Ramalan Nenek, Rumah Tragedi, dan Rahasia Tiga Dara
Novel ini tidak dapat sekadar dibaca sebagai cerita tentang perempuan dan keperempuanan, tapi tentang manusia dan keluarga. Rumah menjadi akar, pagar, sekaligus landasan pacu menjadikan manusia dirinya di kemudian hari.
Judul: Malam Seribu Jahanam
Penulis: Intan Paramaditha
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: Cetakan I, 2023
Tebal: 355 halaman
ISBN: 978602067144
Sejak 2005, Intan Paramaditha telah menjelma serupa jenama dalam semesta sastra Indonesia. Karya-karya fiksinya konsisten bertulang punggung keperempuanan, horor, dan segala sesuatu yang berada di antara keduanya. Hal senada kembali hadir pada novel keduanya: Malam Seribu Jahanam.
Novel ini bercerita tentang tiga bersaudari—tiga dara Mutiara, Maya, dan Annisa—yang hidupnya seolah tertambat pada ramalan sang Nenek sekaligus terus-menerus mendesakkan pertanyaan samar: apakah sang Nenek benar-benar ngerti sakdurunge winarah serupa Nostradamus ataukah justru para cuculah yang menjadikan ramalan itu sebagai kompas hidup, bersetia kepadanya, dan tanpa sadar mewujudkannya satu per satu.
Jalur ketiganya hilang-timbul dan bersentuhan di sana-sini hingga pada suatu titik satu di antaranya benar-benar bergerak liar melompat keluar pagar yang sejatinya tidak pernah benar-benar kokoh dengan meledakkan diri atas nama agama. Hal inilah yang kemudian membuat dua dara yang lain mencoba merunut kembali masa-masa yang mereka lewati untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan ”Di mana ia [Annisa] tertinggal?” (hlm 25).
Karya-karya fiksinya konsisten bertulang punggung keperempuanan, horor, dan segala sesuatu yang berada di antara keduanya.
Alur cerita
Penceritaan yang demikian menjadikan novel ini mirip cerita detektif: ada kematian yang menjadi pembuka, diikuti tokoh—yang dinyatakan sebagai aku dan jamak—menelusuri sengkarut masa lalu dan merekonstruksi kehidupan si bungsu yang selama itu dikenal sebagai sosok yang menyandang konotasi Bawang Putih, Cinderella, atau ”dara putih suci melati” lainnya dalam berbagai tradisi dongeng dunia.
Setiap menemui kata aku, pembaca mengidentifikasi diri sebagai tokoh, seperti halnya yang disampaikan salah satu dara, dalam pembacaan atas novel ini baik tokoh maupun pembaca adalah pengelana sekaligus arsiparis: melangkah maju-mundur menyusuri sejumlah jalur sekaligus mengumpulkan potongan-potongan informasi untuk dirangkai di akhir cerita, meski tak lantas harus memperoleh sebuah gambar utuh bersudut empat berbingkai lurus.
Kejamakan aku dalam novel ini dapat dikatakan berhasil karena mereka bertutur dengan gaya berbeda meskipun dengan ketukan hampir sama dan ada irisan di sana-sini yang tetap logis karena mereka bersaudari. Hal yang demikian berlangsung sepanjang dua pertiga cerita sampai metronom seolah berhenti sesaat untuk kemudian bergerak lagi. Hentian sesaat ini kemudian menjadikan cerita lebih kaya sekaligus menggeser yang tadinya periferal—yang bersembunyi di balik tirai dan tidak ikut bermain—menjadi pusat.
Dengan bab-bab pendek, cerita bergerak dari satu titik ke titik lainnya tanpa menjadikannya membingungkan atau melelahkan. Ada kejutan di sana-sini yang semestinya telah teraba oleh para pembaca yang menggemari cerita-cerita serupa sekaligus jeli mengumpulkan petunjuk yang tersebar bahkan sebelum cerita dimulai.
Bagaimana tidak, pada halaman-halaman pembuka tersebut telah muncul ”Untuk ibu dan nenek-nenekku” disusul petikan Al-Maidah, ”Lalu Allah mengirim burung gagak yang menggali tanah. Untuk memperlihatkan kepadanya. Bagaimana menyembunyikan mayat saudaranya” yang diakui atau tidak menjadi semacam lambaian awal tongkat dirigen yang menentukan bagaimana musik dibawakan—ada perempuan, tragedi, dan pelintiran cerita di sana-sini—serupa yang pernah hadir dalam Perempuan Buta Tanpa Ibu Jari, cerpen Intan yang juga bercerita ihwal tiga dara penuh darah. Nuansa ini semakin tegas dengan kehadiran sosok kuntilanak di rumah Nenek disertai narasi ”tanam paku” dan ”cabut paku” yang berkaitan dengan perempuan yang (terpaksa) patuh dan menolak patuh.
Tanda dan interteks
Berkaitan dengan itu pula, novel ini sarat tanda untuk dicatat dan dirangkai kemudian, sandungan pembacaan yang tidak dapat diabaikan begitu saja, menyenangkan sekaligus berpotensi menyesatkan, misal ulang-alik permainan bahasa dan citra dalam kalimat ”Demi Jannah ia ciptakan Jahanam” (hlm 5). Hal yang sekilas menyerupai oposisi biner ini secara implisit memperlihatkan bagaimana cerita bergerak di keserbaantaraan dan ketidakstabilan makna: tidak untuk membenarkan atau menyalahkan, tetapi mencari, menemukan, dan memahami. Sebuah ikhtiar mengurai kerumitan kehidupan perempuan akibat pilihan dan konsekuensi yang dimiliki dan ditimpakan kepada mereka sebagai dampak lanjutan menjadi bagian sebuah keluarga dan masyarakat, serupa Syahrazad—membangun labirin berlapis-lapis untuk bertahan hidup—yang sedang becermin tengah malam.
Hal yang sekilas menyerupai oposisi biner ini secara implisit memperlihatkan bagaimana cerita bergerak di keserbaantaraan dan ketidakstabilan makna: tidak untuk membenarkan atau menyalahkan, tetapi mencari, menemukan, dan memahami.
Lebih lanjut, pembaca yang mengakrabi karya-karya Intan akan dapat merasakan tautan cerita dalam novel ini dengan karya-karya terdahulunya: kumpulan cerpen Sihir Perempuan, khususnya cerpen Perempuan Buta Tanpa Ibu Jari dan Pintu Merah, novel Gentayangan khususnya bagian Mengunjungi Rumah Hantu dan Klub Solidaritas Suami Hilang—terkait penceritaan in medias res dan jargon ”seorang pencerita adalah juga seorang penghapus”—serta tentu saja sepatu merahnya yang ikonik.
Hal yang demikian berpotensi memicu kemenduaan dalam benak pembaca novel ini: antara menyesalkannya karena seolah sedang mengunyah kudapan yang sama berkali-kali disertai sebersit pertanyaan apakah salah satu dara—terlebih lagi dengan nama sandi Pengelana—adalah si kau dalam Gentayangan, atau menikmati ”napak tilas karya-karya Intan” sambil tetap merasakan kesegaran mozaik sebagai akibat hadirnya isu keberagamaan yang bahkan terasa supereksplisit akibat adanya kutipan ayat Al Quran sebagai pembuka sejumlah bab, diksi-diksi Islami di sana-sini, dan citra malam seribu bulan yang bergeser menjadi malam seribu jahanam.
Selain itu, ada satu bagian cerita yang tampaknya luput dari proses penyuntingan sehingga nama yang semestinya disamarkan mendadak muncul dan sangat berpotensi mengganggu bangun imajinasi pembaca yang sempat bersentuhan dengan realitas yang melatarbelakanginya.
Dari titik ini, dapat dipahami bahwa novel ini menghadirkan jalinan interteks—dongeng, mitos, puisi, lagu, dan fiksi lain—yang dinyatakan secara gamblang di dalam cerita. Bahkan, pada sejumlah bagian terasa sebagai meta akibat adanya komentar dan kesadaran tentang cerita yang sedang mereka jalani. Yang paling mencolok adalah ketika salah satu dara menguraikan secara singkat sejumlah tiga dara dalam dongeng dunia disertai penginsafan bahwa ada kemiripan antara dongeng-dongeng itu dan kehidupannya bersama kedua saudarinya.
Pada akhirnya, novel ini tidak dapat sekadar dibaca sebagai cerita tentang perempuan dan keperempuanan, tetapi tentang manusia dan keluarga. Rumah menjadi akar, pagar, sekaligus landasan pacu yang menjadikan manusia dirinya di kemudian hari.
BRAMANTIO, Penulis karya fiksi, puisi, dan telaah sastra, dan pengajar di Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia FIB Universitas Airlangga.