Manajemen konflik versi Ngada yang ditawarkan buku ini adalah sumbangan bagi Indonesia dalam penyelesaian kasus per kasus, berskala daerah, sederhana dan relatif tidak rumit.
Oleh
ST SULARTO
·5 menit baca
DIDIE SW
Ilustrasi
Jika perdamaian diupayakan dengan adagium si vis pacem para bellum (jika engkau ingin perdamaian siapkan perang) bukan si vis pacem para iustitiam (jika engkau ingin perdamaian siapkan keadilan) atau sistem dan praksis kekuasaan yang represif seperti dalam era Soeharto, perdamaian yang tercipta hanya semu. Di permukaan tidak terjadi konflik dan gejolak, seolah-olah tenang damai, sementara di bawah permukaan tersimpan bara api yang sewaktu-waktu membakar.
Pendekatan represif demikian, menurut sosiolog Johan Galtung, adalah perdamaian negatif karena hanya menegasikan (nggiwar) konflik. Dengan mendasarkan salah satu teori manajemen konflik, pemikiran Vanessa Vassallo dari Irlandia, penulis buku menawarkan cara pendekatan baru dalam bahasa dan versi Indonesia. Bahwa budaya menjadi penentu dalam penyelesaian konflik (hlm. xi) yang lantas dia kembangkan dalam konteks Ngada, NTT, dengan kontribusi positif dari agama (Katolik) yang dianut 92 persen dari seluruh penduduk Kabupaten Ngada yang terdiri atas 12 kecamatan, sebesar 74.731 jiwa (data 2014, hlm 103) itu. Nilai-nilai budaya Ngada dan keagamaan merupakan modal sosial untuk penyelesaian konflik (hlm 80-81).
Ketika konflik diatasi dengan resolusi dan sesudahnya kurang dirawat, urusan penyelesaian konflik sekadar memadamkan api dan bukan proses pembelajaran.
Manajemen konflik, berbeda dengan resolusi konflik. Manajemen konflik mengandaikan proses, sedangkan resolusi konflik sekadar menyelesaikan konflik. Ketika konflik diatasi dengan resolusi dan sesudahnya kurang dirawat, urusan penyelesaian konflik sekadar memadamkan api dan bukan proses pembelajaran. Konflik memang ada di setiap masyarakat, suku, bangsa—isu yang pernah ditulis penulis buku ini, didasarkan atas pendapat Eric Weil (bdk Filsafat Perdamaian Eric Weil dalam Konteks Pertahanan Negara, PBK: 2020). Karena konflik merupakan bagian dari proses perdamaian yang hakiki, penyelesaiannya tidak sekadar resolutif (memadamkan api), tetapi sebagai bagian integral sosial budaya masyarakat.
Dengan pendekatan budaya, dalam buku ini kasus budaya Ngada, Flores, NTT, Romo Rofinus Neto Wuli—penulisnya—menawarkan salah satu kekayaan budaya integral antara kehidupan sosial budaya masyarakat Ngada dengan agama. Dengan membabarkan budaya etnik Ngada—Romo Roni asli Ngada—ia tunjukkan titik-titik temu yang produktif antara agama yang dipeluk masyarakat dan budaya yang dihidupi. Tidak terjebak dalam jabaran nilai-nilai kekristenan apalagi teologi, eksistensi agama terbatas ditekankan sebagai sarana atau modal sosial utama mencapai perdamaian. Sementara masyarakat Ngada sendiri memiliki konsep-konsep penyelesaian konflik dengan sejumlah sebutan seperti ine le mogo ema le utu (kita mempunyai satu ibu dan satu bapak), dekalog (10 prinsip pedoman hidup), dan babho (budaya perundingan damai).
KOMPAS/PRIYOMBODO
Warga kampung adat Bena bergotong royong memasang atap rumah suku Kopa di Desa Tiworiwu, Kecamatan Jerebu'u, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur, Senin (5/8/2019). Upacara pasang atap rumah dalam bahasa setempat disebut Wae Sao. Upacara diawali dengan tarian Ja'i oleh tuan rumah dan dilanjutkan dengan pemasangan atap. Upacara tersebut diwarnai dengan makan bersama oleh seluruh warga kampung adat.
Dengan manajemen konflik, tidak dengan sendirinya konflik hilang dalam masyarakat Ngada. Konflik terus terjadi, tetapi dengan beberapa contoh penghayatan budaya Ngada dan agama, disampaikan contoh-contoh konket. Pada tahun 2002 misalnya, terjadi perseteruan dengan kekerasan antara dua kampung yang berdampingan: Kampung Ije dan Kampung Ngusumana—keduanya dalam Kecamatan Bajawa Utara. Konflik dipicu perebutan tapal batal dan areal pertanian/perkebunan (hlm 92). (Sementara memang di kawasan NTT di antaranya Sumba, persoalan tapal batas umumnya menjadi pemicu konflik antarwarga, keluarga, dan masyarakat). Dalam kasus Kampung Ngusumana itu, dengan acara keagamaan (perayaan Ekaristi) dan pesta adat, bertemulah kearifan lokal papa modhe (hidup bersama secara damai) dan nilai-nilai cinta keagamaan. Warga kedua kampung sesudahnya terus hidup harmonis (hlm 93).
Sumbangan untuk Indonesia
Pluralisme Indonesia adalah karunia bagi bangsa dan negara Indonesia dengan Pancasila sebagai batu penjuru dan dasar negara yang mempersatukan, tetapi mudah menyulutkan perpecahan. Kasus-kasus konflik yang muncul dalam era pasca-Orde Baru semakin beragam, rumit, dan bertali-temali. Tidak lagi hanya dipicu persoalan hubungan keluarga dan kehidupan bersama yang menyangkut tapal batas, tetapi masalah keagamaan, politik dan hak-hak asasi yang selama 32 tahun terendap. Kasus Aceh, Ambon, Kalimantan, dan Sulawesi Tengah sampai sekarang terus terjadi di Papua, sekadar beberapa contoh menunjukkan kompleksitas masalah konflik di Indonesia. Bungkus ketidakadilan mudah dipakai sebagai pemicu munculnya berbagai kepentingan lain seperti agama dan politik.
Sebagian kasus berskala nasional itu bertahun-tahun memakan korban, harta dan tergerusnya kehidupan bersama. Ada yang terselesaikan dengan pendekatan mirip konsep budaya Ngada dengan pemerintah, pemimpin agama dan tokoh masyarakat sebagai mediator. Rumitnya persoalan dan terus berlarutnya konflik mengakibatkan penyelesaian resolusif, jauh dari konsep manajeman konflik seperti ditawarkan Vanessa Vassallo, Galtung atau Eric Weil.
Pluralisme Indonesia adalah karunia bagi bangsa dan negara Indonesia dengan Pancasila sebagai batu penjuru dan dasar negara yang mempersatukan, tetapi mudah menyulutkan perpecahan.
Manajemen konflik versi Ngada yang ditawarkan buku ini adalah sumbangan bagi Indonesia dalam penyelesaian kasus per kasus, berskala daerah, sederhana dan relatif tidak rumit. Sebaliknya kasus-kasus konflik di sejumlah tempat yang berskala nasional tidak bisa diselesaikan dengan pendekatan budaya, kearifan lokal, dan agama sehingga berlarut-larut. Pun kalau seolah-olah terselesaikan, selain meninggalkan luka di antara yang berkonflik juga meninggalkan kerenggangan hubungan kekerabatan, budaya, politik, maupun antaragama.
Tiga tahap yang ditawarkan Ngada dalam manajemen konflik meliputi mengakui kesalahan, pengampunan, dan damai (hlm 132). Tiga tahap yang mencerminkan bertemunya kearifan lokal dan nilai-nilai agama yang dianut sebagian besar penduduk, tetap memerlukan proses bertahun-tahun. Jika terpaksa, konsep memadamkan api konflik dengan adagium si vis para bellum haruslah menjadi pilihan terakhir. Sifatnya resolusif sebab hanya akan berlangsung sebentar dan sewaktu-waktu konflik bisa meletup kembali oleh pemicu sederhana. Belum lagi suasana ketegangan yang tercipta sesudahnya. Seharusnya manajemen konflik adalah kelanjutan penyelesaian resolusi konflik.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Warga kampung adat Bena bergotong royong memasang atap rumah suku Kopa dengan latar belakang Gunung Inerie di Desa Tiworiwu, Kecamatan Jerebu'u, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur, Senin (5/8/2019).
Idealnya memang konsep manajemen konflik yang ditawarkan Ngada mempermudah terjadinya perdamaian. Tetapi dengan kondisi kemajemukan Indonesia dan tingkat kerumitan penyebab konflik, konsep ini membutuhkan langkah-langkah penunjang. Taruh contoh, konflik yang terjadi di daerah-daerah di Indonesia yang semula berskala daerah lantas berskala nasional perlu dibarengi upaya-upaya lain, seperti mengembangkan keadilan, penghargaan martabat manusia, dan proses hukum. Pada akhirnya terpaksa dilakukan, ketika bertahun-tahun konflik tidak terselesaikan atau terselesaikan di permukaan, kearifan dikembangkan ”kita bisa melupakan tetapi tidak bisa melupakan”.
Dalam praksis manajemen konflik lebih luas, lebih rumit dan tali-temali, tawaran manajemen konflik dengan budaya Ngada, tetaplah sumbangan bagi Indonesia yang rentan konflik, sisi lain dari kemajukan Indonesia. Dia ibarat mutiara kearifan lokal masyarakat/budaya Ngada sebagai rujukan manajemen konflik dan bukan resolusi konflik.
St Sularto, Wartawan Kompas 1977-2017
YOHANES KRISNAWAN
Sampul buku Manajemen Konflik (PBK, 2022)
Judul buku: Manajemen Konflik Berbasis Budaya. Dari Ngada untuk Indonesia