Menelusuri Riwayat Caping Kalo dari Kudus
Caping kalo merupakan kerajinan tangan berbahan baku bambu yang dibuat masyarakat Kudus. Awalnya berfungsi sebagai penutup kepala, kemudian naik kelas menjadi identitas kota.
Judul: Caping Kalo: Riwayat Penutup Kepala Perempuan di Kota Kretek
Penulis: Edy Supratno dkk
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Jumlah halaman: 224 halaman
ISBN: 978-623-346-704-9
Jika membicarakan Kota Kudus, maka ingatan kita langsung tertuju pada rokok kretek. Sejak era kolonial Belanda, Kudus terkenal sebagai sentra industri rokok kretek terbesar di Jawa Tengah, bahkan di Nusantara. Berdirinya puluhan pabrik rokok di kota tersebut hingga saat ini menandakan bahwa rokok kretek menjadi sebuah produk pengetahuan lokal yang secara turun-temurun terus dipelihara. Namun, jauh sebelum kretek terdapat satu warisan budaya dari Kudus yang kini keberadaanya mulai tergerus zaman, yaitu caping kalo.
Caping kalo merupakan penutup kepala perempuan yang biasanya menjadi satu bagian dengan busana adat Kudus. Keberadaannya sebagai ornamen busana adat menjadikan caping kalo hanya terbatas digunakan pada momen-momen seremonial, seperti peringatan hari jadi Kota Kudus, agenda pariwisata, atau dalam seni pertunjukan tari. Sementara di sisi lain, jumlah perajin caping kalo semakin berkurang.
Tidak mau kehilangan warisan budaya bernilai dari Kudus ini, salah satu perusahaan rokok kretek dari kota tersebut, yaitu Nojorono Kudus, berupaya menjaga kelestarian caping kalo dari kepunahan. Melalui program corporate social responsibility Yayasan Karya Bakti Nojorono (YKBN), diterbitkan buku berjudul Caping Kalo: Riwayat Penutup Kepala Perempuan di Kota Kretek (Penerbit Buku Kompas, 2022). Buku setebal 224 halaman tersebut menelisik kembali sejarah caping kalo melalui serangkaian penelitian sumber-sumber primer, seperti dokumen, catatan arsip para gubernur jenderal Hindia Belanda, dan karya ilmiah dari sejumlah perguruan tinggi.
Tercatat dalam dokumen di Belanda
Salah satu dokumen penting yang mencatat caping kalo adalah katalog produk kebudayaan di Hindia Belanda terbitan 1877. Katalog ini disusun oleh lembaga seni dan sains bernama Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschaapen yang didirikan oleh JCM Radermacher. Caping yang ditulis dalam bahasa Belanda hoof-deksel ini dimasukkan dalam kategori pakaian Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ketika itu misi untuk pencarian benda-benda penting di Jawa menjadi bagian dari kebijakan pemerintah kolonial Belanda, khususnya di masa pemerintahan Gubernur Jenderal Godert Alexander Gerard Philiph Baron van der Capellen (1833-1836).
Dokumen tersebut juga memuat catatan dari Bupati Kudus Ario Condronegoro yang dituangkan dalam Aanteekeningen op Het Erste Dee van Java, Geographisch, Ethnologisch, Historisch (1881). Dalam dokumen itu dijelaskan bahwa caping menjadi penutup kepala bagi orang kelas menengah bawah, khususnya para petani yang bekerja di sawah atau kebun. Sementara orang Jawa kelas menengah ke atas menggunakan tudung kepala. Kondisi tersebut menunjukkan, caping menjadi simbol yang melekat pada kelompok masyarakat dengan status sosial kelas bawah.
Sebuah dokumen lain juga menguatkan kekhasan caping kalo pada awal abad ke-20. Johan Ernst Jasper bersama RM Pirngadie memberikan gambaran lebih jelas mengenai bentuk caping kalo dalam bukunya yang berjudul De Inlandsch Kunstnijverheid in the Dutch East Indies Part 1 (1912). Buku tersebut menjelaskan bahwa caping kalo adalah caping untuk perempuan. Sebelumnya, caping kalo dikenal sebagai topi keranjang kerena bentuknya cembung dan di bagian atas diberi daun aren, daun jagung, atau daun lontar. Kini, caping kalo berubah bentuk menjadi bundar pipih.
Jika dibandingkan dengan variasi bentuk topi caping yang tersebar di wilayah Asia, caping kalo memang cukup unik dan berbeda bentuknya. Tiap negara mempunyai penyebutan sendiri. Misalnya di China, caping dikenal dengan sebutan douli. Di Jepang dikenal dengan nama kasa. Di Korea dikenal dengan nama satgat. Di India japi serta di Vietnam non la.
Fungsi meluas
Umumnya penggunaan caping kalo diperuntukkan bagi kegiatan pertanian agar para petani tetap terlindungi dari sengatan sinar matahari. Bahan baku dalam pembuatan topi caping juga diambil dari lingkungan terdekat, seperti bambu, jerami, daun kelapa, dan daun pandan. Faktor kemudahan dalam mencari bahan baku tersebut membuat harga produksi lebih ekonomis dan akhirnya banyak digunakan oleh masyarakat kelas bawah, yaitu petani.
Pembukaan area perkebunan era tanam paksa membuat kebutuhan topi meningkat. Caping yang awalnya merupakan kebutuhan pribadi kemudian berkembang menjadi produk kerajinan dan diperjualbelikan. Topi bambu buatan Tangerang bahkan tercatat telah diekspor ke Eropa pada tahun 1887. Kala itu wilayah di Tanggerang, yaitu Tigaraksa, Balaraja, dan Tenjo, adalah sentra produksinya.
Selain untuk kegiatan pertanian, catatan Belanda juga menunjukkan bahwa fungsi caping menjadi sebuah identitas di salah satu lembaga pemerintah. Sebuah buku yang terbit pada 1908 menceritakan, caping menjadi pelengkap kostum dan lencana resmi untuk personel Eropa dan bumiputra di dinas kehutanan. Di sinilah mulai terjadi perubahan fungsi dari sekadar penutup kepala menjadi simbol identitas.
Peralihan caping kalo sebagai simbol identitas ini terus berlajut setelah Indonesia merdeka. Dari serangkaian wawancara langsung kepada narasumber yang bersinggungan dengan busana adat Kudus didapatkan informasi bahwa penggunaan busana adat Kudus lengkap dengan caping kalo telah diperkenalkan di lingkungan pemda Kudus.
Peresmian Museum Kretek pada 3 Oktober 1986 menjadi momentum pengenalan caping kalo secara massal sebagai bagian dari busana adat Kudus. Pada acara peresmian tersebut, caping kalo dikreasikan dalam sebuah tarian oleh seniman bernama Endang Tonny dari Sangar Tari Puringsari. Tarian yang dinamakan tarian Kretek atau disebut juga tari Bathil itu sukses membawa caping kalo ke tingkat lebih jauh lagi, yaitu seni pertunjukan.
Perkembangan topi caping kalo dari masa ke masa yang dipaparkan dalam buku ini semestinya bisa menjadi pelecut bagi para perajin topi caping kalo untuk terus memproduksinya. Walaupun dari penelusuran yang dilakukan di sentra produksi caping di Desa Gulang dan Desa Jepang didapati fakta bahwa jumlah perajin caping kian berkurang karena pesanan yang tak pasti dan rumitnya proses pembuatan, diharapkan mereka tidak lantas menyerah begitu saja. Pengakuan masyarakat luas terhadap caping kalo sebagai bagian dari busana adat Kudus merupakan warisan budaya yang wajib dijaga oleh generasi selanjutnya. (LITBANG KOMPAS)