Warisan Buya Syafii Maarif untuk Indonesia
Pemikiran kritis Buya Syafii, terutama terkait isu keumatan, kemanusiaan, sosial-politik, dan kebinekaan menjadi warisannya bagi Indonesia.

Halaman muka buku Bulir-bulir Refleksi Seorang Mujahid
Judul : Bulir-Bulir Refleksi Seorang Mujahid
Editor: RBE Agung Nugroho
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Tahun terbit: 2023
Jumlah halaman: xxii + 210 halaman
ISBN: 978-623-346-714-8
Ahmad Syafii Maarif tidak hanya dikenal sebagai seorang cendekiawan, guru bangsa dengan kepribadian yang humanis, tetapi juga dikenal sebagai seorang sejarawan yang kritis. Sosok Buya menjadi teladan dalam kesederhanaan yang tampak dalam kesehariannya.
Buku ini juga bertujuan untuk merekam riwayat intelektualisme Buya Syafii yang selama ini berkembang di ruang publik. Pemikiran-pemikirannya tentang isu-isu keislaman, kemanusiaan, sosial-politik, kebinekaan menjadi warisan tak ternilai bagi Indonesia. Kepiawaian mengolah isu-isu keislaman dan kemodernan serta mengaitkannya dengan berbagai disiplin keilmuan mutakhir menjadi salah satu keunggulannya. Beliau mampu menjelaskan visi teosentris yang terselubung di balik ritual-formal seluruh agama. Dalam perspektif Buya, kajian keislaman tidak lagi terbatas pada persoalan normatif keagamaan, tetapi juga mengaitkannya dengan berbagai persoalan sosial kontemporer yang terjadi di tengah masyarakat modern.
Bulir-Bulir Refleksi Seorang Mujahid (Penerbit Buku Kompas, 2023) merupakan kumpulan tulisan Buya Syafii di harian Kompas. Publikasi tersebut memuat buah pikiran mendiang Buya Syafii merupakan hal yang harus terus digaungkan agar dapat tersampaikan kepada publik secara luas. Pemikirannya tentang keislaman, kebangsaan, kemanusiaan, keberagaman, hingga keadilan sosial menjadi warisan tak ternilai bagi bangsa Indonesia.
Sosoknya tecermin dalam setiap tulisannya. Sangat jelas Buya adalah pribadi yang selalu gelisah dengan permasalahan bangsa. Dalam kumpulan tulisan Buya di buku Bulir-bulir Refleksi Seorang Mujahid, Buya selalu memiliki diksi yang kuat. Sejumlah tulisan Buya yang telah dimuat dalam rentang sedekade (2011-2021) di harian Kompas, yakni 37 judul, dikumpulkan dalam publikasi tersebut. Kumpulan tulisan Buya di buku ini semacam sistem pengingat dini bahaya yang mengancam republik. Pilihan katanya indah, tetapi terus terang dan lugas.
Buya Syafii Maarif menulis karya-karya dalam publikasi ini saat sudah berusia senja. Namun, beliau masih merasakan keresahan yang begitu kuat. Menurut dia, Indonesia bukannya maju, namun tampak berjalan mundur. Karena itu, Indonesia mesti diselamatkan. Buya mengupas persoalan-persoalan mendasar bangsa dengan jitu, bersumber dari kepekaan beliau. Tak berhenti sampai di situ, Buya menawarkan solusi-solusi yang tak kalah mendasar.
Salah satu hal yang kuat dikumandangkan Buya Syafii adalah moralitas dan keadaban publik. Tingkah pongah para elite yang ”tuna visi dan misi” menjadi kekhawatiran Buya. Menurut dia, para politisi selama ini hanya mengedepankan kepentingan pragmatis, sembari dalam waktu yang bersamaan, abai terhadap hak-hak hidup masyarakat. Apalagi yang paling membuat geram tatkala sekelompok elite menggunakan isu-isu SARA demi memenuhi syahwat politiknya.
Beragama dan berpolitik
Kritik Buya terkait kedaulatan bangsa, beragama dakwah dan politik sama tajamnya. Menurut dia, dakwah harus mampu merangkul, sedangkan politik bersifat memikul. Suatu metafora agar dakwah tidak terlibat dalam politisasi serta mampu melintasi supaya dapat menyebarluaskan serta mewujudkan kehidupan beragama yang damai, harmonis, menyatukan dan mencerahkan umat manusia.
Beragama bukan menyebarkan kebencian, permusuhan, intoleransi, serta perpecahan, baik di tubuh pemeluk agama maupun bangsa. Buya bahkan prihatin apabila umat beragama, khususnya ulama, menjadi obyek politik sesaat. Menurut dia, politisi harus belajar menjadi negarawan yang lebih memikirkan kepentingan bangsa dan negara secara keseluruhan. Politisi seharusnya tidak hanya terpaku pada godaan kekuasaan yang menyebabkan seseorang kehilangan keseimbangan untuk berpikir jernih.
Sebuah partai yang berlagak suci jika suatu saat tersandung musibah moral, reaksi publik terhadapnya pasti akan sangat keras dan tidak mustahil brutal, yang dapat menyebabkan partai kehilangan wibawa dan kepercayaan. Namun, konstituen partai akan menjadi korban karena telah menaruh kepercayaan terhadap partai serta sosok pemimpin partai tersebut.
Refleksi sosial
Buya pun sangat menaruh perhatian pada berbagai isu sosial yang terjadi di tengah masyarakat seperti soal pendidikan, kemiskinan, bahaya narkoba, kondisi dokter di Indonesia yang sangat rentan saat pandemi Covid-10.
Artikel berjudul ”Berbagi Rezeki, Menabur Kebajikan” menunjukkan pentingnya kepedulian terhadap dunia pendidikan di Indonesia. Bantuan dari satu pengusaha saja sangat berarti bagi pendidikan di Indonesia. Keadilan akan terwujud jika penataan sumber daya manusian dilakukan oleh TI.
Sementara dalam dua artikel selanjutnya yang berjudul ”Pembunuh itu Bernama Nikotin” serta ”Jokowi dan Serbuan Nikotin”, Buya menunjukkan kekhawatiran aakan meningkatnya penggunaan rokok di anak-anak. Buya secara khusus mendorong Presiden Joko Widodo untuk mempertimbangkan harapan dari gerakan pembatasan pemakaian tembakau yang dipelopori oleh Kementerian Kesehatan.
Pada artikel lain berjudul ”Dokter Indonesia, Oh Nasibmu”, Buya menaruh perhatian besar terhadap para dokter yang menjadi korban Covid-19. Buya mengaitkan kondisi ini terhadap kelangkaan dokter di Indonesia. Puskesmas belum merata di Indonesia, padahal puskesmas merupakan ujung tombak terdepan yang dapat menjangkau rakyat di pelosok Nusantara. Buya mengaitkan dengan kasus korupsi di Indonesia. Beliau berandai-andai jika korupsi bisa dipangkas dan harta negara hasil garongan bisa dialokasikan untuk kepentingan masyarakat di pelosok, kesehatan di Indonesia akan jauh lebih baik.
Publikasi yang memuat tulisan-tulisan Buya Syafii ini menjadi energi baru dalam upaya melembagakan gagasan dan cita-cita sosial Buya Syafii, baik di ranah keislaman, kenegaraan, yang mengusung nilai-nilai keterbukaan, kesetaraan, dan kebinekaan yang dapat diwariskan kepada anak-anak bangsa. (Litbang Kompas/STI)