Memahami Revolusi Kemerdekaan dengan Perspektif Kritis
›
Memahami Revolusi Kemerdekaan ...
Iklan
Memahami Revolusi Kemerdekaan dengan Perspektif Kritis
Sebuah buku yang memadukan historiografi yang berbeda antara sejarawan Indonesia dan Belanda. Isinya periode perang revolusi dalam perspektif lokal yang belum banyak diangkat.
Oleh
ARIEF NURRACHMAN
·4 menit baca
Dalam membahas sejarah Revolusi Indonesia 1945-1949, pada umumnya historiografi Indonesia menyajikan sejarah kepahlawanan rakyat Indonesia, terlepas dari perbedaan etnis, kelas, atau kepentingan politik mereka dalam berjuang mempertahankan kemerdekaan. Di sisi lain, historiografi Belanda cenderung fokus pada kekerasan yang dilakukan tentara mereka di Indonesia. Kedua perspektif historiografi ini menjadi arus utama penulisan sejarah. Namun, sekelompok sejarawan dari Indonesia dan Belanda mencoba membuat riset kolaborasi untuk mengkritik periode revolusi Indonesia.
Latar belakang penelitian dilandasi pemikiran bahwa historiografi yang ada sekarang terlalu membuat generalisasi kondisi pada periode revolusi Indonesia. Padahal, di balik konflik utama antara Indonesia dan Belanda terdapat banyak aktor terlibat yang mewakili entitas politik, agama, sosial, dan regional. Perihal soal kontestasi kekuasaan, kegamangan kelompok minoritas, hingga kebangkitan kembali emansipasi wanita membuat periode revolusi begitu kompleks dan tidak sederhana.
Perspektif berbeda dalam memandang revolusi ini dibahas lebih lanjut dalam buku berjudul Dunia Revolusi: Perspektif dan Dinamika Lokal pada Masa Perang Kemerdekaan Indonesia, 1945-1949 (Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2023). Terdapat tujuh belas naskah hasil kajian bersama sejumlah sejarawan dari Departemen Sejarah Universitas Gadjah Mada dan peneliti Belanda dari KITLV. Riset bersama ini merupakan bagian dari Proyek Penelitian Kemerdekaan, Dekolonisasi, Kekerasan, dan Perang di Indonesia 1945-1950.
Terdapat tujuh belas naskah hasil kajian bersama sejumlah sejarawan dari Departemen Sejarah Universitas Gadjah Mada dan peneliti Belanda dari KITLV.
Dinamika di Jawa
Salah satu dinamika regional dalam revolusi kemerdekaan dibahas sejarawan Galuh Ambar Sasi yang mengkaji kebangkitan kembali peran perempuan di Yogyakarta. Masa revolusi menjadi momentum para perempuan untuk kembali aktif berorganisasi setelah dilarang oleh Jepang.
Para perempuan tidak hanya aktif membantu perjuangan dalam kegiatan sosial seperti dapur umum, tetapi juga aktif membentuk organisasi Persatuan Wanita Indonesia (Perwani), Aisjijah, Moeslimat, Wanita Kisten Indonesia (WKI), dan Partai Wanita Rakjat (PWR).
Penelitian Galuh menunjukkan bahwa revolusi turut memengaruhi paradigma berpikir wanita di Yogyakarta bahwa wanita juga memiliki kemampuan setara dengan laki-laki dalam membangun fondasi kemerdekaan. Eksistensi mereka dihadirkan dalam upaya melawan segala bentuk norma lama dan tradisi lama yang mengungkung perempuan.
Pespektif lain seputar revolusi di Yogyakarta bisa ditemukan pada tulisan Farabi Fakih yang mengungkapkan sisi lain peran pemuda Yogyakarta yang umumnya digambarkan begitu heroik. Farabi menyelisik lukisan, novel, drama, dan memoar untuk menjelaskan potensi imajiner Yogyakarta sebagai jendela untuk melihat peran para pemuda yang problematis dalam masyarakat Indonesia pascakolonial.
Tri Wahyuning M Irsyam mengkaji kelompok budak pribumi yang tinggal di tanah partikelir di Depok selama ratusan tahun. Budak ini memperoleh kemerdekaan dari Cornelis Chastelien dan mereka diberi hadiah sejumlah lahan.
Di satu sisi, Chastelien dipandang mampu menghentikan perbudakan di Depok, tetapi di masa revolusi keeksklusifan yang Chastelien bangun justru menjadi bom waktu. Para budak merdeka ini dihadapkan pada pilihan terkait dengan status kewarganegaraan baru sehubungan dengan kuatnya budaya mayoritas.
Pergolakan di luar Jawa
Buku ini juga tidak hanya fokus di Jawa sebagai episentrum perjuangan revolusi kemerdekaan, tetapi juga berupaya menangkap dinamika pergolakan di luar Jawa walau tidak mencakup seluruh Indonesia. Seperti tulisan Anne van der Veer yang memotret pertikaian antara kelompok etnis Tionghoa dan penduduk lokal di Sumatera Timur.
Selama masa revolusi, eskalasi ketegangan antara kelompok etnis Tionghoa dan penduduk asli Indonesia semakin meningkat. Konflik ini memosisikan etnik Tionghoa sebagai pihak yang serba salah, sementara pihak Indonesia dan Belanda tidak mampu memberikan pelindungan kepada etnik Tionghoa. Akibatnya, kelompok etnis Tionghoa mengandalkan cara mereka sendiri untuk bertahan.
Kondisi yang hampir serupa diangkat oleh Erniwati yang melakukan kajian mikrohistoris tentang kehidupan sehari-hari masyarakat Tionghoa di Padang. Pada masa awal revolusi, kondisi kelompok etnis Tionghoa menjadi lebih sulit. Penyebabnya, perlindungan dari NICA kepada etnik Tionghoa membuat marah masyarakat Padang. Namun, pada akhirnya komunitas Tionghoa mampu memilih untuk merestorasi hubungan dengan penduduk Minangkabau.
Buku ini juga tidak hanya fokus di Jawa sebagai episentrum perjuangan revolusi kemerdekaan, tetapi juga berupaya menangkap dinamika pergolakan di luar Jawa walau tidak mencakup seluruh Indonesia.
Sama halnya di Padang, kelompok masyarakat India di Medan dan sekitarnya juga dihadapkan pada keputusan untuk memilih ikut kemerdekaan atau justru berseberangan. Hal ini seperti diungkapkan oleh Apriani Harahap dalam tulisannya.
Kedatangan pasukan dari India yang dibawa oleh pasukan Sekutu Inggris ternyata melibatkan komunitas lokal India dalam politik komunal mereka sendiri. Terdapat tiga golongan kala itu, yaitu kaum muda India yang cenderung berpihak kepada Republik, para saudagar kaya yang lebih anti-Republik, dan sebagian lainnya lebih memilih untuk bersikap netral.
Kondisi yang agak berbeda justru terjadi di Aceh pada masa revolusi. Hal ini diulas dalam tulisan Mawardi Umar yang menyoroti komunitas minoritas Tionghoa yang justru mendukung kemerdekaan Indonesia.
Ketidakberhasilan Belanda menguasai Aceh memberi ruang bagi kelompok Tionghoa untuk beradaptasi dengan perubahan cepat yang terjadi di Aceh. Masyarakat Aceh mampu meredam konflik sehingga ketegangan yang terjadi pada komunitas Tionghoa tidak meluas. Segala perbedaan sosio-kultural dan agama antara komunitas Tionghoa dan masyarakat Aceh dicarikan solusi bersama.
Menilik beberapa tema yang disajikan dalam buku ini, hal itu jelas membuktikan betapa masih luasnya aspek dan dimensi dari revolusi kemerdekaan Indonesia yang belum diungkap dan memerlukan kajian lebih lanjut. (LITBANG KOMPAS)
DATA BUKU
Judul: Dunia Revolusi: Perspektif dan Dinamika Lokal pada Masa Perang Kemerdekaan Indonesia, 1945-1949