Toni Morrison, Logika Kekuasaan dan Gugatan Perempuan
Toni Morrison mengajak kita mengungkap maksud-maksud tersembunyi yang bisa tersemat dalam berbagai persoalan hak asasi manusia yang terjadi secara sama, tetapi terstruktur. Ia melakukan gugatan kritis atas kemapanan.
Judul Buku: Perempuan, Ras, dan Ingatan: Esai-esai Pilihan Vol 1 (Terjemahan dari The Source of Self-Regard: Selected Essays, Speeches, and Meditations)
Penulis: Toni Morrison
Penerjemah: Endah Raharjo
Penerbit: Pojok Cerpen dan Tanda Baca
Tahun Terbit: Cetakan I, 2022
Tebal Buku: xxii + 168 halaman
Toni Morrison (1931-2019) adalah penulis Afrika-Amerika penerima Penghargaan Pulitzer (1988) dan Nobel Sastra (1993). Selain menulis novel, cerita pendek, esai, drama, dan lain-lain, ia juga seorang feminis yang menyuarakan persoalan perbudakan, eksploitasi manusia, rasisme, dan hak-hak perempuan. Semua itu adalah contoh masalah kemanusiaan yang masih saja terjadi hingga kini.
Buku kumpulan esainya ini adalah catatan dari banyak peristiwa yang merangkum bermacam bahasan, mulai dari politik, isu jender dan feminisme, hingga dialektika logika kebudayaan kontemporer. Dari rasisme, perbudakan, etnisitas, hingga advokasi seni dan ”Abad Tontonan”. Meskipun setting masalahnya terjadi dalam konteks Amerika Serikat, argumen dan esensi logikanya mengajak kita menelusuri genealogi problem-problem kemanusiaan yang melampaui ruang waktu.
Seperti esai Perempuan, Ras, dan Ingatan, yang menjadi judul sampul buku ini, mengisahkan pada 1868 seorang perempuan kulit hitam menuntut Senat Amerika membayar tiga tahun gajinya. Tiga puluh tahun kemudian tuntutannya ini baru diputuskan atas sebuah ”perkara ketika uang, jenis kelamin, ras, dan kelas silang sengkarut begitu menyedihkan” (hlm 6). Ketidakadilan, praktik hegemoni, dan orang-orang yang menderita akibat kesewenangan dan kekejaman jadi contoh kasus yang diulasnya dengan kritis: ”bagaimana seorang perempuan dapat dilihat dan dihormati sebagai manusia tanpa menjadi warga negara yang mirip-lelaki atau didominasi lelaki” (hlm 7).
Ia mengajak kita mengungkap maksud-maksud tersembunyi yang bisa tersemat dalam berbagai persoalan hak asasi manusia yang terjadi secara samar, tetapi terstruktur.
Ia mengajak kita mengungkap maksud-maksud tersembunyi yang bisa tersemat dalam berbagai persoalan hak asasi manusia yang terjadi secara samar, tetapi terstruktur. Ia melakukan gugatan kritis atas kemapanan di semua bidang kehidupan, termasuk membongkar logika politik kekuasaan yang kerap menyembunyikan hal-hal yang entah karena dianggap tidak penting atau sengaja dilupakan.
Namun, meski terasa membakar seperti nyala api, apa yang disampaikannya tetap terasa menyentuh hati dan simpati atas kemanusiaan. Hal ini karena caranya membangun semesta tulisannya dengan menarik. Seperti dalam Harlem on My Mind, ia menyajikan peristiwa masa lalu yang terjadi padanya, pengalaman yang memiliki makna dan konteks untuk dibicarakan yang mampu mengajak pembaca terlibat dan merumuskan kontekstualisasinya.
Esai-esai dalam buku ini kaya akan lapisan-lapisan pengetahuan dari pengalaman, pemahaman, dan pemaknaan yang menyusun biografi hidup sebagai seorang wanita (baca: manusia) tentang apa yang telah terjadi dengan wawasan dan kesadaran hari ini.
Paham emansipatoris
Ia membicarakan peristiwa sosiokultural di berbagai belahan dunia dengan perspektif yang tajam dan kritis. Di sela-selanya, ia menyampaikan paham emansipatoris untuk membagi sudut pandang dalam melihat masa kini dan masa depan.
Seperti esai Saudara Tiri Cinderella yang mengantarkan kita pada semesta makna dongeng tersohor itu. Ketika orang-orang fokus pada tokoh Cinderella, Toni justru tertarik dengan sosok saudari tirinya. Konteks dunia nyata linear dengan fragmen dunia imaji, di mana para perempuan saling membenci, bermusuhan, dan saling menjatuhkan. ”Saya gusar terhadap kekerasan yang dilakukan perempuan kepada perempuan lain: kekerasan profesional, kekerasan persaingan, kekerasan emosional” (hlm 3). Pemikiran ini ditutup dengan pernyataan tegas, ”Hak-hak perempuan bukan hanya sesuatu konsep, suatu tujuan, melainkan juga suatu urusan pribadi. Ini bukan hanya tentang ’kita’, ini juga tentang Anda dan saya. Hanya kita berdua” (hlm 5).
Dalam kesadaran pembacaan dan pemaknaan seperti ini, ia menjadikan persoalan-persoalan yang menarik perhatiannya memiliki lanskap kemanusiaan yang aktual dan kontekstual sekaligus reflektif. Seperti dalam ”Tubuhbudak dan Tubuhhitam” atau ”Rasisme dan Fasisme”, nada diksi-diksinya gagah bertenaga, tajam mendedah, dan bulat merangkum suatu ide kebenaran.
Dengan demikian, tulisan-tulisan dalam buku ini sesungguhnya adalah sebuah bangunan logika, konstruksi psikologi, persepsi sosial, dan teori kebudayaan.
Ia membedah berbagai permasalahan sosial lalu menguraikannya dalam elemen-elemen penting yang fundamental untuk membangun konsepsi konstruktif atas bayangan ideal bagi peradaban, seperti dalam esai Pidato Nobel Sastra dan September Maut.
Dengan demikian, tulisan-tulisan dalam buku ini sesungguhnya adalah sebuah bangunan logika, konstruksi psikologi, persepsi sosial, dan teori kebudayaan. Pemikirannya tidak hanya menunjuk pada nilai-nilai universal yang intrinsik dan abadi, tetapi dalam konteksnya bisa dipahami sebagai sebuah praktek kebudayaan yang menunjuk pada seluruh peta relasi sosial.
Mengadopsi pemikiran Stuart Hall, buku ini menjadi salah satu praktik penting sebagai ruang pembacaan yang lebih kritis untuk memproduksi kebudayaan sebagai sebuah ”pengalaman berbagi”. Buku ini menjadi upaya penulis menemukan perangkat-perangkat ide dari suatu peristiwa untuk diteliti berbagai kemungkinan makna dan pemaknaannya dalam kehidupan.
Setiap esainya sesungguhnya adalah otobiografi pemikiran dan pilihan sikap penulisnya sebagai respons atas fenomena. Pemikirannya kepada masyarakat adalah sumbangannya bagi peradaban. Setelah membacanya, kita bisa bersepakat bahwa Toni dengan ekspresi literer dan sikap kritisnya adalah sosok inspiratif bagi kemajuan masyarakat yang lebih beradab.
Baca juga: Paus Fransiskus, dari Lampedusa Melintas Batas-batas
Sebagai sebuah hasil kerja penerjemahan yang kadang mengerutkan kening dan harus dicemati berulang, tetapi jika kita membacanya dengan penuh perhatian dan kesungguhan, ia akan bisa membawa kita tetap sanggup menjaga nyala api kesadaran sekaligus perenungan mendalam terkait berbagai masalah manusia dan bangsa dewasa ini.
OTI LESTARI, Peminat kajian sosial budaya, pegiat pemberdayaan masyarakat di Kelompok Tumbuh Sinema Rakyat Jakarta