Perempuan dalam Lingkar Aib dan Nasib
Bila dalam dunia sastra perempuan masih diinferiorkan, maka keadaan perempuan di dunia nyata mestilah jauh lebih parah.
Judul: Aib dan Nasib
Pengarang: Minanto
Penerbit: Marjin Kiri
Cetakan: I, Juli 2020
Tebal: vi + 263 halaman
ISBN: 978-602-0788-00-5
Subordinasi perempuan dalam masyarakat sudah terjadi sejak zaman dahulu kala. Tuntutan perubahan atas hal itu juga sudah dilakukan sejak lama dan menjadi kian gencar akhir-akhir ini. Dari situ muncullah pertanyaan. Apakah ini berarti ketidaksetaraan jender sudah berhasil diatasi? Lantas, bagaimana relasi jender dalam masyarakat kontemporer kita sekarang?
Aib dan Nasib adalah sebuah novel yang teristimewakan berkat gelar Pemenang Pertama Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2019. Novel ini seolah hadir untuk memberikan jawaban atas pertanyaan di atas. Bahwa masalah patriarki adalah sesuatu yang belum selesai. Kendati sejatinya aib dan nasib bersifat netral, tetapi ketika dilihat menggunakan sudut pandang dominan maka keduanya mesti akan berpihak.
Dominasi maskulin
Aib dan Nasib berjalan mengikuti kisah beberapa warga Desa Tegalurung yang saling terkait dan terlibat sejumlah masalah. Sekilas, pengarang tampak membiarkan tokoh-tokohnya berjalan sendiri menghadapi aib dan nasib masing-masing. Sebagaimana yang tersirat dari judulnya, tokoh laki-laki dan tokoh perempuan dalam novel ini seolah diposisikan sejajar di hadapan aib dan nasib. Sebuah upaya penyejajaran yang justru menyoroti bias jender yang ada. Tanpa sadar, sang pengarang menggarisbawahi masalahnya.
Sebagai novel polifonik, Aib dan Nasib menghadirkan sejumlah tokoh laki-laki yang mesti jatuh bangun demi menegakkan eksistensinya.
Sebagai novel polifonik, Aib dan Nasib menghadirkan sejumlah tokoh laki-laki yang mesti jatuh bangun demi menegakkan eksistensinya. Entah yang muda atau yang tua, pelajar atau sopir angkot, mereka percaya bahwa untuk menjadi laki-laki maka mereka harus bisa mendominasi dan menaklukkan, dimulai dari perempuan.
Misi pencarian jati diri adalah sesuatu yang membutuhkan keberanian, juga rasa percaya diri yang besar. Adapun cara paling cepat dan mudah menemukannya, sebagaimana menurut Virginia Woolf dalam esainya, ”a Room’s of One’s Own”, adalah dengan percaya pada kekurangan orang lain. Pada titik ini, suka tidak suka, laki-laki merasa perlu memberikan tempat kepada perempuan meskipun sekadar sebagai, mengutip ungkapan Woolf, ”... cermin yang mempunyai sihir dan kekuasaan nikmat untuk membantu seorang laki-laki tampil dua kali lebih besar dari yang sesungguhnya.... sekali sebelum dan sekali sesudah makan pagi.” Maka, tokoh Marlina pun berkata kepada istrinya: ”Tidak ada kesempatan bagiku menjadi bajingan, Nok Eni,” saat menyadari kelaminnya menolak tegak di hadapan perempuan itu.
Dengan kesadaran bahwa untuk sekadar menjadi bajingan pun seorang laki-laki membutuhkan perempuan, sang pengarang menciptakan dunia fiksinya. Dia memberikan tempat kepada para tokoh laki-lakinya untuk membuktikan eksistensi mereka dengan cara masing-masing.
Ada Kicong yang masih pelajar, tetapi sudah tahu bahwa cara mudah untuk menunjukkan kelayakannya sebagai laki-laki adalah dengan mendominasi kekasihnya, Gulabia. Memperlakukan tubuh Gulabia sebagai obyek penaklukan, baik seksual maupun sosial. Di sisi lain, Gulabia yang tengah jatuh cinta membiarkan aksi penaklukan tersebut berlangsung lancar hingga berujung pada kehamilan yang tidak diinginkan.
Ada pula Kartono yang belajar memperlihatkan kebaikan yang bersifat jantan saat menerima dijebak menikahi Gulabia yang berbadan dua, sebelum kemudian menggunakan imajinasinya yang tinggi untuk menegakkan dominasi sekaligus merendahkan perempuannya itu. Sang pengarang juga memberikan Kartono keinginan untuk menciptakan bagi dirinya sendiri hak menjatuhkan hukuman. Hak yang bahkan tidak bisa diganggu gugat oleh mertuanya sendiri, ayah Gulabia yang bergelar kiai: ”Tapi dia sering memukulku, Pak,” ”... Bersabarlah. Bagaimanapun juga dia suamimu.” Dalam lingkar dominasi maskulin semacam ini, Gulabia tidak lebih dari sekadar barang simbolik bagi laki-laki. Seorang perempuan yang dituntut untuk selalu patuh pada peran yang diberikan kepadanya, entah sebagai kekasih, istri, atau anak perempuan.
Dalam masyarakat patriarki, apa yang dipikirkan laki-laki tentang perempuan hanyalah seputar fungsi perempuan dalam dunianya.
Perempuan, boneka media sosial
Dalam masyarakat patriarki, apa yang dipikirkan laki-laki tentang perempuan hanyalah seputar fungsi perempuan dalam dunianya. Dunia yang dimaksud tentu tidak hanya sebatas dunia nyata, tetapi juga dunia virtual, dalam hal ini media sosial. Meskipun munculnya belakangan, media sosial mempunyai kekuatan yang jauh lebih besar daripada media lainnya dalam hal mengonstruksi perilaku dan kehidupan sosial penggunanya. Tidak hanya orang-orang kota, warga desa pun tidak luput dari pengaruh tersebut, sebagaimana yang dialami Bagong Badrudin.
Lewat media sosial, Bagong Badrudin menemukan sebuah dunia yang jauh lebih luas daripada kampungnya. Pun, sebuah identitas sosial baru yang lebih keren: anak muda zaman modern. Tidak hanya itu, dengan hanya bermodal ponsel dan kuota internet, Bagong Badrudin merasa telah menjadi orang hebat hanya karena pernah bertemu dan berteman dengan macam-macam orang asing, bahkan mendapat kesempatan untuk menjadi populer di ruang publik tanpa harus keluar kamar.
Terperangkap dalam inferioritas jiwa anak muda, Bagong Badrudin pun melihat media sosial sebagai sarana untuk membuktikan diri sekaligus memupuk kebanggaan kilat. Dari apa yang dipelajarinya, cara termudah untuk mendapatkan semua itu adalah dengan memberikan sesuatu yang sangat disukai oleh para pengguna media sosial.
Media sosial memberikan panggung bagi segala sesuatu yang ditujukan untuk dilihat dan menyenangkan orang. Bagi laki-laki, seperti Bagong Badrudin, tiada yang lebih tepat untuk memainkan peran di atas panggung semacam itu selain perempuan. Maka, hadirlah tokoh Uripah yang menderita gangguan kejiwaan. Stereotip perempuan sebagai obyek permainan dan instrumen eksploitasi terwakili betul oleh kepasifannya.
Dengan mengeksploitasi tubuh Uripah lewat sebuah video rekaman, Bagong Badrudin berharap bisa mendapatkan kepopuleran sekaligus pengakuan dari pengguna media sosial atas penaklukannya atas seorang perempuan. Adapun sebagai bagian dari pertunjukan virilitasnya, Bagong Badarudin melihat Uripah sebagai mangsa yang wajar dimanfaatkan, bahkan didiskriminasi, termasuk diperkosa tanpa rasa bersalah.
Di bawah kekuasaan paternalistik sang pengarang, jelas sudah nasib para perempuan dalam novel Aib dan Nasib.
Pengarang yang paternalistik dan nasib perempuan
Dalam Aib dan Nasib, sejumlah tokoh laki-laki dihadirkan memiliki kekurangan yang, sepintas, seolah hendak menunjukkan sisi lemahnya sebagai manusia. Namun, jika diperhatikan baik-baik, kelemahan para tokoh tersebut masih terikat pada hukum dominasi maskulin.
Adalah Marlina dan Mang Sota yang, dalam keinferioritasan keduanya, dijadikan sebagai sosok-sosok egois di tengah simpati yang berusaha dibangun sang pengarang. Untuk keduanya, Minanto memilihkan perempuan yang tepat. Seorang gadis penuh pengertian yang dibuang sanak saudaranya bernama Eni sebagai istri untuk Marlina. Seorang anak perempuan penderita gangguan jiwa bernama Uripah untuk Mang Sota. Kehadiran kedua perempuan tersebut bukan semata untuk menunjukkan betapa Marlina dan Mang Sota hanyalah manusia biasa yang mempunyai kelemahan, melainkan sebaliknya.
Eni hadir untuk membuat Marlina tampak unggul sebagai laki-laki tepat ketika perempuan itu bersedia berkorban segalanya demi sang suami. Adapun kepasifan Uripah yang nyaris total kian menguatkan sosok perempuan sebagai manusia rendahan. Mang Sota yang miskin menyadari ketidakmampuannya berjalan dengan kepala tegak. Maka demi menegakkan dominasinya, dia pun bersikap arogan dan memandang perempuan hanya sebagai pelengkap laki-laki.
Di bawah kekuasaan paternalistik sang pengarang, jelas sudah nasib para perempuan dalam novel Aib dan Nasib. Merekalah sebentang rel yang mesti menahan gelindingan roda nasib para laki-laki di atas tubuh mereka. Para perempuan yang menjadi bagian dari eksistensi laki-laki sekaligus penanggung derita aib ciptaan laki-laki.
Masyarakat kontemporer memang telah membolehkan perempuan mengenyam pendidikan tinggi, bekerja di luar rumah, bahkan memasuki ruang publik, tapi kesetaraan tetaplah bukan untuknya. Apa yang tersaji dalam Aib dan Nasib hanya contoh kecil dari apa yang tidak berubah di luar sana. Bahwa meskipun perempuan telah berjuang keras untuk mengubah nasibnya dan menghapus aibnya, tetapi dalam bingkai dunia maskulin, dia tetap makhluk nomor dua yang penuh dengan ketidaksempurnaan. Adapun dalam teks sastra maskulin, perempuan hanyalah sekadar pelengkap sekaligus tumbal bagi para tokoh laki-laki. Sesuatu yang tidak berubah sejak dulu hingga hari ini.
Sayembara sastra seperti yang diadakan Dewan Kesenian Jakarta semestinya mampu menghasilkan pemenang yang tidak bias jender. Namun, kehadiran novel Aib dan Nasib memperlihatkan bahwa harapan itu sepertinya hanya menggantang asap. Teks yang maskulin justru dikukuhkan sebagai pemenang.
Tanpa adanya kritik sastra yang memadai, dengan label sebagai pemenang, novel seperti Aib dan Nasib akan dianggap tidak bermasalah dan dijadikan tolok ukur sebuah karya berkualitas. Jikapun ini yang terjadi, sungguh sebuah ironi di tengah perkembangan kesusastraan Indonesia kontemporer, yang semestinya semakin kritis terhadap teks-teks maskulin. Bila dalam dunia sastra perempuan masih diinferiorkan, maka keadaan perempuan di dunia nyata mestilah jauh lebih parah.
Anindita S Thayf, Novelis dan Esais