisme. Dalam pemahaman Bung Karno, kaum marhaen adalah ”kelas-kelas sosial yang lemah [yang harus] disatukan dalam perjuangan kebangsaan bersama” (hlm 46).
Selanjutnya, ajaran Bung Karno tentang ”ideologi perjuangan yang berpihak kepada prinsip sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi untuk membangkitkan kesadaran kelas sang subyek revolusioner dalam perjuangan anti-imperialisme menuju sosialisme ala Indonesia” itulah yang disebut marhenisme (hlm 44). Di sini pula terletak ”merah”-nya ajaran Bung Karno: sebuah rangkaian ajaran yang poros utamanya adalah pembebasan rakyat dari belenggu-belenggu sosial, politik, dan ekonomi yang menyengsarakannya.
Ada tiga komponen utama marhaenisme: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan ketuhanan (hlm 475). Soekarno menjelaskan sosio-nasionalisme sebagai ”nasionalisme yang tumbuh dalam taman sarinya internasionalisme dan internasionalisme yang berpijak pada buminya nasionalisme” (hlm 479). Artinya, nasionalisme yang kaya dimensi internasional.
Bagi Bung Karno, demokrasi tidak boleh dipisahkan dari upaya memajukan keadilan sosial. Oleh karena itu, demokrasi politik harus dibarengi dengan demokrasi ekonomi (hlm 484). Itulah yang dia maksud dengan sosio-demokrasi, dengan land reform merupakan salah satu contoh perwujudannya (hlm 316). Di atas semua itu, Bung Karno yakin bahwa perwujudan sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi hanya mungkin terlaksana jika landasannya adalah ketuhanan, khususnya ketuhanan yang didasari sikap saling menghormati di antara berbagai pemeluk agama (hlm 485).
Dalih
Bung Karno melihat bahwa hingga paruh kedua tahun 1950-an cita-cita sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi yang berlandaskan ketuhanan itu tak kunjung terwujud. Indonesia yang sudah berada di seberang ”jembatan emas” kemerdekaan dan siap membangun masyarakat adil makmur terus-menerus digerogoti kekuatan-kekuatan antikerakyatan dari dalam ataupun luar negeri.
Di dalam negeri, Bung Karno melihat sejumlah politikus konservatif berusaha menunda pelaksanaan sosio-demokrasi, misalnya upaya menunda penyelenggaraan Pemilu 1955 (hlm 324) dan menolak pelaksanaan land reform (hlm 342-343). Pada saat yang sama, kabinet mengalami jatuh-bangun, diiringi konstituante hasil Pemilu 1955 yang selalu gagal mencapai kesepakatan.
Bersamaan dengan itu, di tengah Perang Dingin, kekuatan-kekuatan internasional yang sedang berseteru berusaha mempropagandakan ideologi masing-masing. Misalnya Congress for Cultural Freedom (CCF) yang gencar berusaha membuka jalan bagi ”hegemoni kultural” kapitalis yang dianut oleh negeri yang mensponsorinya, yakni Amerika Serikat (AS). Tujuannya adalah ”menghabisi proyek liberasi sosial yang dilakukan oleh negara-negara yang baru merdeka” termasuk Indonesia (hlm 319).
Ia tak lahir dari hasrat berkuasa seorang pribadi atau sebuah keluarga.
CCF adalah sebuah lembaga terselubung yang didanai dinas rahasia AS, yakni Central Intelligence Agency (Herlambang, 2013). Dukungan AS dan sejumlah negara Asia terhadap pemberontakan daerah pada 1950-an membuka peluang bagi kemungkinan disintegrasi nasional (hlm 322).
Di tengah situasi politik demikian, pada 5 Juli 1959 Bung Karno mengumumkan sebuah dekrit yang menandai dimulainya periode Demokrasi Terpimpin. Demokrasi Terpimpin lahir dari konteks gejolak politik domestik dan internasional, yang semuanya ingin menghambat (baca: menghalangi) terwujudnya sosio-demokrasi, sosio-nasionalisme dan ketuhanan bagi Indonesia merdeka (hlm 489-490). Ia tak lahir dari hasrat berkuasa seorang pribadi atau sebuah keluarga.
Pandangan-pandangan yang menekankan sisi pemusatan kekuasaan dari periode 1959-1965 sebagaimana yang dilihat di atas akan dengan mudah membuat orang mengira pertumpahan darah yang terjadi pada paruh kedua 1965 dan setelahnya merupakan ”konsekuensi logis” dari periode Demokrasi Terpimpin.
Penulis buku ini menunjukkan bahwa periode tersebut bukanlah penyebab dari kekacauan politik dan ekonomi tahun 1959-1965, melainkan lebih merupakan ”respons dialektis” (hlm 332) atas situasi kekacauan politik dan ekonomi dari tahun-tahun sebelumnya.
Sayangnya, sebelum Bung Karno berhasil menanggapi kondisi yang ada, terjadi peristiwa berdarah pada dini hari 1 Oktober 1965 yang kemudian dijadikan dalih bagi pembunuhan massal dengan korban ratusan ribu nyawa manusia (Roosa: 2008).
Jika Anda berpendapat bahwa sejarah Indonesia pada periode 1959-1965 merupakan periode yang paling antidemokrasi dalam masa pemerintahan Presiden Soekarno, Anda perlu membaca buku ini. Secara tuntas, buku ini mengulas berbagai gagasan dan keputusan Bung Karno dalam konteks ”merah”-nya ajaran-ajaran kerakyatannya.
Buku ini juga menunjukkan relevansi ajaran-ajaran tersebut untuk konteks Indonesia sekarang.
Baskara T Wardaya, Pemerhati Sejarah Indonesia
DATA BUKU
Judul Buku: Merahnya Ajaran Bung Karno, Narasi Pembebasan Ala Indonesia
Penulis: Airlangga Pribadi Kusman
Penerbit: Penerbit GDN, Banten
Tahun Terbit: Cetakan I, 2023
Tebal Buku: xxii + 509 halaman
ISBN: 978-623-94284-2-6