Kalau atas nama agama disebarkan kebencian dan perpecahan, jangan heran apabila orang yang memiliki integritas meninggalkan agama.
Oleh
MARTINUS DANANG PRATAMA WICAKSANA
·5 menit baca
Memasuki era abad ke-21, banyak orang mengharapkan kedamaian setelah pada abad sebelumnya dunia dilanda Perang Dunia dan Perang Dingin. Sudah banyak korban jiwa yang berguguran akibat persenjataan modern di abad lalu. Hal inilah yang membuat banyak orang berharap agar di tahun 2000-an tidak ada lagi pertumpahan darah.
Namun, baru seperempat jalan di abad ke-21 kita sudah diperlihatkan pada kekacauan dunia. Setidaknya Franz Magnis-Suseno mencatat ada lima ancaman serius yang sedang melanda bumi ini, yakni krisis demokrasi, ekstremisme ideologi, kapitalisme, kerusakan lingkungan, dan ancaman kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI). Kelima ancaman itu diperparah dengan munculnya gejala sekularisasi di beberapa negara. Banyak orang telah meninggalkan keyakinan beragama mereka dan lebih memilih hanya bersandar pada ilmu pengetahuan.
Maka, tepatlah penerbitan buku yang berjudul Iman dalam Tantangan, Apa Kita Masih Dapat Percaya pada “Yang di Seberang”? (PBK, 2023) karya Franz Magnis-Suseno. Rohaniwan asal Jerman ini melihat adanya degradasi iman di era modern sehingga memunculkan sekularisasi. Melalui kumpulan tulisanini, Romo Magnis hendak memberikan bahan refleksi bagaimana kita mengarungi abad ke-21 dengan dibantu oleh filsafat kritis.
Buku ini ditulis dalam pandangan kacamata agama Kristiani, khususnya Katolik, tetapi Magnis-Suseno membawakannya secara umum agar dapat dibaca masyarakat luas. Selain itu, buku ini penting untuk dibaca karena tidak hanya berbicara tentang arus sekularisasi saja, tetapi juga bagaimana filsafat Pancasila dapat membantu Indonesia menghadapi dunia modern saat ini.
Setidaknya Magnis-Suseno mencatat ada lima ancaman serius yang sedang melanda bumi ini, yakni krisis demokrasi, ekstremisme ideologi, kapitalisme, kerusakan lingkungan, dan ancaman kecerdasan buatan ( artificial intelligence/AI).
Dunia sekuler
Gejala ditinggalkannya keyakinan untuk berhubungan dengan Tuhan dan lebih memilih membangun relasi di dunia nyata seperti yang terjadi di era saat ini ternyata bukanlah pertama kali terjadi. Jauh sebelumnya di era abad pencerahan atau renaisans banyak orang telah meninggalkan agama.
Penyebabnya karena pada abad kegelapan Gereja Katolik terlalu mendominasi kehidupan manusia. Segala bentuk ilmu pengetahuan yang berlainan dengan tafsir kitab suci dianggap sesat. Contohnya Galileo Galilei yang memaparkan penelitiannya tentang bumi yang berputar mengelilingi matahari ditolak oleh gereja. Saat itu hanya ada satu keyakinan bahwa bumi sebagai pusat dan matahari yang mengelilingi bumi. Sejak saat itu Galileo dilarang oleh gereja untuk menyebarkan pengetahuannya.
Melihat hal ini di era renaisans muncul berbagai riset ilmu pengetahuan yang isinya berbeda dengan ajaran dogmatis agama yang pada waktu itu dominan. Di era ini orang mulai tidak lagi percaya pada gereja, apalagi gereja sudah tidak lagi memiliki kekuatan dominasi sekuat abad pertengahan. Inilah awal sekularisasi dunia.
Sekularisasi sendiri, menurut Magnis-Suseno, adalah suatu keadaan yang menghasilkan suatu penghayatan kehidupan di mana manusia merasa mencapai eksistensi bermakna dalam realitas yang dialaminya, dalam hubungan dengan manusia lain, masyarakat, alam yang melingkunginya, dan tidak lagi berkesesuaian dengan hukum Ilahi yang diterima entah dari mana. Artinya manusia lebih mementingkan relasi horisontal di dunia dibandingkan vertikal dengan Tuhan.
Dalam buku ini dikutip juga tiga dimensi sekularitas menurut Charles Taylor. Pertama, ruang publik mulai dari kehidupan politis, ekonomis, hukum, dan lain-lain di masyarakat ditata dan dijalankan tanpa acuan pada suatu agama. Kedua, menurunnya praktik keagamaan di negara-negara yang paling tersekularisasi. Ketiga, agama dalam dimensi kehidupan menjadi opsi pilihan pribadi sehingga kemanusiaan dihayati sesuai dengan rasionalitas internalnya tanpa mengacu pada suatu “alam seberang”.
Gejala sekularisasi dan keyakinan pada ilmu pengetahuan sebenarnya termasuk dalam rasionalitas manusia. Auguste Comte menyebut setidaknya terdapat tiga tahap rasionalitas manusia berkembang. Pertama, semula manusia mencari sebab-sebab kejadian alami yang tidak dimengerti di alam gaib. Kedua, manusia mulai mencarinya dalam hakikat realitas (tahap filsafat). Ketiga, akhirnya manusia di tahap positivisme atau ilmu pengetahuan yakni manusia mulai mencari jawabannya melalui amatan ilmiah.
Sekularitas inilah yang kemudian semakin berkembang di abad modern saat ini. Di mana agama dan keimanan semakin ditinggalkan sehingga umat manusia semakin menghamba pada materialisme dan kehidupan duniawi. Apalagi ilmu pengetahuan yang selalu berkembang semakin menyudutkan peranan agama di dalam kehidupan manusia. Di sini keimanan seseorang akan ditantang.
Tantangan
Perkembangan ilmu pengetahuan di abad ke-21 ternyata membawa tantangan yang cukup besar bagi kemanusiaan. Dunia yang semakin sekuler membuat ilmu pengetahuan semakin memiliki pengaruh besar bagi manusia. Seperti telah disebutkan di atas, Magnis-Suseno setidaknya melihat ada lima tantangan yang akan dihadapi manusia yakni krisis demokrasi, ancaman kelaparan akibat kapitalisme, ekstremisme ideologi, kerusakan lingkungan alam, dan ancaman kecerdasan buatan.
Tantangan pertama, demokrasi global kini menghadapi tekanan ekstrem. Beberapa negara demokrasi di Barat tumbuh gerakan-gerakan populis dan penganut teori-teori konspirasi. Masih segar dalam ingatan kita bagaimana Donald Trump dapat memenangi pemilihan Presiden Amerika Serikat tahun 2017 melalui teori konspirasinya yang mampu memikat warga AS, bahkan melalui gerakan populisme yang diterapkan dapat mengancam perpecahan sehingga mengancam demokrasi.
Lalu pertanyaannya adalah apakah agama dapat survive di dalam arus sekularisasi?
Tantangan kedua, kapitalisme membuktikan diri sebagai sebuah sistem yang paling unggul dalam mendorong pertambahan produksi. Namun, kapitalisme adalah sistem berdasarkan pada persaingan sehingga dapat memecahbelah yang menang dengan yang kalah. Akibatnya, kapitalisme menghasilkan ketidaksetaraan. Dampaknya jelas bahwa yang menang akan semakin kaya dan yang kalah akan semakin miskin sehingga akan muncul ancaman kelaparan ketika pangan dikuasai oleh si kaya.
Tantangan ketiga, yakni meluasnya ekstremisme berdasarkan ideologi maupun agama. Meluasnya ideologi-ideologi eksklusif ini kebanyakan termotivasi pada agama tertentu dengan menggunakan kekerasan dan teror. Keadaan ini semakin gawat ketika ekstremisme dipadukan dengan populisme dan mengganti kata “kita” dengan “kami lawan mereka”.
Tantangan keempat, perubahan iklim dan keambrukan lingkungan hidup alami. Pemanasan global dan kondisi lingkungan yang semakin ekstrem membuat dunia sekarang semakin berbahaya untuk ditinggali. Pemanasan atmosfir, naiknya permukaan laut, banjir yang semakin sering, kekurangan air bersih, dan pengotoran udara adalah ancaman nyata di depan manusia. Apalagi ditambah dengan lalainya pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan yang tidak didasarkan pada ekologi lingkungan.
Terakhir, tantangan kelima adalah perkembangan AI yang sedang hangat-hangatnya dibicarakan. Kehadiran AI memang membuat pekerjaan manusia semakin lebih mudah dan cepat. Namun, tidak dimungkiri juga AI juga mengancam beberapa manusia akan kehilangan pekerjaan dan digantikan oleh mesin. Akibatnya, manusia semakin kehilangan kemanusiaannya berganti oleh algoritma-algoritma.
Lalu pertanyaannya adalah apakah agama dapat survive di dalam arus sekularisasi? Magnis-Suseno menjawabnya bisa asalkan agama dapat membuktikan diri sebagai suatu yang positif, menyelamatkan, dan menyembuhkan. Kalau atas nama agama disebarkan kebencian dan perpecahan, jangan heran apabila orang yang memiliki integritas meninggalkan agama.
Apalagi terkait dengan perkembangan ilmu pengetahuan, kiranya agama tidak mempertentangkan antara rasionalitas berdasarkan nalar dengan wahyu Ilahi. Agama pun juga tidak boleh melarang orang untuk berpikir secara ilmiah. Pengembangan ilmu pengetahuan tentu secara kritis juga membantu agama-agama untuk membebaskan diri dari mitos-mitos dan pengandaian-pengandaian tak berdasar. Justru agama dan ilmu pengetahuan semakin menemukan apa yang merupakan kebenarannya.
Romo Magnis juga menyelipkan perlunya filsafat di dalam menghadapi tantangan-tantangan tersebut. Filsafat dapat menambah ketajaman analisis, sikap kritis yang bermutu, wawasan permasalahan yang luas, dan mengkritisi pemikiran sesat yang suka menjadi wahana segala macam klaim atas kekuasaan. Filsafat memberikan komitmen pada kebenaran. Bukan sebagai sumber kebenaran, melainkan sebagai cara mengkritik segala macam half-truth, post-truth, dan non-truth. (LITBANG KOMPAS)
Data Buku
Judul: Iman dalam Tantangan, Apa Kita Masih Dapat Percaya pada “Yang di Seberang”?