Goenawan Mohammad: Ada Kerancuan dalam Pemberian Penghargaan kepada Penulis
Pendidikan sastra di sekolah sekarang ini menyedihkan. Pendidikan seharusnya dimulai dari gemar sastra, seperti Pak Tino Sidin mengajar gemar menggambar.
Oleh
Nawa Tunggal
·4 menit baca
JAKARTA, Kompas--Satrawan Goenawan Mohammad mengatakan selama ini ada kerancuan dalam pemberian penghargaan kepada penulis. Penghargaan sastra, katanya, tidak memiliki ukuran yang jelas. Banyak penghargaan diberikan karena melihat figur penulis, bukan terhadap mutu karyanya.
“Seorang sastrawan tidak selamanya menulis sastra yang baik. Seperti yang diumumkan setiap penerima penghargaan Nobel itu, nama sastrawannya, bukan karya sastranya, di situ ada kerancuan,” ujar Goenawan Mohamad dalam Sarasehan Daring (Sadaring) Satupena bertemakan, “Penulis, Penghargaan, dan Marwahnya”, Minggu (22/8/2021). Sadaring diikuti oleh ratusan paenulis dari berbagai penjuru Indonesia.
Goenawan tampil sebagai narasumber bersama Linda Christanty. Dalam sadaring yang dimoderatori oleh Debra H Yatim dan Gegera Riyanto itu, tampil pula penulis Dewi "Dee" Lestari sebagai pengantar diskusi. Satupena merupakan asosiasi penulis yang belum lama ini membentuk susunan presidium dan program baru, termasiuk sadaring yang kini memasuki penyelenggaraan untuk kedua kalinya.
Goenawan menekankan, sebetulnya penghargaan kepada penulis atau penghargaan sastra bukanlah sesuatu hal yang penting atau utama. Ada berbagai hal yang membuat penghargaan menimbulkan kontroversi dan polemik tidak produktif.
“Sebaiknya, penghargaan terhadap penulis dilihat sebagai undangan untuk melakukan pembahasan atau diskursus lebih dalam tentang karya penulis tersebut,” ujar Goenawan Mohammad yang akrab disapa GM itu.
Sebelum GM memaparkan gagasannya, Dewi Lestari, yang akrab disapa Dee, memberi pengantar senada. Dewi melihat penghargaan bagi penulis sastra bisa diibaratkan sebagai dessert atau makanan penutup.
Tentu makanan penutup itu hanyalah pelengkap bagi makanan utama yang dihidangkan sebelumnya. Makanan utama itu tidak lain adalah karya penulis.
Penyair Dyah Merta sempat membacakan puisi sebelum perbincangan dimulai. Ia membacakan puisi tentang seorang ibu yang kesulitan memberikan susu kepada anaknya.
Tradisi
GM mengatakan penghargaan terhadap penulis telah berlangsung sebagai tradisi sejak masa Yunani 200 tahun Sebelum Masehi. Untuk penghargaan bagi penulis sastra, ia tidak melihat penghargaan itu sebagai hal penting. Akan tetapi, ia melihat ada esensi yang jauh lebih penting dari sebuah penghargaan bagi seorang penulis sastra, seperti pada pendidikan sastra.
“Pendidikan sastra di sekolah-sekolah sekarang ini menyedihkan. Pendidikan sastra seharusnya dimulai dengan gemar sastra, seperti yang pernah dilakukan Pak Tino Sidin untuk seni rupa dengan gemar menggambar,” kata GM, seraya mengungkapkan penghargaan Nobel di bidang sastra tidak terlepas dari polemik dan kelemahan dalam penjurian.
Juri penghargaan Nobel untuk bidang sastra selalu dirahasiakan namanya. Menurut GM, para juri tersebut tidak cukup banyak mengenal sastra dunia karena kemungkinan terkendala bahasa asli dari setiap karya sastra.
Ia mencontohkan, karya sastrawan Rusia, seperti Leo Tolstoy, tidak mendapat penghargaan karena ditulis dalam bahasa Rusia yang mungkin tidak diketahui juri dengan baik.
“Jadi, kalau hadiah Nobel saja menimbulkan kerancuan karena yang diumumkan adalah nama penulisnya, bukan karyanya, apalagi penghargaan penulis atau sastrawan di Indonesia. Lebih baik (penghargaan) fokus pada karya," kata penulis kolom Catatan Pinggir itu.
Suatu ketika, GM mengikuti penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa (HC) untuk penyair WS Rendra pada 2008. Ia menyimak uraian profesor yang memberikan anugerah tersebut, ternyata lebih mengutamakan pada persoalan julukan WS Rendra, yakni Si Burung Merak.
“Profesor itu bukan menyampaikan persoalan karya sastra WS Rendra. Pembahasan Si Burung Merak malahan cenderung seperti gosip,” ujar GM.
Saat ini di media massa terdapat ruang perbincangan tentang sastra yang makin menyempit. Elaborasi dan kritik sastra berkurang.
“Tradisi menulis menjadi risalah yang sangat penting. Menulis berbeda dengan berbicara. Dengan menulis, ada refleksi tentang apa yang kita tulis,” kata GM.
Media penulisan sastra semestinya mengikuti perkembangan terkini. Seperti penulisan di dunia maya, bagi GM, tidak selamanya menjadi hal omong kosong.
“Saya belajar melukis dari Youtube. Jadi, saya melihat ada hal yang di Youtube itu bukan omong kosong,” tutur Goenawan.
Kesejahteraan
Linda Christanty menyinggung persoalan penghargaan bagi penulis sastra sebagai hal yang baik. Akan tetapi, tidak semua penulis bisa mendapatkan penghargaan. Apalagi kerapkali dijumpai penghargaan itu tidak terlepas dari persoalan politik dan ideologi.
“Penghargaan sastra seringkali mengandalkan mobilisasi suara. Ini sering tidak lepas dari persoalan politik dan ideologi,” ujar Linda.
Ia juga melihat adanya persoalan kesejahteraan bagi penulis sastra. Linda mendorong Satupena turut mengupayakan kesejahteraan penulis dengan memperjuangkan penghargaan berupa royalti yang lebih baik. Mungkin pula membentuk sebuah koperasi untuk meningkatkan kesejahteraan penulis.
“Penghargaan tetap dibutuhkan sebagai apresiasi bagi penulis dengan karyanya berkualitas dan penting untuk dihargai. Namun demikian, kritik perlu disampaikan terhadap lembaga pemberi penghargaan dan mekanisme penghargaan tersebut. Sebab, pemberian penghargaan sering tak lepas dari kepentingan politik maupun kepentingan segelintir orang yang berkuasa di panitia atau komite penghargaan,” ujar Linda.
Linda menceritakan sebuah proses pemberian penghargaan dari sebuah lembaga internasional. Ada beberapa nama dari Indonesia yang masuk dalam daftar, namun akhirnya tidak terpilih.
Kriteria yang digunakan untuk memilih pemenang ternyata jumlah suara dari publik, tentu saja banyak orang tidak mengenal calon dari Indonesia. Seharusnya, penerima penghargaan ditentukan melalui riset oleh tim yang ditunjuk lembaga. Penentuan penghargaan bukan berdasar kelihaian sang penulis melakukan mobilisasi suara.
Dengan demikian, yang menang pastilah yang jago dan mempunyai akses memobilisasi suara. Di sejumlah negara, akses menggunakan internet dikuasai tentara dan politisi.