Ketidakpastian Politik dan Ketidakjelasan Transisi Indonesia
Buku ini menegaskan transisi yang berlangsung di Indonesia sejauh ini belum melahirkan konsolidasi demokrasi yang mapan.
Oleh
ADE M WIRASENJAYA
·5 menit baca
Buku karya Jemma Purdey, Antje Missbach, dan Dave McRae ini melengkapi kajian dinamika sosial-politik Indonesia pada masa setelah Orde Baru. Buku ini terdiri dari sembilan bab dan mendiskusikan topik yang sangat luas, dari isu militer-sipil, problem hak asasi manusia, politik luar negeri, hingga isu kesehatan, ketimpangan pendidikan, lapangan kerja, budaya populer, hingga Covid-19.
Luasnya jelajah topik membuat buku ini kehilangan fokus dan seperti sebuah kaleidoskop tentang dinamika sosial-politik Indonesia pasca-Orde Baru. Namun, di sisi lain, terutama bagi para peminat studi Indonesia generasi baru di luar sana, buku ini menghadirkan identifikasi cukup penting atas kompleksitas Indonesia di hari ini.
Ketiga penulis berlatar belakang disiplin ilmu politik (Jemma Purdey dan Dave McRae) dan sosiologi (Antje Missbach). Mereka ingin menegaskan bahwa transisi yang berlangsung di Indonesia sampai sejauh ini dianggap belum melahirkan konsolidasi demokrasi yang cukup mapan meskipun penulis sangat optimistis melihat pertumbuhan ekonomi yang dicapai Indonesia.
Tidak hanya Indonesia yang mengalami problem serupa, hampir semua negara di kawasan Asia Tenggara tidak ada yang konsisten mempertahankan demokrasinya sejak tahun 2000. Indonesia merupakan promotor penting demokrasi di kawasan Asia Tenggara meskipun hal ini tidak serta-merta menjadi pendorong transisi dalam konteks sosial dan budaya (hlm 4). Secara menarik, misalnya, ketika membahas bahwa transisi politik yang dibayangkan akan membawa ke ruang politik demokratik nyatanya hanya melahirkan modus-modus baru kekuasaan, yang oleh sejumlah ilmuwan juga disebut sebagai munculnya oligarki.
Premis utama buku ini sebenarnya sangat sederhana, yakni proses demokrasi di Indonesia telah melahirkan perubahan di dua level: level negara dan level masyarakat. Kedua perubahan itu bersifat struktural dan konjungtural sekaligus.
Perubahan struktural adalah perubahan yang direncanakan secara sistematis dan melalui kebijakan politik yang jelas (by design). Adapun perubahan konjungtural adalah perubahan yang tidak terencana, entah itu karena situasi-situasi yang tak terkendali dalam kehidupan sosial ataupun karena sebab-sebab lain, seperti munculnya wabah (by incident).
Mereka ingin menegaskan bahwa transisi yang berlangsung di Indonesia sampai sejauh ini dianggap belum melahirkan konsolidasi demokrasi yang cukup mapan meskipun penulis buku ini sangat optimistis melihat pertumbuhan ekonomi yang dicapai Indonesia.
Pada level negara, berlangsung tata kelola baru pemerintahan ketika alokasi kekuasaan tidak lagi dimonopoli oleh Jakarta. Adanya desentralisasi yang memberi kewenangan politik bagi daerah merupakan suatu konsekuensi politik dari proses politik demokrasi yang berlangsung. Di sisi lain, hal ini tidak mengubah adanya sirkulasi aktor karena instalasi politik pasca-Orde Baru masih merupakan produk dari daya cengkeram otoritarianisme Orde Baru. Otoritarianisme yang panjang bukan saja mengukuhkan dimensi politik, melainkan juga memengaruhi kehidupan sosial.
Maka, meskipun Indonesia secara formal memasuki fase demokrasi, cara-cara produksi kekuasaan lama masih sangat kental sehingga muncul kasus-kasus yang tidak beranjak, seperti korupsi, despotism kekuasaan, intoleransi, dan berbagai pelanggaran hak asasi manusia. Intinya, buku ini mencoba menghadirkan pembacaan bahwa ”ada akibat sosiologis yang dahsyat dari politik otoriter Orde Baru” yang harus diterima masyarakat Indonesia hingga hari ini. Inilah yang menjadi tesis penting buku ini, yaitu transisi pada level negara dan masyarakat sedang menghadapi ketidakjelasan.
Aspek menarik lain dari buku ini ketika penulisnya mencoba mengajak kita untuk melihat ”generasi yang tidak memiliki memori politik”, tetapi harus dihadapkan pada ruang teknologisasi ingatan dari perangkat-perangkat industrial, seperti media sosial, munculnya media-media baru seperti internet dan berbagai produk industri hiburan dan budaya pop. Meskipun Indonesia telah keluar dari cengkeraman Orde Baru yang memonopoli wacana dan berita, pertumbuhan oligarki setelah itu membawa implikasi pada berkembangnya oligarki berita.
Politik kekerabatan yang dominan dalam wajah politik Indonesia kini mendapatkan wahana produksinya melalui kartelisasi kepemilikan media. Dalam ”ekosistem digital” itulah politik Indonesia diproduksi, yang ujung-ujungnya tak membuat demokrasi Indonesia beranjak dari wajahnya yang lama. Problem ini justru semakin parah bagi konteks sosial masyarakat Indonesia karena ruang digital tersebut telah memungkinkan sirkulasi pandangan yang bahkan jauh lebih tendensius, manipulatif, dan sensasional di tengah masyarakat (hlm 299).
Buku ini juga melihat posisi Indonesia dalam kancah internasional dengan nada yang agak optimistis. Indonesia memiliki modal kuat dari sisi determinan politik luar negeri berupa letak geografis, wilayah yang luas serta kapabillitas yang telah ditunjukkan dalam politik luar negeri dalam bingkai ”bebas-aktif”, sebuah prinsip genuine yang sudah dirumuskan Mohammad Hatta di Yogyakarta pada 1948. Hanya saja, ruang politik internasional yang dihadapi Indonesia tidak cukup aksentuatif dimainkan oleh politik luar negeri Indonesia dihitung dari luas teritori, posisinya yang strategis dan populasinya yang amat besar.
Menempatkan isu politik luar negeri di ujung narasi dalam buku ini terasa cerdik: penulisnya hanya ingin mengatakan bahwa tanpa adanya upaya penyelesaian yang cukup strategis dan terencana dalam kehidupan sosial-politik domestik, Indonesia tak akan pernah berbicara lebih jauh di tingkat internasional.
Buku ini berhasil sebagai sebuah dokumen, tetapi tampaknya belum memberikan satu pandangan yang relatif jelas. Kita tidak menemukan, misalnya, diskusi hal-hal mendasar, seperti bagaimana konfigurasi kekuasaan yang berlangsung dalam arena sosial dan lebih banyak melakukan identifikasi dari munculnya kelompok-kelompok sosial baru, baik yang disukai maupun yang mengalami proses marjinalisasi oleh negara yang tengah mengalami transisi.
Terdapat kecenderungan kompartementalistik dalam melihat sektor negara, masyarakat, dan pasar. Padahal, cara produksi kekuasaan hari ini telah menampilkan begitu rupa titik kabur antara ketiganya: kita bisa melihat cara kerja pasar di ruang negara dan masyarakat, kita juga bisa melihat cara kerja pasar yang begitu ”voluntaristik” sebagaimana kita juga bisa melihat aktivitas ekonomi dan produksi dari arena masyarakat sipil.
Pertanyaan lanjut adalah: apakah era transisi telah melahirkan kelompok-kelompok imparsial dalam struktur politik hari ini? Nyatanya, dalam ruang politik yang dibayangkan sangat demokratis justru masih berlangsung dominasi kelompok dan oligarki kekuasaan yang bisa memanipulasi realitas.
Ade M Wirasenjaya, Dosen Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
DATA BUKU
Judul : Indonesia: Negara dan Masyarakat dalam Transisi
Judul Asli: Indonesia: State and Society in Transition
Penulis: Jemma Purdey, Antje Missbach dan Dave McRae