Kisah Seorang Guru dan Anak-anak di Masa Perang
Perang selalu menghadirkan luka dan derita bagi siapa saja. Peperangan mengubah dunia menjadi neraka. Kemalangan dirasakan semua orang terutama anak-anak yang masa depannya terancam hilang seperti kisah dalam novel ini.

-
”Orang-orang hidup dan mati, mengorbankan semua hak mereka sebagai manusia. Entah mereka membuka mata lebar-lebar dengan penuh ketakutan, atau menyembunyikan air mata yang merembes dari sudut-sudut mata.”
Sakae Tsuboi
Perang selalu menghadirkan luka dan derita bagi siapa saja. Peperangan mengubah dunia menjadi neraka. Kemalangan dirasakan oleh semua orang terutama anak-anak yang masa depannya terancam hilang seperti kedua belas anak desa dalam novel Twenty Four Eyes (Dua Belas Pasang Mata).
Novel Dua Belas Pasang Mata pertama kali terbit di Jepang tahun 1952 dan langsung menjadi novel terlaris. Sakae Tsuboi melalui novel ini menuliskan perkembangan hubungan seorang guru muda dengan dua belas anak di sekolah desa selama masa perang.
Meskipun saat ini tidak lagi terjadi perang dunia yang menimbulkan kehancuran dan kekacauan di mana-mana, isu perdamaian ini tidak serta-merta dilupakan. Novel ini mengangkat masalah peperangan dan isu kemanusiaan. Isu seperti ini sewajarnya masih relevan sebagai pelajaran sepanjang zaman. Perdamaian adalah segalanya, sebab perang telah mencederai kemanusiaan.
Seperti yang dituliskan pada kata pembuka bahwa meskipun mengisahkan cerita yang menentang peperangan, novel ini sama sekali tidak getol menunjukkan paham pasifisme. Novel ini hanya menunjukkan rasa kemanusiaan yang tulus dan berfokus pada k hidupan anak-anak yang menjadi korban situasi konflik bersenjata.
Novel Dua Belas Pasang Mata ini berlatarkan peperangan di Jepang pada tahun 1928 sampai perang berakhir tahun 1946. Cerita dimulai dengan kedatangan ibu guru Oishi mengajar di Desa Tanjung. Miss Oishi adalah guru muda yang sangat cinta perdamaian dan kemanusiaan.
Kedatangan ibu guru Oishi semula tidak diterima baik oleh warga karena penampilannya yang dianggap terlalu modern.
Novel ini mengangkat masalah peperangan dan isu kemanusiaan. Isu seperti ini sewajarnya masih relevan sebagai pelajaran sepanjang zaman. Perdamaian adalah segalanya, sebab perang telah mencederai kemanusiaan.
Nasib anak-anak
Dua belas anak diceritakan memiliki nama lengkap, nama panggilan, dan kisah hidup yang berbeda-beda. Awalnya sulit mengingat nama semua tokoh anak, terlebih lagi dalam cerita sering disebut menggunakan nama panggilan. Untungnya di bagian awal novel dicantumkan daftar nama anak-anak dan keluarganya.
Novel dibuka dengan cerita kehidupan anak-anak Desa Tanjung yang masih normal. Alur cerita kemudian berjalan dengan menunjukkan perbedaan kontras kehidupan anak-anak sebelum perang dan saat perang semakin besar.
”...mereka tumbuh menjadi anak-anak cerdas dan periang. Mereka tidak tahu nasib yang akan menanti mereka di depan sana. Mereka sekadar bahagia bertumbuh semakin besar.” (hlm 102)
Anak-anak masih terlalu kecil untuk mengetahui perang dan keadaan yang serba sulit karena memang itu bukan tugas mereka. Kesulitan ekonomi akibat perang membuat anak perempuan harus berhenti sekolah untuk mengurus rumah atau dijual untuk bekerja di kota. Saat perang bergejolak, setiap laki-laki di setiap keluarga dipanggil untuk ikut bergabung dengan pasukan militer.
Anak laki-laki yang sudah cukup umur harus mengikuti wajib militer dan dikirim ke garda terdepan. Glorifikasi sebagai prajurit yang gugur di medan pertempuran memanipulasi keadaan demi pemenuhan sumber daya perang. Hal itu membuat anak-anak sukarela menjadi tentara, termasuk murid ibu guru Oishi.
”Mereka bahkan tidak mengerti bahwa hak mereka untuk mendapatkan informasi tentang hal-hal tersebut telah dirampas. Sebaliknya, atmosfer peperangan telah menyebar di sepenjuru negeri, begitu besar pengaruhnya pada mereka, sehingga anak-anak ini membayangkan diri mereka menjadi pahlawan-pahlawan pembela negara.” (hlm 159)

Miss Oishi yang sangat menjunjung tinggi kemanusiaan merasa berat hati sebab dirinya juga tak tahu isi hati kecil murid-muridnya, kemungkinan ada yang terpaksa. Satu hal yang jelas, mereka semua, terutama ibu guru Oishi tidak bisa melawan peraturan yang sudah ditetapkan.
”Masa-masa ini telah mengajar orang-orang untuk tunduk dan menurut, tutup mulut, tutup mata, dan menulikan telinga seperti monyet-monyet dalam pepatah lama.” (hlm 178)
Novel ini juga menunjukkan kehidupan anak-anak yang lahir saat serangan udara, tumbuh di tempat perlindungan, kesulitan makanan, pengobatan, dan kehilangan anggota keluarga. Saat perang berakhir, ibu guru Oishi telah kehilangan keluarga serta beberapa muridnya. Perang telah selesai, tetapi kesedihan tak pernah usai. Mereka yang pergi tidak bisa lagi kembali.
”Walaupun pemakaman untuk prajurit ini masih baru dan ditandai dengan jelas, pada masa ini orang-orang bahkan tidak mampu membuat batu-batu nisan untuk menghibur diri.” (hlm 229)
Dua Belas Pasang Mata menghadirkan kisah yang menyentuh dan mengharukan untuk dibaca. Orang-orang yang tidak bersalah dan anak-anak yang terpaksa berjuang melewati sulitnya masa perang.
Novel ini juga menunjukkan kehidupan anak-anak yang lahir saat serangan udara, tumbuh di tempat perlindungan, kesulitan makanan, pengobatan, dan kehilangan anggota keluarga.
Tokoh dalam novel ini sangat banyak sehingga ceritanya sangat padat dan cepat berpindah dari satu cerita ke cerita lainnya sehingga terasa seperti kejar-kejaran. Namun, Sakae Tsuboi berhasil meramu interaksi antara ibu guru Oishi dengan murid-muridnya yang manis, tragedi-tragedi memilukan, serta menyisipkan peristiwa historis dalam cerita fiksi.
Novel ini menunjukkan bahwa perang membuat sesuatu yang utuh menjadi tercerai-berai. Bahkan saat perang usai, segala yang hilang dan luka yang ditimbulkan tidak mudah untuk disembuhkan. Anak-anak seharusnya mendapatkan tempat untuk tumbuh dewasa dengan riang gembira. Hak, cita-cita, dan kehidupan anak-anak telah dirampas oleh ketidakmanusiawian perang.
Nur Aina Mahfud Mahasiswa program studi Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Airlangga
INFO BUKU
Judul Buku : Twenty Four Eyes/Dua Belas Pasang Mata
Penulis: Sakae Tsuboi
Alih bahasa: Tanti Lesmana
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit: Cetakan kedelapan, Maret 2022
Tebal buku: 244 halaman
ISBN: 978-602-065-172-9