Menjadi Bangsa Besar
Inti dari buku ini adalah ajakan seorang AB Susanto kepada bangsa Indonesia untuk mengubah cara berpikir, berperilaku, bersikap, dan bertindak sebagai rakyat dari suatu bangsa besar dengan titik pijak bela negara.
Judul Buku: Manajemen Bela Negara: Pendekatan Modern Menjadi Bangsa yang Besar
Penulis: AB Susanto
Penerbit: Penerbit Buku Kompas, Jakarta
Cetakan: I, 2020
Tebal: xliv + 248 halaman
ISBN: 978-623-241-481-5
Berbanggalah mereka yang lahir dan berasal dari Bukittinggi, Sumatera Barat. Dari Bukittinggi ini mengalir darah pejuang, nasionalisme sejati yang sekaligus menjadi roh kehidupan bagi ”bayi” Indonesia di awal kemerdekaan. Sulit membayangkan, Indonesia tanpa Bukittinggi yang juga merupakan kota kelahiran banyak pahlawan dan tokoh nasional Indonesia.
Bukittinggi telah memainkan peranan bela negara pada masa lalu bahkan sebelum daerah ini menjadi sebuah kota. Pada 1825, Bukittinggi merupakan kubu pertahanan Belanda dalam melawan kaum Padri. Di sana Belanda mendirikan benteng Fort de Kock.
Dalam ketatanegaraan jaman itu, Bukittinggi menjadi ibukota Afdeeling Padangsche Bovenlanden dan Onderafdeeling Oud Agam. Pada jaman Jepang, Bukittinggi menjadi pusat pemerintahan militer untuk kawasan Sumatera, Singapura dan Thailand. Peran Bukittinggi semakin besar setelah Indonesia merdeka dengan dijadikannya sebagai ibukota Provinsi Sumatera pada 9 Juni 1947 dengan Gubernurnya Teuku Muhammad Hasan.
Menyusul jatuhnya Yogyakarta ke tangan Belanda, Bukittinggi ditunjuk sebagai kota perjuangan dan sekaligus ibukota negara Indonesia yang dikenal dengan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) oleh Syafruddin Prawiranegara pada 19 Desember 1948. Dari tanggal inilah kemudian Hari Bela Negara ditetapkan. Dengan tanggal peringatan itu, Bukittinggi menjadi benteng selamanya bagi nasionalisme, patriotisme, dan heroisme Indonesia.
Peran strategis Bukittingi sebagai kota perjuangan dan kota bela negara ini diulas pakar manajemen strategik, AB Susanto, dalam buku Manajemen Bela Negara: Pendekatan Modern Menjadi Bangsa yang Besar. Ketika membaca buku ini, pertanyaan spontan yang muncul adalah, apakah kisah ”heroik” Yohanes Andigala, siswa kelas VII SMPN Silawan, Kecamatan Tasifeto Timur, Kabupaten Belu, NTT, adalah perwujudan bela negara sekalipun dalam bentuk sederhana ?
Yohanes Andigala yang kesehariannya dipanggil Johny Gala secara nekat dan spontan menaiki tiang bendera saat upacara 17 Agustus 2018. Tindakan tanpa pikir panjang itu dilakukan Johny Gala, begitu nama panggilannya, setelah mendengar tali bendera putus dan harus ada yang memanjat tiang untuk menarik ujung tali yang tersangkut di tiang bendera. Alhasil, upacara dapat dilaksanakan dengan lancar setelah tindakan heroik itu dan video kisah Johny Gala menjadi viral ke seluruh Indonesia.
Baca juga : Kiprah Generasi Z dan Milenial dalam Upaya Bela Negara
Merujuk pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, apa yang dilakukan siswa SMPN itu adalah satu satu bentuk bela negara. Dalam lembar Penjelasan Pasal 9 Ayat (1) Huruf a dari UU tersebut, dikatakan, upaya bela negara adalah sikap dan perilaku warga negara yang dijiwai oleh kecintaannya kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UU 1945 dalam menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara. Upaya bela negara itu merupakan kehormatan bagi warga negara yang dilakukan dengan kesadaran, tanggung jawab, dan sikap rela berkorban dalam pengabdian kepada negara dan bangsa.
Bagi warga negara Indonesia, bela negara adalah wajib hukumnya jika dilihat dari UUD 1945, yakni bahwa setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara (Pasal 27 Ayat 3) dan tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara (pasal 30 ayat 1).
Apa yang tertulis dalam UUD 1945 ditegaskan kembali dalam UU Pertahanan Negara yang menyatakan ”setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya bela negara yang diwujudkan dalam penyelenggaraan pertahanan negara” (Pasal 9 Ayat 1). Keikutsertaan warga negara dalam upaya bela negara diselenggarakan melalui pendidikan kewarganegaraan, pelatihan dasar kemiliteran secara wajib, pengabdian sebagai prajurit TNI secara sukarela atau secara wajib, dan pengabdian sesuai dengan profesi (Pasal 9 Ayat 2).
Menurut Gubernur Lemhannas RI Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo, bela negara itu penting bagi terjaganya ruang hidup, kelangsungan hidup bangsa dari generasi ke generasi, dan terwujudnya cita-cita. Agus Widjojo juga menekankan, jika ingin hasil optimal, pemahaman dan pemaknaan kata ”bela negara” harus sama.
Persoalannya adalah bagaimana menanamkan jiwa bela negara yang sifatnya memang mutlak dan fundamental, juga bagaimana cara penerapannya, kepada setiap warga negara. Kata kunci dari bela negara adalah semangat juang menjadi bangsa yang besar dan kuat.
Mengingat pada saat ini terjadi pergeseran paradigma global, menurut mantan Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro, pengembangan pemahaman konsep bela negara perlu terus dilakukan. Tantangan yang dihadapi Indonesia pada saat ini dan masa depan lebih bersifat nonmiliter, sangat kompleks (melibatkan smart power, soft power, dan hardpower), multidimensi (ipoleksosbudhankam, hukum, dan teknologi), serta berada dalam ketidakpastian yang tinggi. Jika bela negara tidak dikelola dengan baik, tantangan tersebut akan menjadi ancaman nasional.
Bangsa yang besar
”Menjadi Bangsa yang Besar” merupakan fokus dari pembahasan buku ini. AB Susanto mengajak setiap warga negara untuk mengganti ”kacamata” agar dapat melihat dengan lebih jelas ”Indonesia Raya” sebagaimana yang diimajinasikan WR Supratman dalam lirik dan kemegahan irama lagu kebangsaan yang dibuatnya. Cita-cita luhur para pendiri bangsa beserta segenap rakyat.
Setidaknya terdapat sembilan makna dari kata ”Besar”, yakni (1) lebih dari ukuran sedang, tetapi lawan dari kecil, (2) tinggi dan gemuk, (3) luas, (4) lebar, (5) hebat, mulia, berkuasa, (6) banyak, (7) menjadi dewasa, (8) lebih dewasa daripada sebelumnya, dan (9) penting atau berguna.
Singapura dipuji sebagai negara besar karena merupakan pusat keuangan terbesar di Asia dengan tidak adanya korupsi. Denmark dinilai sebagai bangsa besar karena kesejahteraannya yang kuat dan efisien dengan menyediakan berbagai layanan gratis bagi warganya. China dikatakan sebagai bangsa besar karena keberhasilannya membangun ekonomi yang kuat dan mengentaskan kemiskinan ratusan juta warga negaranya. India juga disebut sebagai negara besar karena tingkat kehidupan demokrasinya. Lalu bagaimana dengan Indonesia ?
Meskipun demikian, menurut AB Susanto menjadi bangsa besar tidak tergantung pada ukuran saja. Seperti ada pepatah mengatakan, if strength and power meant everything the elephant, not lion, would be king of the jungle – jika ukurannya adalah kekuatan dan tenaga, seharusnya gajah yang menjadi raja rimba dan bukan singa. Artinya ada karakteristik yang harus dimiliki suatu bangsa untuk dikatakan sebagai bangsa yang besar.
Ada sembilan karakteristik yang harus nampak pada sebuah bangsa yang besar, termasuk di dalamnya adalah memiliki kebebasan dalam memilih dan bercita-cita, keadilan dan kesetaraan tanpa diskriminasi, moralitas sebagai panduan warganya berperilaku, kebenaran yang berwujud transparansi, integritas serta kejujuran, kehidupan tanpa memandang SARA, fisik dan status sosial, dedikasi dan pengorbanan serta berorientasi masa depan.
Bagi Indonesia, menjadi bangsa besar merupakan suatu keharusan karena mimpi itu sudah ditulis oleh para pendiri negara dengan meletakan tujuan dan cita-cita nasional dalam Pembukaan UUD 1945.
Pernyataan “..... negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur merupakan visi atau Cita-cita nasional dan “... membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejateraan umum, mencerdaskan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial” merupakan tujuan nasional atau misi.
Bagaimana mimpi menjadi bangsa besar itu terwujud sangat tergantung pada keinginan rakyat dan para pemimpinnya.
Inti dari bela negara adalah bagaimana suatu bangsa dapat hidup di masa depan.
Butuh pemimpin besar
Untuk menjadi bangsa besar, Indonesia membutuhkan seorang pemimpin yang mampu mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional dengan cara menanamkan semangat juang bela negara berkesinambungan dari generasi ke generasi. Inti dari bela negara adalah bagaimana suatu bangsa dapat hidup di masa depan. Pentingnya pemimpin dari sudut bela negara ini dapat diibaratkan dengan kata bijak - It’s better to live as a lion for one day than for thousand years as a sheep– lebih baik hidup sebagai singa meski hanya sehari daripada hidup seribu tahun sebagai domba.
Selain mampu menjawab tantangan jaman dengan menjadikan bela negara sebagai jawaban atas berbagai persoalan hidup sehari-hari, karakter utama yang harus dimiliki seorang pemimpin adalah telah (selesai) menjadi dirinya sendiri dengan kejujuran dan membuang semua kepalsuan. Dia juga harus memiliki kemampuan mendorong masyarakat untuk rela berkorban demi masa depan yang lebih baik.
Karakter lain yang tidak kalah penting adalah, seorang pemimpin harus mampu berpikir strategis yang selalu mengkaitkan keputusan yang diambil dengan masa depan, tidak hanya sekedar responsif tetapi juga merupakan pemecahan masalah jangka panjang.
Oleh karena itu, seseorang tidak mungkin menjadi pemimpin strategis bila tidak memiliki kepekaan dengan sudut pandang yang komprehensif dan sekaligus mampu menjadi radar yang mendeteksi lingkungan internal dan eksternal dengan kewaspadaan tinggi. Sebagai konsekuensinya, pemimpin yang seorang pemikir strategis memiliki kesadaran penuh atas penggunaan anggaran, waktu dan result sebagai ukuran keberhasilan.
Ada dua cerita yang dibagikan AB Susanto untuk menjelaskan bagaimana karakter seorang pemimpin strategis yang memiliki suri tauladan karena memegang moralitas.
Ternyata, kehidupan pribadi Bung Hatta tidak sehebat namanya. Sekalipun bukan orang kaya, Bung Hatta menolak tawaran Presiden Soekarno untuk dibayari negara ketika akan naik haji bersama isteri dan saudaranya. Dia lebih memilih naik haji dengan bermodalkan honorarium penulisan beberapa bukunya. Dia menolak jabatan komisaris berbagai perusahaan nasional atau asing bahkan juga jabatan di Bank Dunia, sekalipun uang pensiunan sebagai Wapres hanya Rp 3.000 untuk membayar tagihan listrik rumahnyapun tidak cukup.
Hal yang sama juga terjadi pada Haji Agus Salim. Meskipun dia mampu menguasai sembilan bahasa dan dikagumi banyak orang, tidaklah demikian dengan hidupnya. Pada 1906, selepas SMA, ia lebih memilih terjun ke dunia politik daripada menjadi konsulat Hindia Belanda di Jeddah meski digaji sangat tinggi sebesar 200 Gulden. Bandingkan, uang 15 Gulden dapat menghidupi satu keluarga dengan 5 anggota keluarga.
Kemiskinan menjadi warna sehari-sehari kehidupan Agus Salim termasuk ketidakmampuannya untuk membayar tagihan listrik meski ia adalah seorang Menlu dan Wakil Tetap Indonesia di PBB. Untuk menutupi kekurangannya, ia berjualan minyak tanah termasuk ketika menjadi pembicara di Yogya. Ia tidak malu-malu berjualan minyak tanah di Yogya untuk ongkos PP Jakarta – Yogya. Dan yang paling menyedihkan adalah, dia tak mampu membeli kain kafan ketika anak kesayangannya meninggal.
Selain mengganti “kacatama”, inti dari buku ini adalah ajakan seorang AB Susanto kepada bangsa Indonesia untuk mengubah cara berpikir (mindset), berperilaku (behaviour), bersikap (character) dan bertindak (doing) sebagai rakyat dari suatu bangsa yang besar dengan titik pijak bela negara dan ini semua dimulai dari pemimpinnya. Dengan modal yang dimiliki, Indonesia seharusnya memang menjadi bangsa yang besar.
AM Putut Prabantoro adalah Alumnus PPSA XXI Lemhannas RI dan Taprof Lemhannas RI untuk Bidang Ideologi & Sosbud.