Mengapresiasi Keluasan dan Kedalaman Pencarian
Sebuah buku bunga rampai kumpulan artikel ataupun esai sering dan mudah jatuh dalam duplikasi, replikasi, dan kurang mendalam. Namun, buku ”festschrift” 65 tahun Karlina Supelli ini terbebas dari tiga kelemahan itu.
Judul Buku: Menemukan Allah dalam Sains dan Manusia : Kumpulan Esai untuk Karlina Supelli
Penulis: Liek Wilardjo, Franz Magnis-Suseno, dkk
Editor: H Dwi Kristanto I, Eko Anggun S
Penerbit: PT Kanisius dan STF Driyarkara
Tahun Terbit: Cetakan I, 2022
Tebal Buku: xxii+406 halaman
Hadiah terbaik, prestisius, dan menyenangkan bagi yang berulang tahun untuk seorang ilmuwan seperti Dr Karlina Supelli pasti bukan tas branded yang harganya ratusan juta rupiah. Juga bukan puja-puji tentang dirinya. Buku kumpulan esai yang ditulis khusus oleh sejumlah kolega di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, base camp sehari-harinya sebagai pengajar sejak 2003, tentu hadiah ulang tahun yang sangat mengharukan dan membahagiakan. Dia terharu. Naluri intelektual dan perasaan keibuan membuatnya menitikkan air mata kegembiraan dan keterharuan.
Buku ini sebuah kado ulang tahun yang mengesankan, festschrift—wilayah kajian dan pencarian yang dia geluti selama ini, sejak lulus Astronomi ITB tahun 1981 dan hijrah ke bidang filsafat khususnya filsafat ilmu dengan gelar doktor dari Jurusan Filsafat FIB UI tahun 1997; selain ilmuwan juga seorang pejuang kemanusiaan yang terjun dalam aktivisme kesetaraan jender dan gerakan Suara Ibu Peduli tahun 1998.
Terhimpun dari 13 esai, rencananya diluncurkan 13 Mei 2023, padahal hari-H ulang tahun ke-65 tercatat 15 Januari 2023 yang tidak ada ingar-bingar secuil pun; sebuah pembahasan di bawah payung besar sains dan agama. Kedalaman pembahasannya identik dengan kedalaman dan keluasan pencarian makna kehidupan sebagai astronom dan filsuf yang pernah ia katakan sebagaimana nalar itu tanpa batas sementara dalam batin manusia ada daya irasional yang berhasrat memenangkan pertarungan. ”It’s all bound to end in tears,” tulisnya (Agustus, 2010).
Seluruh esai identik, bahkan cermin pencarian makna kehidupan secara ilmiah dan kepedulian sang promovenda selama ini. Membacanya tidak cukup sambil lalu, diandaikan dengan keingintahuan yang besar, pembaca bisa memperoleh bahan ajar yang kental, memperkaya sejarah pemikiran filsafat, kosmologi dan asal-usul pemaknaan kebijaksanaan hidup, berikut potret kekerasan yang terus berlangsung termasuk carut-marut di Papua saat ini.
Hubungan sains dan agama
Dengan bahasa yang mudah dipahami pembaca umum dan pembahasan yang ketat, kendati ada beberapa kosa kata yang belum umum dipakai ataupun beberapa uraian yang mengandaikan pengetahuan sejarah filsafat, membaca 13 esai ini ibarat mengikuti kuliah dalam durasi yang singkat tetapi sarat informasi dan reflektif mendalam, tanpa harus berkerut kening. Persoalan atau bahan yang sulit—pun bagi pembaca yang tidak dibekali ilmu-ilmu eksakta maupun filsafat—tetap bisa mengerti, berkat intensitas, inklinasi, dan kedalaman ke-13 kontributor sekaligus peranan besar kedua editor. Ke-13 esai, meskipun diurutkan begitu saja, terbagi dalam beberapa bagian. Esai pertama dan esai ke-13 sebagai pembuka dan penutup, ibarat appetizer dan desert, sekaligus bingkai ke-11 esai lainnya. Ke-11 esai lainnya terbagi dalam dua subbagian. Yang pertama menjadi substansi buku, agama dan sains, terdiri atas tujuh esai, dan empat esai tentang kekerasan yang melekat erat dengan dunia manusia dan peristiwanya; dunia yang menjadi kepeduliaan dan keterlibatan promovenda sebagai aktivis kemanusiaan.
Esai pertama yang ditulis Liek Wilardjo berjudul ”Simbut” (sirah dan rambut)—nickname (paraban) Mustakaweni—menyampaikan kesan personal pada promovenda yang dia kagumi sebagai sesama ilmuwan. Ditutup dengan esai ke-13 yang ditulis Simon Petrus Lili Tjahjadi—wawancara antara pengajar filsafat ilmu dan pengajar filsafat manusia—tidak hanya mengulik sisi personal Karlina tetapi juga kedalaman, keluasan wilayah kajian dan kepedulian pencarian pada permasalahan konkret penistaan harkat kemanusiaan. Dua esai itu membingkai 11 esai di dalamnya dan menempatkan pribadi promovenda dalam panorama kajian filosofis berbagai persoalan kemanusiaan dengan payung besar upaya menemukan Allah dalam sains dan matematika.
Lima esai menyentuh langsung judul buku, baik dari sisi sejarah hubungan antara sains dan agama (dalam buku ini tidak tegas dibedakan antara iman dan agama) maupun solusi dialogis keduanya.
Tidak langsung menyebut secara personal nama Karlina, ke-11 esai menawarkan kajian bidang-bidang yang menjadi wilayah kajian ilmiah promovenda selama ini. Lima esai menyentuh langsung judul buku, baik dari sisi sejarah hubungan antara sains dan agama (dalam buku ini tidak tegas dibedakan antara iman dan agama) maupun solusi dialogis keduanya. Heribertus Dwi Kristanto menguraikan sejarah ”perseteruan” sains dan agama, menawarkan solusi bahwa keduanya saling melengkapi (hlm 54), bahwa dengan ikut ambil bagian dalam proses evolusi, proses creatio continua Allah, manusia makin bertumbuh sebagai citra Allah.
Ideologi tertutup antara agama dan sains, demikian Justinus Sudarminta mengakibatkan kesalahpahaman, padahal sesungguhnya (kasus Teori Evolusi) agama dan sains bisa saling memperkaya (hlm 85). Adrianus Sunarko mendeskripsi hubungan agama dan sains, mengembangkan pendapat Jurgen Habermas, bahwa seorang teolog atas dasar wahyu dapat berbicara mengenai iman di tengah penderitaan dan keprihatinan dunia (hlm 112). Menjelaskan sejarah pemikiran hubungan antara agama dan sains secara komprehensif, Franz Magnis-Suseno menasehati ”secara agak sederhana: dengan tidak bernalar orang tidak menjadi lebih suci” (hlm 131). Premana Wardayanti Premadi, astronom, berpendapat kekuatan kosmologi bisa membawa manusia merasakan keterbatasannya (hlm 164-165).
Dua esai lainnya tidak menyentuh langsung dispute antara agama dan sains-matematika, tetapi tetap bersentuhan dengan upaya dan refleksi manusia menemukan Allah dalam kehidupan konkret sehari-hari, dalam keprihatinan dan penderitaan, sekaligus menawarkan solusi. Thomas Hidya Tjaja yang menjabarkan pendapat Merleau-Ponty, bahwa kehidupan konkret manusia yang memuat realitas jauh lebih luas dan mendalam daripada apa yang diperlihatkan sains (hlm 181). Mengenai wacana yang pernah heboh tentang Atlantis, khususnya kasus Gunung Padang beberapa tahun lalu di Jawa Barat, Agustinus Setyo Wibowo menegaskan, kisah Atlantis adalah alegori politik, mitos Platon dengan merujuk pada sejenis sejarah dan diberi muatan politis serta filosofis (hlm 217); Platon menciptakan mitos Atlantis sebagai kritik tajam situasi politik di Athena waktu itu (hlm 234).
.
Empat esai lainnya membahas tema kekerasan dan perundungan martabat kemanusiaan yang juga menjadi kepedulian Karlina. Pertama, dengan membaca dan merefeksikan novel Leo Tolstoy, War and Peace, versi bahasa Inggris terbit 1979, Antonius Sudiarja mengingatkan, yang masih terjadi–pendapat Yuval Noah Harari tentang ”ramalan” perdamaian merupakan ”kemungkinan”—kasus invasi Rusia ke Ukrania sejak Februari 202 yang belum selesai sampai hari ini, berlaku pepatah Romawi, si vis pacem para bellum (Jika kamu mau damai, siapkan perang)–h 264-265.
Kedua, dari refleksi yang ditulisnya 25 tahun lalu ketika terlibat dalam Tim Relawan Kemanusiaan, menurut Alexius Andang Lystia Binawan, agama bisa memberikan pemahaman tentang HAM pada umat (hlm 291) dan menyampaikan the voice of voiceless (hlm 290).
Ketiga, ketika kekerasan dalam masyarakat Indonesia semakin dirasakan sebagai masalah sosial dan masalah hukum, menurut Francisia Sika Ery Seda, Gereja Katolik Indonesia bisa menjadi Gerakan Sosial Baru dan bisa lebih berani berperan advokatif (hlm 312).
Keempat, merujuk Achile Mbembe, filsuf Kamerun yang menganalisis carut-marut Afrika postkoloni, bukan pascakolonial sebab dianggapnya lebih pas menggambarkan kebrutalan dan kekacauan, Yohanes Budi Hernawan memotret dan berefleksi tentang Papua sebagai postkoloni. Dunia postkoloni Papua tetap memiliki koherensi dengan rezim kekerasan (hlm 356).
Sebuah buku bunga rampai kumpulan artikel ataupun esai sering dan mudah jatuh dalam duplikasi, replikasi, dan kurang mendalam. Namun, buku ini terbebas dari tiga kelemahan itu. Dengan membaca teliti setiap esainya disertai semangat terus belajar, niscaya pembaca memperoleh informasi dan analisis baru, pun yang tidak berlatar belakang disiplin kosmologi, filsafat atau teologi. Setiap esai saling melengkapi-komplementer, tetap setia sebagai festschrift bagi seorang astronom yang kemudian hijrah ke filsafat, ilmuwan yang memiliki keluasan dan kedalaman pencarian ilmiah sekaligus aktivis kemanusiaan.
Kedua editor yang menyusun 13 esai dalam tiga penggolongan dan dibingkai dua artikel tentang sosok Karlina Supelli sebagai ilmuwan dan aktivis, mempermudah pembaca mengikuti alur maksud utama buku.
Sulit memberikan catatan kritis sebab meskipun banyak kosakata yang masih asing bagi pembaca umum apalagi masuk KBBI—mungkin sudah lazim dalam kosakata disiplin ilmu terkait (contoh: awal-ketertalaan terperinci alam, hlm 379 atau ananta-infinite, hlm. 372). Pun ada beberapa kosakata teknis lain yang padanannya disertakan dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Festschrift ini perlu diapresiasi, sumbangan berharga bagi pencarian-penjelajahan masalah hubungan sains dan agama; dan tidak begitu saja saling mengandaikan.
ST SULARTO,wartawan senior