Sekolah Sukma Bangsa didirikan bukan sekadar untuk membantu anak-anak Aceh korban konflik dan tsunami saja, melainkan didorong keinginan untuk mencetak generasi muda Aceh yang cerdas dan berakhlak mulia.
Oleh
ARIEF NURRACHMAN
Β·5 menit baca
UNDEFINED
Halaman muka buku berjudul Sukma Bangsa: Tak Sekadar Kisah di Ruang Ajar.
Judul: Sukma Bangsa: Tak Sekadar Kisah di Ruang Ajar Penulis: Fenty Effendy Penerbit: Penerbit Buku Kompas Tahun terbit: 2023 Jumlah halaman: xxii + 305 hlm ISBN: 978-623-346-722-3
Bencana tsunami 26 Desember 2004 yang meluluhlantakkan harta benda dan menewaskan hampir 500.000 nyawa mengetuk hati setiap insan. Mulai dari pribadi, lembaga pemerintah, institusi pendidikan, organisasi masyarakat, hingga perusahaan tergerak menggalang donasi bagi masyarakat Aceh. Salah satu perusahaan yang berpartisipasi membantu ialah Media Group. Ikatan batin yang kuat antara Chairman Media Group Surya Paloh dan Aceh yang merupakan tempat kelahirannya membuat dirinya berinisiatif cepat membantu. Melalui progam kemanusiaan Indonesia Menangis, digalang dana dan bantuan dari donatur.
Bantuan yang diberikan tersebut berlanjut hingga masa tanggap darurat berakhir awal Febuari 2005. Revitalisasi pendidikan menjadi sasarannya. Sebagian dana bantuan diarahkan untuk membangun kembali sejumlah institusi pendidikan di beberapa wilayah, sebagian lagi digunakan untuk membangun sekolah tingkat dasar dan menengah. Rencana dibangun di tiga tempat, yaitu Pidie, Bireuen, dan Lhokseumawe.
Namun, ternyata bukan perkara yang mudah membangun sekolah. Hal inilah yang dirasakan oleh Rara Lestari Moerdijat, Ketua Yayasan Sukma, yayasan yang dibentuk untuk misi membangun sekolah bagi anak Aceh. Rerie, begitu dirinya disapa, harus mencari model sekolah yang tepat serta menghubungi sejumlah pakar pedagogi. Salah satu referensinya ialah Profesor Komaruddin Hidayat. Beliau yang akhirnya mempertemukan Rerie dengan konseptor pendidikan seperti Ahmad Baidhowi dan Fuad Fachruddin serta pakar manajemen konflik Doktor Samsu Rizal Panggabean.
Pergulatan Rerie dengan para pakar tersebut menjadi bagian cerita dalam buku Sukma Bangsa: Tak Sekadar Kisah di Ruang Ajar. Sesuai judulnya, buku setebal 305 halaman ini menyibak bagaimana komponen-komponen dalam suatu institusi pendidikan mulai dari pendiri yayasan, administrator, guru, hingga murid berinteraksi satu sama lain sehingga melahirkan cerita inspiratif bagi pencinta dunia pendidikan.
Sekolah yang belajar
Merancang sistem pendidikan di Aceh di mana murid-muridnya merupakan korban tsunami dan juga korban kekerasan akibat konflik RI dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) selama 29 tahun menjadi fokus Profesor Komaruddin dan juga Baidhowi ketika diminta meramu cetak biru Sekolah Sukma Bangsa.
Keduanya berkeinginan menciptakan sistem pendidikan yang dapat mencetak generasi muda Aceh yang cerdas dan berakhlak. Hal ini sejalan dengan pesan Surya Paloh yang ingin generasi muda Aceh harus paham Al Quran serta bercakrawala luas. Baidhowi mengajukan konsep sekolah pembelajaran, di mana setiap komponen, baik murid maupun guru, sama-sama belajar. Di samping itu, mereka juga membentuk tim kecil yang menyerap aspirasi dari para tokoh masyarakat, ulama, cendekiawan, serta pejabat daerah di tiga kota, yaitu Pidie, Bireuen, dan Lhokseumawe.
Setelah rencana cetak biru disetujui jajaran pimpinan Media Group, yang pertama mereka lakukan adalah merekrut sumber daya kependidikan yang berkualitas serta memiliki rasa cinta kasih. Sebagaimana diketahui, anak-anak korban tsunami dan korban kekerasan akibat konflik memiliki masalah kejiwaan tersendiri. Bagi Komar dan Baidhowi, seorang guru diharapkan tidak saja kompeten dalam bidang ilmunya, tetapi juga memiliki kesabaran dan mengenali emosi muridnya.
Publikasi ini menceritakan, kendati sumber daya kependidikan yang berminat mencapai ratusan, yang sesuai kriteria jumlahnya masih sedikit. Komar dan Baidhowi membuka lowongan di sejumlah kota hingga Jakarta demi memenuhi kuota guru yang dibutuhkan.
Latar belakang dari setiap tenaga pengajar yang diterima secara singkat juga diceritakan dalam buku ini. Apa pun bidang keilmuannya, mereka selalu dibekali psikologi dan manajemen konflik demi menghadapi emosi anak didiknya.
Integritas guru
Terkait emosi para murid menjadi cerita-cerita selanjutnya dalam buku ini. Beberapa di antaranya tentang bagaimana murid mengalami trauma, seperti teriak-teriak, kesurupan, hingga berupaya kabur dari sekolah, merupakan cerita di antaranya. Membujuk, menghibur, dan menenangkan menjadi kerja-kerja yang paling banyak dilakukan di asrama.
Kesabaran dan cinta kasih para guru dalam memahami emosi muridnya sambil terus menanamkan disiplin pada mereka menjadi tantangan tersendiri. Bagi mereka, hal ini semacam ujian kesabaran menghadapi polah tingkah anak-anak. Pesan yang mereka pegang dari Profesor Komarudin adalah selalu membuat murid-murid nyaman sehingga nantinya mereka akan percaya dan pelajaran dapat diterima.
Kesabaran para guru di Sekolah Sukma Bangsa juga diuji dengan adanya tekanan dan intimidasi dari pihak luar yang curiga dan tidak senang dengan sistem pendidikan yang diterapkan. Intimidasi dan tekanan ini bukan hal baru yang terjadi di Aceh kala itu. Sejak proses pembangunan gedung pun kerap terjadi pungli, misalnya dalam proses pengiriman material bangunan. Setelah perjanjian damai Indonesia dan GAM ditandatangani di Helsinki, barulah situasi mulai kondusif.
Salah satu tekanan kepada guru yang diangkat dalam buku ini adalah ketika salah satu guru tidak meluluskan 11 murid yang ketahuan menyontek pada ujian nasional. Sikap tegas guru ini membuat sang guru tidak hanya harus berhadapan dengan orangtua murid, tetapi juga polisi, politisi, media, hingga rekan sejawat. Guru tersebut berpegang teguh pada nilai-nilai kejujuran dan aturan yang telah disepakati di sekolah bahwa siswa yang kedapatan menyontek akan dikeluarkan.
Drama demi drama yang diceritakan dalam buku ini menunjukkan integritas dari para guru patut dicontoh di samping kisah-kisah di mana murid menemukan kembali mimpi-mimpi mereka selepas menempuh pendidikan di Sekolah Sukma Bangsa. (LITBANG KOMPAS/AFN)
βSukma Bangsa adalah sebentuk keyakinan bahwa pendidikan adalah bagian dari proses menumbuhkan dan menumbuhkan karakter bangsa; tindakan heroik dalam bentuk paling otentikβ.