Rekonsiliasi Kultural, Jalan Penyelesaian Kasus 1965
Tragedi 1965/1966 tidak hanya menyisakan luka dan beban sejarah bagi anak bangsa, tetapi juga dendam sejarah. Namun, sekelompok perempuan eks tahanan politik mampu berdamai lewat kebudayaan.
Judul buku: Suara yang Kembali dan Dikembalikan: Kisah Eks Tapol Perempuan 1965 Pengarang: Amurwani Dwi L
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Tahun terbit: 2023
Jumlah halaman: xxiv + 408 halaman
ISBN: 978-623-346-865-7
Pada Rabu, 11 Januari 2023, Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa negara mengakui adanya pelanggaran hak asasi manusia berat masa lalu. Dari 12 peristiwa yang disebutkan oleh presiden, salahsatunya adalah tragedi 1965/1966. Meskipun peristiwa telah terjadi lebih dari lima puluh tahun lalu, masih menyisakan banyak persoalan.
Tahanan politik tragedi 1965/1966 adalah mereka yang dituduh terlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September (G30S). Para tahanan politik menjalani hukuman tanpa melalui persidangan. Mereka dijebloskan ke dalam penjara berdasarkan golongan keterlibatan dalam peristiwa G30S. Para tahanan politik benar-benar diasingkan dan dijauhkan dari keluarga, sahabat, dan masyarakat.
Pemerintah Orde Baru mendirikan semacam kamp konsentrasi untuk para tahanan G30S. Tahanan laki-laki dikirim ke Pulau Buru di Maluku, sedangkantahanan perempuan dikirim ke Plantungan di Kendal, Jawa Tengah.
Tahanan politik di Platungan banyak diisi oleh mereka yang pernah bergabung dalam organisasi Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia). Organisasi ini adalah underbow dari PKI yang oleh militer dituduh melakukan penyiksaan terhadap para jenderal pada peristiwa G30S. Tidak hanya para Gerwani saja, ada banyak perempuan yang bukan anggota Gerwani tetapi hanya ikut-ikutan saja juga ikut ditangkap.
Kehidupan para tahanan politik perempuan inilah yang diangkat oleh Amurwani Dwi L dalam buku berjudul Suara yang Kembali dan Dikembalikan: Kisah Eks Tapol Perempuan 1965 (PBK 2023). Publikasi ini merupakan disertasi Amurwani yang sejak lama memfokuskan penelitiannya terhadap sejarah tahanan politik perempuan 1965/1966.Amurwani mengajak para pembaca menelusuri memori para tahanan politik perempuanakan masa kelam yang dilalui untuk dapat dimaknai bersama.
Pembebasan
Hukuman penjara kepada tahanan politik 1965/1966 menyita perhatian publik, termasuk dunia internasional. Amnesty International dan Palang Merah Internasional mencatatnya sebagai bagian dari pelanggaran HAM di Indonesia. Bahkan, mereka melakukan peninjauan pada tahun 1977 dengan mendatangi kamp di Plantungan dan Buru.
Desakan dari dunia internasional menggerakkan pemerintah Orde Baru untuk melakukan pembebasan tahanan politik. Dekade akhir tahun 1970-an hingga dekade awal 1980-an, tahanan politik 1965/1966 di Plantungan, Buru, dan di seluruh Indonesia dibebaskan. Mereka yang hendak dibebaskan wajib dijemput oleh keluarganya masing-masing. Apabila keluarga tidak menjemput, tahanan politik ditampung terlebih dahulu.Sebelum dibebaskan, tentara juga membekali para tahanan politik dengan pemahaman agama dan Pancasila.
Meskipun para tahanan politik telah keluar dari penjara, mereka masih belum benar-benar dikatakan bebas. Eks tahanan politik diwajibkan tetap melapor ke kodim setempat dalam waktu yang sudah ditentukan. Pergerakan mereka pun diawasi oleh pihak keamanan.Bahkan, kartu tanda penduduk mereka dicap ”ET” yang artinya eks tapol untuk menandai bahwa mereka adalah mantan tahanan politik 1965/1966.
Diskriminasi juga dialami eks tahanan politik perempuan di tengah masyarakat. Mereka dipaksa oleh keadaan untuk beradaptasi, tetapi lingkungan belum siap untuk menerima. Bahkan, anak dari eks tahanan politik perempuan banyak yang tidak ingin berhubungan lagi dengan ibunya. Penyebabnya karena mereka tidak ingin dijauhi oleh masyarakat dan dianggap sebagai anak PKI.
Amurwani membedakan dua golongan mantan tahanan politik dalam hal proses adaptasi. Para tahanan politik ini terbagi dalam dua kelompok, yakni mereka yang ”kembali” diterima oleh masyarakat dan mereka yang ”dikembalikan” ke masyarakat.
Mereka yang ”kembali” diterima masyarakat adalah kelompok eks tahanan politik yang memiliki keinginan kuat dapat berbaur dan diterima dalam kehidupan umum masyarakat. Para eks tahanan politik ini telah memutus hubungan dengan masa lalunya yang dianggap dekat dengan PKI. Mereka tidak lagi mau bertemu dengan teman-teman semasa di penjara. Bahkan mereka mengganti nama dan memulai kehidupan yang baru.
Mereka yang ”dikembalikan” ke masyarakat adalah kelompok yang kondisinya dipaksakan untuk beradaptasi dengan lingkungannya. Kehidupan penjara membuat mereka terguncang secara psikologis sehingga menganggap dirinya tersingkirkan dan terkucil dari keluarga dan masyarakat. Sehingga, mereka lebih nyaman untuk membangun jaringan dengan sesama eks tahanan politik.
Rekonsiliasi kultural
Kelompok eks tahanan politik yang ”dikembalikan” ke masyarakat mulai membangun relasi dengan sesamanya. Mereka kemudian mulai berhubungan dengan aktivis pembela HAM seperti LBH Jakarta, Komnas HAM, dan Komnas Perempuan. Mereka merasa terdiskriminasi meskipun telah bebas dari penjara karena masih dicap sebagai komunis. Mereka kemudian melakukan aksi pembelaan dan menuntut pemerintah untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM.
Para eks tahanan politik juga membentuk jaringan untuk menjaga relasi para eks tahanan politik seperti Paguyuban Korban Orde Baru (Pakorba), Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965/1966, Forum Pendidikan dan Perjuangan Hak Asasi Manusia (Fopperham), dan lain sebagainyasebagai wadah untuk saling menguatkan sesama korban pelanggaran HAM.
Mereka berjuang bersama kelompok aktivis HAM menuntut pemerintah untuk mengakui adanya pelanggaran HAM sepanjang masa Orde Baru, serta mengembalikan nama baik para eks tahanan politik. Perjuangan membuahkan hasil dengan dibentuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) pada tahun 2005 di masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Namun, upaya perjuangan KKR harus berhenti di tengah jalan. Mahkamah Konstitusi membatalkan seluruh materi UU Nomor 27 Tahun 2004 tentang KKR karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Keadaan ini membuat para eks tahanan politik mengajukan class action dan menggugat kelima presiden mulai dari Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid. Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono. Namun, usaha ini pun gagal.
Perjuangan yang terus-menerus gagal mendorong para eks tahanan politik beralih strategi.Mereka kemudian menggunakan cara kultural untuk memperjuangkan hak-haknya. Narasi tandingan ini dikemas dengan cara yang menarik, yakni berkolaborasi dengan anak-anak muda melalui seni pertunjukan dan menonjolkan sisi kemanusiaan dan perempuan.
Maka, terbentuklah Wanodja Binangkit pada tahun 2005, Paduan Suara Dialita pada tahun 2011 dan Kiprah Perempuan (Kipper) pada tahun 2006. Dalam setiap pertunjukannya, kelompok-kelompok ini tidak hanya menyuguhkan hiburan, tetapi juga pesan tentang kemanusiaan. Sering kali tema atau lakon pertunjukan yang dianggap berhubungan erat dengan pengalaman mereka ketika ditangkap dan dipenjara.
Kelompok-kelompok ini ternyata menyita perhatian publik terutama anak-anak muda. Mereka berbondong-bondong hadir dalam setiap pertunjukan ibu-ibu eks tahanan politik 1965/1966. Melalui gerakan kultural ini, rekonsiliasi di antara masyarakat, terlebih kelompok anak muda, terjalin tanpa melibatkan pemerintah.
Amurwani menunjukkan bahwa perjuangan melawan ketidakadilan ternyata dapat ditempuh dengan berkesenian dan berkebudayaan. Karyanya bisa menjadi bahan rujukan para aktivis untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM lainnyasupaya sejarah yang gelap di Indonesia tidak lagi menjadi beban pada generasi selanjutnya. (DNG/LITBANG KOMPAS)