”Nyutrayu”, Menantang Bias Feminisme
Jika dibaca secara menyeluruh, akan tampak bahwa sebetulnya novel "Nyutrayu", karya Joko Gesang Santoso, menyajikan realitas sosial yang cukup pelik. Lalu, feminisme seperti apakah yang sebetulnya muncul dalam novel ini?
Judul Buku: Nyutrayu
Penulis: Joko Gesang Santoso
Penerbit: Pustaka Obor Indonesia
Tahun Terbit: Cetakan I, 2022
Tebal Buku: xi + 187 halaman
ISBN: 9786236421444
Tampaknya Joko Gesang Santoso hanyalah satu dari sedikit penulis pria yang berani mengangkat isu feminisme dalam karyanya. Feminisme memang masih gemar mengundang kontroversi. Dari kegagalpahaman hingga sikap menutup diri melahirkan sederet pemahaman yang sama sekali berbeda dengan makna sebenarnya.
Alih-alih bermain aman, Joko Gesang Santoso justru menyajikan feminisme dalam Nyutrayu secara ’nakal’. Pertama, ia menghadirkan tokoh-tokoh perempuan yang memiliki kebencian terhadap laki-laki. Kedua, lebih dari dua puluh representasi negatif tentang laki-laki muncul dalam cerita. Misalnya saja cabul, pemuja tubuh, gumpalan-gumpalan nafsu belaka, selalu ingin menguasai dunia dan perempuan, rakus, dan masih banyak lagi.
Ketiga, kisahnya berpusat pada perjalanan seorang perempuan yang membenci huruf—dialegorikan sebagai laki-laki, sementara bunyi adalah perempuan. Perjalanan itu membuat kebenciannya terhadap laki-laki yang tadinya hanya sekadar konsep (muncul melalui deskripsi narator berdasarkan sudut pandang tokoh utama perempuan, bukan pengalaman traumatis), menjadi utuh melalui pengalamannya sendiri dan tokoh perempuan lain yang mengalami trauma atas penindasan oleh kaum adam.
Gagasan itu dikemukakan dengan lugas, seolah sengaja dipropagandakan oleh pengarang. Bahkan, sering juga muncul dalam dialog antartokohnya. Tentu saja cara ‘nakal’ ini sangat berpotensi melahirkan bias. Fatal akibatnya jika pembaca secara mentah menganggap bahwa kebencian perempuan terhadap laki-laki merupakan gagasan utama dari novel ini.
Tampaknya Joko Gesang Santoso hanyalah satu dari sedikit penulis pria yang berani mengangkat isu feminisme dalam karyanya.
Namun, jika tidak buru-buru menyimpulkan, tentu pembaca akan segera tahu bahwa pengarang menghadirkan laki-laki dalam novel ini bukan dalam arti literer. Tertuang juga dalam blurb, penjelasan singkat isi buku, di bagian belakang sampul, bahwa yang dimaksud sebetulnya adalah narasi atas dunia yang lebih dominan untuk kepentingan laki-laki.
Menariknya lagi, pengarang konsisten dengan strategi ‘nakal’ itu. Ia melakukan ekspansi intensif terhadap alegori utama dalam novel ini, yang dapat dilihat melalui kutipan berikut:
”Huruf memerangkap bunyi.” (hlm 12).
”Ia tidak akan merelakan sesenti tubuhnya untuk para pemuja tubuh itu! Ia hanya akan menyanyi. Melawan huruf dan pemuja tubuh. Ia akan menyanyi dengan cara itu, dengan cara yang tidak laki-laki lakukan.” (hlm 16).
”Laki-laki adalah aksara. Adalah pula perintah-perintah.” (hlm 47).
”Bagi perempuan itu, dunia yang asli adalah dunia isyarat. Huruf dan kata itu buatan manusia yang disebut laki-laki! Huruf dan kata tidak orisinal, melainkan representasi dari hasrat laki-laki untuk menguasai dunia, termasuk menguasai perempuan dalam banyak hal.” (hlm 25).
”Huruf, kata, dan laki-laki ini miriplah dengan simulacrum, semacam siluet gelap yang penuh ketidakpastian. Alih-alih memberi informasi jelas mengenai sesuatu, ia justru mengubah segalanya, termasuk dunia menjadi kabur.” (hlm 94).
Jika dibaca secara menyeluruh, akan tampak bahwa sebetulnya Nyutrayu menyajikan realitas sosial yang cukup pelik. Lalu, feminisme seperti apakah yang sebetulnya muncul dalam novel ini?
Seperti yang dipaparkan oleh Intan Paramaditha, ”Feminisme adalah satu perspektif kritis terhadap struktur patriarki. Bagaimana patriarki itu berkelindan dengan struktur yang lain seperti kapitalisme, kolonialisme sebagai satu kuasa yang saling berkaitan strukturnya, di mana struktur semacam itulah yang paling banyak menyingkirkan perempuan dan minoritas jender lainnya...” (bit.ly/noiceparamaditha – 37:03).
Semua itu muncul dalam Nyutrayu sebagai kesatuan. Tertindasnya kaum perempuan yang menjadi tema sentral dalam novel ini, merupakan dampak dari struktur patriarki yang dominan. Kisah perempuan-perempuan bermata biru di awal bab, misalnya. Mereka adalah korban kekerasan (seksual, fisik, maupun psikologis) akibat struktur kolonialisme. Keturunan-keturunannya pun mengalami hal serupa, meski tampil dengan kekuatan-kekuatan yang ‘tidak biasa’. Mereka dianggap sebagai kutukan dari hawa nafsu para penjajah. Perlawanan mereka bahkan dipandang sebagai sebuah kekeliruan.
Ada pula perempuan-perempuan desa yang berpindah ke kota karena tuntutan ekonomi. Mereka terpaksa menerima berbagai jenis pekerjaan, termasuk menjual tubuh. Di situlah kapitalisme secara tidak langsung menindas perempuan-perempuan itu.
Novel Nyutrayu kaya akan konflik sosial yang merupakan cerminan masyarakat kita. Ada masalah-masalah lain yang muncul—dialami oleh perempuan, laki-laki, bahkan hewan sekalipun dalam keterkaitannya dengan politik, agama, dan sebagainya. Tak heran alur Nyutrayu mengalir cukup cepat. Mungkin itulah yang menjadi kelemahan novel ini. Pengarang fokus pada penyuguhan sekian banyak permasalahan sosial sehingga konstruksi formal lain di dalamnya seperti latar, alur, dan keragaman diksi menjadi tampak tidak terlalu penting. Misalnya saja, ada metafora dan kata yang dipakai berulang.
Pada akhirnya, pembacaan kritislah yang diharapkan dapat mendukung perkembangan kesusastraan kita. Bukan sekadar selera atau keberpihakan, melainkan keinginan untuk menuntut pemahaman yang lebih luas.
Bagaimanapun, pengarang tampaknya masih mempertimbangkan kemungkinan penerimaan karyanya ini oleh pembaca. Jadilah ia menegaskan pemisahan antara narator dan pengarang lewat perdebatan antara keduanya. Narator ingin bebas dan tak ingin dianggap sekadar pembawa pesan moral.
Di akhir cerita, narator hidup sebagai tokoh untuk memutarbalikkan akhir cerita versi pengarang. Latar belakang tokoh utama perempuan yang tak ingin disebut namanya sepanjang cerita dibuat tampak tidak begitu penting. Barulah di bagian akhir, narator menjelaskan bahwa tokoh perempuan itu sebetulnya hanyalah seorang yang mengalami gangguan kejiwaan. Narator seakan tak ingin bertanggung jawab atas apa pun yang akan dipercayai oleh pembaca.
Mungkin pula, sebagai seorang akademisi, yang sedang menempuh pendidikan doktoral di Program Studi Ilmu-ilmu Humaniora UGM, Joko Gesang Santoso ingin menggiring pembaca untuk lebih kritis dalam membaca sebuah karya agar tak melulu berfokus pada nilai moral. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Sapardi Djoko Damono dalam Sosiologi Sastra, yaitu bahwa novel merupakan sejenis laporan tentang realitas sosial dan suatu konstruksi formal yang harus ditilik tanpa mengesampingkan aktualitas historis, bukan sebatas menilik kenyataan sosial berdasarkan yang ada dalam karya itu sendiri (2022:172).
Pada akhirnya, pembacaan kritislah yang diharapkan dapat mendukung perkembangan kesusastraan kita. Bukan sekadar selera atau keberpihakan, melainkan keinginan untuk menuntut pemahaman yang lebih luas. Kiranya Nyutrayu dapat memberikan sumbangsih pada perkembangan susastra di Indonesia.
(NELLY TRISNAWATISarjana Sastra Inggris jurusan Linguistik Universitas Padjadjaran)