Strategi Pertahanan Rakyat Semesta Kunci Mempertahankan Kemerdekaan
Tahun 1945-1949 adalah masa krusial bangsa Indonesia mempertahankan kemerdekaannya. Pada masa inilah lahir ideologi revolusi yang menyatukan rakyat Indonesia melawan upaya rekolonialisasi.
Judul buku: Rakyat Indonesia: Bangkit! Bersatu! Bergerak! Sebagai ‘Kekuatan tak Terukur’ dalam Memenangkan Strategi Pertahanan Rakyat Semesta (1945-1949)
Pengarang: G. Ambar Wulan
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Tahun terbit: 2022
Jumlah halaman: xiv + 226 halaman
ISBN: 978-623-346-674-5
Sesaat setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia berada pada masa revolusi. Saat itu seluruh rakyat Indonesia berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari upaya Belanda yang kembali ingin menduduki Nusantara. Di sinilah kolaborasi antara rakyat dan pemerintah dalam semangat nasionalisme diuji di awal kelahiran Republik.
Apabila melihat peristiwa revolusi sudah banyak sejawaran yang menulis tema-tema baik dari sisi militer, politik, ekonomi, dan lain sebagainya. Sebut saja George McTurnan Kahin dalam bukunya Nasionalisme & Revolusi Indonesia, kemudian Benedict Anderson dalam bukunya Revoloesi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946. Kini buku-buku tersebut sudah menjadi buku babon dalam penelitian mengenai masa revolusi Indonesia.
Namun, buku yang ditulis oleh G. Ambar Wulan dengan judul Rakyat Indonesia: Bangkit! Bersatu! Bergerak! Sebagai ‘Kekuatan tak Terukur’ dalam Memenangkan Strategi Pertahanan Rakyat Semesta (1945-1949) ini menawarkan hasil penelitian yang lain terkait masa revolusi. Ambar Wulan yang dikenal sebagai sejarawan di bidang militer, membuka fakta-fakta baru tentang historiografi masa revolusi.
Titik berat dalam penelitiannya ini adalah sumber arsip yang digunakan oleh Ambar Wulan untuk membedah strategi pertahanan rakyat selama masa revolusi. Arsip yang digunakan oleh Ambar Wulan berasal dari arsip NEFIS periode 1945-1949. Inventaris arsip NEFIS tersebut berupa dokumen-dokumen asli dari pihak Indonesia yang dibawa ke Belanda, yang kemudian tersimpan di Nationaal Archief, Den Haag, Belanda.
Berdasarkan penelusuran arsip NEFIS oleh Ambar Wulan ditemukan adanya dinamika hubungan antara Kementerian Pertahanan, Markas Besar Tentara, dan rakyat dalam menghadapi serbuan tentara Belanda. Temuan-temuan inilah yang hendak dijelaskan oleh Ambar Wulan karena dinilai belum banyak disentuh oleh para peneliti sejarah.
Asal-usul perang gerilya
Ambar Wulan menilai keberhasilan Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan tidak dapat dilepaskan dari strategi pertahanan rakyat semesta. Arti kata semesta yang dimaksud adalah seluruh rakyat secara total tanpa memandang latar belakang. Oleh karena itu, kekuataan Indonesia saat itu adalah kerja sama antara militer dan rakyat yang dijiwai semangat antipenjajahan melawan kolonialisme.
Belanda yang datang saat itu dibekali persenjataan yang cukup modern, sedangkan Indonesia hanya bermodalkan senjata hasil rampasan dari Jepang dan peralatan perang seadanya. Kekuatan Belanda bertambah kuat karena Belanda membonceng Sekutu untuk menguasai kembali Indonesia setelah pada tahun 1942 dikuasai oleh Jepang.
Namun, serangan Belanda dalam Agresi Militer I tahun 1947 dan Agresi Militer II tahun 1948 justru membuat Belanda kerepotan. Meskipun pihak Indonesia tidak memiliki persenjataan yang seimbang dengan Belanda, lewat strategi pertahanan rakyat semesta mampu mendorong Belanda mundur dan gagal menduduki Indonesia.
Salah satu bentuk strategi pertahanan rakyat semesta ini adalah penerapan perang gerilya.Istilah perang gerilya sendiri lebih banyak dikenal ketika Jenderal Sudirman memimpin perang melawan Belanda di tahun 1948. Saat itu pasukan tentara dan rakyat Indonesia mampu bertahan di hutan-hutan yang menjadi pos gerilyawan sambil tetap berjuang melawan tentara Belanda.
Namun, kemunculan strategi perang gerilya sendiri ternyata telah berkembang sejak awal Republik berdiri. Pemikiran tentang perang gerilya sendiri tidak dapat dilepaskan dari peranan orang Indonesia yang dahulunya pernah mengenyam pendidikan militer masa Hindia Belanda. Mereka mempelajari teknis militer melalui buku-buku ilmu perang yang melahirkan kesadaran pentingnya pelibatan rakyat dalam bertempur melawan musuh.
Dalam buku ini setidaknya terdapat tiga tokoh yang berperan besar melahirkan pemikiran strategi gerilya. Dari kalangan militer muncul nama A.H. Nasution dan T.B. Simatupang yang keduanya merupakan alumni dari Koninklijk Militaire Academie (KMA) di Bandung. Keduanya giat melakukan diskusi ilmu perang dari buku-buku milik KMA bersama dengan para perwira militer sambil menyusun strategi yang cocok bagi pertahanan Indonesia.
A.H. Nasution yang juga kemudian dikenal sebagai konseptor melahirkan pemikiranperang gerilyaberdasarkan pengalamannya. Saat itu strategi linear yang diterapkan oleh Nasution dan pasukannya gagal dalam membendung pasukan Belanda sehingga mudah diterobos. Maka, Nasution mencoba untuk menghambat pasukan Belanda dengan strategi bumi hangus, serta mengungsikan pasukan, alat-alat perang, dan rakyat ke kantong-kantong pedalaman. Tujuannya untuk menegakkan Republik Indonesia secara de facto dalam arti militer dan sipil sebanyak mungkin di kantong-kantong gerilya.
Konsep ini juga sama dengan T.B. Simatupang yang menemukan ide wehrkreise atau daerah perlawanan. Pemikiran ini ditemukan oleh T.B. Simatupang dalam kajian militer Jerman. Menurut kajian dari T.B. Simatupang markas besar perlu merencanakan cara perjuangan yang berdasarkan pada kewilayahan daripada perlawanan frontal.
Tidak hanya dari militer saja, salah satu konseptor gerilya juga dicetuskan oleh kalangan sipil, yakni Tan Malaka dalam bukunya yang berjudul Gerpolek (Gerilya Politik Ekonomi) yang terbit pada 17 Mei 1948. Meskipun buku ini tidak berisikan tentang teknik perang, Tan Malaka menanamkan prinsip perang melawan Belanda yakni demi kemerdekaan Indonesia 100 persen.
Dinamika lapangan
Meskipun strategi perang gerilya dianggap mampu memberikan perlawanan kepada pasukan Belanda, pernah terjadi gesekan dalam mengimplementasikannya di lapangan.Penyebabnya adalah dinamika hubungan antara pemerintah, militer, dan rakyat menunjukkan adanya ketidakharmonisan. Hal ini muncul karena dualisme kepemimpinan antara Kementerian Pertahanan dan Markas Besar Tentara yang berdampak pada masalah pertahanan nasional.
Awal penyebabnya dilatarbelakangi oleh belum berpadunya organisasi tentara nasional di awal kemerdekaan Indonesia. Saat itu militer Indonesia ada yang sifatnya formal maupun Informal. Mereka yang tergabung dalam Barisan Keamanan Rakyat embrio dari Tentara Nasional Indonesia merupakan organisasi militer formal. Sementara organisasi militer yang sifatnya informal ada dalam bentuk kelaskaran.
Saat itu masih banyak ditemukan laskar-laskar atau kelompok sukarelawan militer di daerah-daerah. Bahkan, kelompok-kelompok ini berasal dari partai politik maupun kelompok masyarakat independen. Mereka dengan sukarela mau mengangkat senjata dan berdiri di barisan paling depan untuk melawan Belanda.
Kemunculan kelompok-kelompok ini tidak dapat dilepaskan juga dari pendudukan Jepang di tahun 1942-1945. Jepang yang berhaluan militer banyak melatih masyakat teknik berperang untuk menghadapi Perang Asia Timur Raya. Akibat semangat yang muncul di zaman, motivasi masyarakat di bidang militer cukup tinggi. Kondisi tersebut menjadi pekerjaan besar pemerintah saat itu memujudkan organisasi militer yang solid. Terlebih, adanya ancaman keamanan akibat keinginan Belanda hendak kembali menduduki Indonesia.
Namun, tidak berselang lama setelah terpilihnya Jenderal Sudirman sebagai Panglima Besar Angkatan Perang di tahun 1945, organisasi formal militer pun dirapikan. Jenderal Sudirman kemudian membawahi divisi AD, AL, dan AU, sedangkan bagian administrasi tiap angkatan berada di bawah Kementerian Pertahanan.
Di samping itu, Kementerian Pertahanan memiliki tentara sendiri, yakni brigade kelaskaran yang menjadi bagian dari TNI Bagian Masyakarat. Badan-badan kelaskaran dan kelompok independen dikumpulkan oleh Kementerian Pertahanan menjadi satu organisasi. Dalam membina hubungan dengan rakyat, Kementerian Pertahanan menerbitkan buku-buku tentang pedoman perjuangan dan pertahanan negara. Upaya ini dilakukan untuk menerangkan konsep mengenai politik, sosial, dan eknomi serta rakyat yang berperang memiliki pengetahuan yang sama dengan tentara.
Namun, persaingan masih terjadi antara TNI Bagian Masyarakat dan Markas Besar Tentara. Akibatnya, strategi pertahanan linear dapat dengan mudah diserang Belanda. Apalagi, saat itu tentara masih belum padu dengan rakyat di daerah dalam menggempur Belanda. Alhasil, beberapa pasukan dapat dengan mudah dikalahkan sehingga Belanda dapat menguasai beberapa kota-kota penting.
Pascakegagalan tersebut, strategi perang gerilya mulai diimplementasikan. Mereka yang memiliki kemampuan militer ditugaskan untuk maju ke medan perang. Sedangkan, sisanya melakukan blokade di bidang ekonomi dan politik. Upaya ini dilakukan demi membendung langkah Belanda yang tidak hanya berperang dengan mengangkat senjata, tetapi juga melakukan blokade ekonomi dan politik.
Kesamaan tujuan mendorong rakyat untuk setia berdiri di belakang pemerintah dan alat-alat pemerintah yakni tentara, polisi, dan jawatan lainnya. Rakyat dengan sukarela membantu pemerintah tanpa memandang golongan apa pun. Mereka menyadari bahwa mempertahankan kemerdekaan harus dilakukan lewat kerjasama antara rakyat dan militer. Di sinilah kekuatan dari bangsa Indonesia dalam menghadapi upaya rekolonialisme Belanda. (Litbang Kompas/DNG)