Membaca puisi-puisi Iswadi dalam buku Lacrimosa kita diajak melangkah dengan jangkauan tanpa tepi. Peristiwa, sketsa, atau sejumlah uraian yang muncul dalam puisinya seperti melengkapi semua kesunyian yang getir.
Oleh
ALEXANDER ROBERT NAINGGOLAN
·6 menit baca
Sebagian besar puisi kita acap bertautan dengan sunyi. Diksi-diksi yang meliputinya semacam menghamburkan jeda dan ruang bagi sunyi untuk turut larut di dalamnya. Ketika berhadapan dengan puisi, dengan sejumlah imaji dan metafora yang membungkusnya aura sunyi kerap terasa sampai ke rongga dada. Barangkali apa yang pernah diucapkan penyair Acep Zamzam Noor, jika memang membedakan karya sastra yang bagus ukurannya adalah bulu kuduk.
Pun dalam buku puisi dari penyair Iswadi Pratama, hamparan sunyi terasa kental dalam puisi-puisinya. Ia merebut sudut-sudut dalam kehidupan, kemudian merangkainya hingga menjelma menjadi sejumlah sintaksis kalimat yang rapat, yang mungkin biasa dalam keseharian—namun setelah membacanya lebih jauh, antara kata satu dengan lainnya berkelindan dan memberikan tafsiran panjang.
Dalam salah satu esainya Sutardji Calzoum Bachri menyebut jika menulis karya sastra adalah menulis di atas tulisan, lebih lanjut ia menjelaskan, menulis pada hakikatnya pula menyembunyikan, menyimpan, mengandung, menindih, melapis realitas. Dengan demikian, dalam karya sastra (puisi) realitas sekadar membayang dan berada dalam situasi di bawah tulisan. Memang berangkat dari sana pula, realitas mutlak diperlukan dalam puisi. Kenyataan-kenyataan yang bahkan lebih absurd dari metafora yang kelak hadir dalam puisi setidaknya merupakan sekadar bayangan yang membungkusnya.
Dan kita mendapati bagaimana Iswadi menjabarkan pagi sebagai realitas yang membayang dalam puisinya: Dengan rona merah yang sempurna basah/ Kembang sepatu tunduk bagi hujan pagi// Kutilang mengibaskan ekor di dahan keluwih/ Bercak matahari di jubah cuaca yang hampir putih// Di antara tenang yang basah ini/ Di batas tentram dan sepi begini// Puisi hanya sisa gigil di kelopak gandasuli/ Dingin yang sebentar menghembus lalu pergi// (Puisi ”Pagi”, hlm 25) atau ia menerjemahkan ”waktu” sore dalam puisi berikutnya: Ombak dari ribuan sungai yang gelisah/ Kilau emas dari matahari yang berkeping/ Belulang kukuh sepi/ dihempaskan dari tengah/ Remuk rebah/ di sepanjang pantai asing// Rindu hanya kapal tanpa layer dan sekoci/ Terus menekan mendesak menjauhi tepi/ Ke pusat kecamuk,/ dengan sepasang gentar kaki/ Merentang lagi/ Meregang Kembali// Menuang garam ke luka malam// (Puisi ”Sore”, hlm 26).
Betapa Iswadi khusyuk dan intens membangun suasana. Dua waktu yang berbeda, dengan sudut pandang yang juga beda, tetapi melahirkan getah ruang yang berdebar.
Betapa Iswadi khusyuk dan intens membangun suasana. Dua waktu yang berbeda, dengan sudut pandang yang juga beda, tetapi melahirkan getah ruang yang berdebar. Kita seperti diajak pada idiom nyata membayang, pagi yang dingin, jubah cuaca yang hampir putih, segala ketersia-siaan, tetapi membalur jadi satu. Juga dalam suasana sore yang lahir di pandangan mata, barangkali di suatu pantai saat matahari akan tenggelam. Kekuatan nuansa dari ”belulang kukuh sepi” atau kalimat cemas dari sepi lannya: ”menuang garam ke luka malam”.
Bahasa yang hadir dalam puisi-puisinya seperti sebuah tempat singgah baru. Di mana kita bisa mengalir mengikutinya. Sebagian besar puisi-puisi itu mengalir, membentuk kisah-kisah. Meskipun demikian, ia tetap menjaga irama, aura bunyi, sehingga terasa begitu rapat setiap kata yang digunakan. Seperti tak ada yang tersia-sia atau mubazir.
Untuk hal ini saya teringat Goenawan Mohamad dalam tulisannya, akhirnya, pada gilirannya kita mengikuti bahasa—bukan bahasa yang mengikuti kita. Saya hadir bukan sebagai subyek. Pun dalam puisi, penyair tak lagi sepenuhnya menentukan aliran diksi-diksinya akan ke mana sepenuhnya bermuara.
Membaca puisi-puisi Iswadi yang berjumlah 52 dalam buku Lacrimosa kita diajak melangkah dengan jangkauan tanpa tepi. Ia bisa saja mengarsir tema-tema yang baru semacam membawa serta rangkaian sejarah kemudian menghubungkan dengan peta perpuisian di negeri orang atau juga negeri sendiri. Dan selalu ada tafsir lain yang tergelincir, suatu hal yang membuat kita untuk kembali memungutnya kemudian merangkaikan ke dalam benak. Peristiwa, sketsa, atau sejumlah uraian yang muncul dalam puisi-puisinya seperti melengkapi semua kesunyian yang getir.
Kefanaan akan kehidupan itu sendiri. Dan Iswadi tetap berupaya untuk menguraikannya, ihwal kebanalan dunia, yang tersia-sia—tanpa nilai. Bagaimana ia berupaya menyulam segala keretakan dunia yang sebentar ini.
Semacam yang hadir dalam puisi ini: Maka di matamu/ Langis masih selalu sephia/ Dan kita hanya punya merah/ Yang pudar sebelum sempat menjadi kisah// Meski kita masih saja percaya/ Cinta sebetulnya cukup pantas/ Namun belum pernah membuat kita bebas/ Dan di depan sebuah kutuk, kita pun runduk// (Puisi ”Ode bagi Langis Sephia”, hlm 32).
Memeluk diri
Puisi-puisi Iswadi juga berupaya untuk menghantam diri sendiri. Ia menyuguhkan perenungan bagi dirinya. Semacam memberikan introspeksi bagi jiwanya tanpa adanya khotbah. Ia menyeret kita dalam kesederhanaan yang luput di mata sebagian besar orang. Ia berusaha untuk memeluk diri sendiri. Sebagaimana kenangan yang hadir di sepanjang jalan Cavenagh:
Di timur pagi, matahari baru saja menggosok matanya. Mata yang tak sempat menyaksikan Agustus yang barlari/ ke lereng bukit, di lampus sebaris eucalyptus. Mendatangi/ sebuah gereja yang tersingkir ke pinggir kota. Gereja yang/ bersikeras menerima debu, dan kadang memberi kita/ pertanyaan;// ‘Manakah yang lebih berharga, seekor burung atau sebuah/ bangku kosong untuk berdoa?’// (Puisi ”agustus”, hlm 39).
Di akhir puisi ada sentakan—seperti ingin membuka semua proses kesadaran kita. Menyentak dan ternyata ada sesuatu yang terlewat tanpa pernah kita duga. Hal-hal kecil yang kadang tak berarti, tetapi menggugah kesadaran kita. Hal yang sama juga didapati dalam puisi ”Pink Floyd Pagi”: Kalau saja kita masih punya gelora selembut itu/ Mungkin puisi memang masih perlu// (hlm 44).
Atau dalam baris awal dari puisi ”Ode bagi Pengelana”: Rambut ganihku; makin putih engkau disepuh waktu/ Rebah lunglai di kepala dan dahi yang masih angkuh/ Mata yang pernah jenaka dan acap basah mengenang/ rumah; kini malam telah melupakanmu. Menyisakan/ seberkas gelap di bawah kelopak;/ kantung rapuh bagi harap// (hlm 51).
Dan membaca buku Lacrimosa, kita diajak untuk menyiapkan sejumput pengetahuan lalu membentuknya dalam pengembaraan yang baru, barangkali pengembaraan itu tak lagi utuh. Namun dengan begitu, kita merasa akan siap untuk menghadapi hari baru, hari esok yang penuh dengan misteri. Sebuah hal yang membuat kita tak henti-henti merayakan sunyi itu sendiri. Kemudian menatanya dengan hati-hati.
Ia menyeret kita dalam kesederhanaan yang luput di mata sebagian besar orang. Ia berusaha untuk memeluk diri sendiri.
Setidaknya dalam Lacrimosa, sebagaimana makna bahasa Latin-nya ”tangisan”, kita menemui banyak kesedihan yang beranak pinak dalam puisi-puisi ini. Air mata yang dikisahkan namun tertahan sepenuhnya hingga terasa sesak menggumpal di dada. Semacam isak yang tak pernah tanak.
Setidaknya puisi merupakan lentikan cahaya dari kata itu sendiri. Saat bahasa bertemu dengan keberagaman, lalu kata-kata itu melata dan bergerak di dalam puisi. Mengendap kemudian menciptakan bahasa yang baru. Dengan ragam tafsir yang tak pernah selesai, tentunya. Dan ia menjelma jadi ingatan yang tak pernah sudah: Di suatu tempat, mungkin di suatu gurun atau semenanjung/ akan kukemas kau pada perkamen/ pada perang tanpa requiem// (Puisi ”Lacrimosa”, hlm 59).
Alex Robert Nainggolan Bekerja sebagai anggota staf Unit Pengelola Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (UPPMPTSP) Kota Administrasi Jakarta Barat