Penggerak (Buku) Jawa
Ben Anderson (2001) menjelaskan, arus sejarah dipengaruhi peredaran surat kabar dan buku. Tan Khoen Swie mengambil peran besar saat tanah jajahan tampak berubah akibat pendirian sekolah dan peningkatan hasrat keaksaraan.
Judul: Boekhandel Tan Khoen Swie: Agen Kebudayaan Jawa 1915-1963
Penulis: Dr Wisnu, M.Hum.
Penerbit: Elex Media Komputindo
Tahun terbit: Cetakan I, 2023
Tebal: 340 halaman
ISBN: 9786230047282
Pada awal abad XX, Wahidin Soedirohoesodo bergerak ke pelbagai alamat, bertemu para tokoh. Ia mengajak memajukan Jawa dengan pengumpulan dana agar kaum muda bisa bersekolah. Jawa bakal berubah apabila jumlah elite terpelajar bertambah.
Ia pun menulis mengajak orang-orang berpengetahuan melalui terbitan Retnodhoemilah. Ia memberi tulisan-tulisan mengandung ajakan kebangkitan, kebangunan, dan bergerak. Misi itu sedikit mewujud melalui pendirian Boedi Oetomo, 20 Mei 1908.
Wahidin Soedirohoesodo masih menginginkan Jawa bergerak dengan bacaan-bacaan. Sosok elok dan bijak itu menunggu jawaban-jawaban agar Jawa bergelimang buku. Orang-orang Jawa dibujuk membaca buku-buku masalah sains, sejarah, dan pertanian. Keinginan berlebihan apabila kita menengok awal abad XX. Industri perbukuan (percetakan dan penerbitan) digerakkan kaum Eropa dan peranakan Tionghoa. Kaum bumiputra pun turut, tetapi belum terlalu berpengaruh.
Jawaban datang dari Kediri. Tan Khoen Swie mendirikan toko buku, menjual beragam buku dan menjadi agen untuk buku-buku terbitan pemerintah kolonial. Wisnu, penulis buku ini, memberi deskripsi usaha menjadikan Jawa bergerak oleh toko dibuat Tan Khoen Swie: ”Buku-buku diletakkan di lemari-lemari telah diberi kode.” Buku-buku dirawat agar para pembeli bersukacita. Toko buku itu tanda seru atas kemunculan kaum pembaca berbahasa Jawa, Melayu, dan Belanda. Toko buku turut dalam ”kebangoenan” di Jawa, alamat bagi orang-orang menginginkan ”kemadjoean”. Peran itu makin menguat dengan pendirian penerbit Boekhandel Tan Khoen Swie, 1915.
Toko buku turut dalam ”kebangoenan” di Jawa, alamat bagi orang-orang menginginkan ”kemadjoean”. Peran itu makin menguat dengan pendirian penerbit Boekhandel Tan Khoen Swie, 1915.
Peran terbesar penerbit dan toko buku itu diakui kalangan sastra Jawa. Sejak awal, Tan Khoen Swie memiliki perhatian besar dengan terbitan buku-buku sastra Jawa meski menerbitkan pula buku-buku primbon, kebatinan, ramalan, dan pengobatan. Hubungan Tan Khoen Swie dengan para pengarang Jawa terjalin harmonis. Kita mengingat penerbitan Serat Rangsang Tuban gubahan Ki Padmasoesastra oleh Boekhandel Tan Khoen Swie pada 1922. Semula, buku diterbitkan oleh Boedi Oetomo (1912). Peran penting itu terbaca dalam buku berjudul Ikhtisar Perkembangan Sastra Jawa Modern (2001) susunan Sri Wdiati.
Tan Khoen Swie memiliki siasat jitu dalam membesarkan penerbit dan toko buku. Pada babak awal, ia mengajak tiga penulis kondang menerbitkan buku. Tiga penulis itu bernama M Ng Mangoenwidjaja, Ki Padmasoesastra, dan R Tanojo. Kita diajak mengerti hubungan saling menguntungkan.
Tan Khoen Swie adalah pebisnis peranakan Tionghoa, tetapi tertarik mengembangkan dan ”memperdagangkan” tulisan mengenai Jawa. Jalinan itu terbukti menghasilkan ketenaran dan laba. Wisnu menjelaskan bahwa buku-buku dari tiga pengarang kondang itu cepat beredar dan digemari oleh pembaca. Dalil penerbitan buku-buku di Tan Khoen Swie: laku dan laris.
Ben Anderson (2001) menjelaskan, arus sejarah dipengaruhi peredaran surat kabar dan buku. Di tanah jajahan, mesin cetak memberi ketakjuban atas deru modernitas dan pengenalan ide-ide ”kemadjoean”. Kita pun mengingat pertumbuhan nasionalisme. Tan Khoen Swie mengambil peran besar saat tanah jajahan tampak berubah akibat pendirian sekolah-sekolah dan peningkatan hasrat keaksaraan. Ia memang berada di jalan bisnis, tetapi memicu dampak-dampak besar bagi pemajuan kesusastraan, tak ketinggalan ”nasionalisme”.
Peran besar Tan Khoen Swie berlanjut setelah Indonesia merdeka. Pada masa 1950-an, penerbit dan toko buku itu tetap berpengaruh meski muncul penerbit-penerbit baru dan perubahan tata niaga perbukuan. Pembuatan iklan-iklan juga diperlukan demi pemasaran buku. Di majalah Terang Bulan edisi Januari 1954, kita melihat iklan sehalaman dari Tan Khoen Swie. Jenis-jenis buku dijual: babad, ilmu, cerita, kitab suci, primbon, dan lain-lain. Kita membaca keterangan: ”Diminta dengan hormat kepada para pemesan buku, djika pesan buku harus memberikan alamat jang terang, sedapat mungkin ditulis dengan huruf tjetak.” Dengan hal itu, kita menduga bisnis itu tetap laris.
Tan Khoen Swie mengambil peran besar saat tanah jajahan tampak berubah akibat pendirian sekolah-sekolah dan peningkatan hasrat keaksaraan. Ia memang berada di jalan bisnis, tetapi memicu dampak-dampak besar bagi pemajuan kesusastraan, tak ketinggalan ”nasionalisme”.
Sejak dulu, para pembaca mengetahui keistimewaan buku-buku dari Boekhandel Tan Khoen Swie. Buku-buku terbitan 1918-1953 di halaman kedua ”selalu menampilkan sosok atau foto Tan Khoen Swie dan tanda tangan”. Wisnu memberi tafsiran: (1) mematenkan setiap produk; (2) agar pembaca mudah mengenali produk; (3) pelabelan diri dan kualitas. Kini, buku-buku itu terus dicari kalangan kolektor di pasar buku bekas dan melacak di perpustakaan-perpustakaan lama. Mereka mengerti apabila (Boekhandel) Tan Khoen Swie tak sekadar berpengaruh dalam perbukuan. Bermula di Kediri, buku-buku itu beredar ke pelbagai kota. Sejak awal abad XX, buku-buku turut dalam beragam pemajuan, dari pendidikan sampai politik.
Kini, kita mengingat sambil mencari penggalan-penggalan cerita. Wisnu menilai, ”Tan Khoen Swie menyebarkan buku-buku Jawa di luar budayanya sendiri. Tindakan yang dilakukan merupakan di luar kebiasaan bagi kelompok etnis Tionghoa lainnya.” Pengakuan itu bisa dibandingkan dengan membaca buku berjudul Sastra Peranakan Tionghoa Indonesia (1996) dengan editor Leo Suryadinata. Sejak akhir abad XIX, kaum peranakan Tionghoa sudah bergerak di penulisan, penerbitan, dan perniagaan buku. Mereka memang condong menghadirkan buku-buku cerita (saduran, terjemahan, atau asli), tak terlalu berkepentingan secara lugas turut mengembangkan tema-tema Jawa seperti dilakukan Tan Khoen Swie. Begitu.
Baca juga : Polemik Ide Nasionalisme Jawa dan Hindia: Kawula Versus Aristokrat
Bandung Mawardi Penulis Bocah dan Sekolah (2023)