Buya Syafii Maarif, ”Ibu Kemanusiaan” dalam Catatan Perempuan
Dengan segala tantangan hidup sebagai perempuan, sikap hidup otentik Buya Syafii sebagai inspirasi masih sangat relevan, baik bagi manusia pada umumnya, maupun kaum perempuan untuk belajar bersikap otentik seperti Buya.
Judul buku: Ibu Kemanusiaan: Catatan-catatan Perempuan untuk 86 tahun Buya Ahmad Syafii Maarif
Penulis: Retno LP Marsudi, Silfia Hanani, dll
Penerbit: Buku Langgar & Sarang
Editor: Aulia Taarufi & Prima Sulisty
Cetakan: I, Mei 2021
Jumlah halaman: 328 halaman
ISBN: 9786239545833
Sampul berwarna abu-abu, foto Buya Ahmad Syafii Maarif, dan judul ”Ibu Kemanusiaan” seolah cukup bagi pembaca untuk menebak bahwa isi buku ini akan berbicara tentang Buya Syafii yang feminis, pelaku kesetaraan jender atau pandangan para penulis perempuan tentang sosok Buya Syafii. Begitulah kesan pertama membaca buku Ibu Kemanusiaan: Catatan-catatan Perempuan untuk 86 tahun Buya Ahmad Syafii Maarif, sebuah buku yang ditulis oleh para perempuan dengan berbagai latar belakang usia, profesi, agama, suku, dan budaya yang melintas batas sebagai kado ulang tahun ke-86 Buya Syafii yang jatuh pada 31 Mei 2021.
Buya Syafii adalah sosok ”Bapak Bangsa”, tetapi buku ini menggunakan istilah ”Ibu Kemanusiaan”. Hal ini tak lain, supaya muncul perspektif jender yang kuat, karena seperti yang ditulis oleh beberapa kontributor buku ini bahwa Buya Syafii dinilai minim berbicara isu jender tinimbang masalah Islam dan demokrasi. Dengan kata lain, beberapa tulisan di buku ini dialamatkan sebagai kritik terhadap Buya Syafii. Salah penulis, Ninin Karlina (aktivis Peace Generation) menjelaskan bahwa menurut Buya Syafii, perempuan itu ”ibu kemanusiaan” merupakan julukan yang purna dan paripurna untuk seorang perempuan (hlm 34).
Advokat kemanusiaan
Buya Syafii adalah advokat keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan yang konsisten. Dalam banyak hal, Buya Syafii seperti tidak terlalu peduli jika kepentingan dirinya terganggu demi menyuarakan pendiriannya. Prinsip Buya Syafii yang konsisten terhadap nilai kemanusiaan dan egalitarianisme, tampak jelas dalam sikap terhadap kasus yang menimpa (saat itu) Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (BTP) atau ”Ahok”.
Buya Syafii berani menentang arus mayoritas Muslim demi menyuarakan kebenaran yang diyakininya, bahwa Ahok tidak menista Al Quran. ”Bagi Buya Syafii, egaliter itu tauhid sejati,” tulis Esthi Susanti Hudiono (hlm 154). ”Buya adalah khazanah, kekayaan milik seluruh umat Islam dan warga dunia karena komitmennya yang tinggi pada kemanusiaan!”, tulis Marlis Afridah (hlm 47)
Pernyataan Buya Syafii selalu berhasil menarik perhatian publik, memantik diskusi dan perdebatan.
Peryataan Buya Syafii selalu berhasil menarik perhatian publik, memantik diskusi dan perdebatan. Hal ini, menurut Najwa Shihab, penyebabnya bukan karena pernyataan-pernyataannya yang memang kontroversial, melainkan karena Buya Syafii selalu masuk pada topik-topik penting dengan sikap/pendirian yang lugas dan jelas. Karena jelas dalam pendirian dan sikap itulah, Buya Syafii mudah dimasukkan ke sisi yang mana dalam sebuah perdebatan sehingga jelas pula dengan siapa saja ia berhadap-hadapan secara diametral. (hlm 72-74)
Jika di level elite politik demikian lentur, di level pemilih malah menjadi begitu kaku, Buya Syafii memilih untuk tegak di atas batu pijak yang dipilihnya secara sadar dan mandiri. Apa pun yang ia ucapkan berasal dari olah rasionalitas yang dilakukan secara independen”. Bagi Buya Syafii, independensi adalah kata kunci yang membuatnya bisa menikmati umur panjang dengan bahagia.
Karena posisi yang independen secara politik itu, Buya Syafii tampak menikmati berpikir, bersuara, dan bertindak tanpa takut kehilangan apa pun–entah itu jabatan, maupun nama baik. (Shihab, hlm 77). Nyaris tanpa beban, ”Saya tidak punya beban,” begitu kilahnya ketika kita sampaikan kalau ada pihak yang berkeberatan dengan pandangannya yang kontroversial,” tulis Alimatul Qibtiyah (hlm 275).
Buya Syafii menjadi tua dengan terhormat. Moralitas dan integritas menjadi akar tunggang yang menghunjam sangat kuat, berdiri dan berani menentang arus yang diguras-guras oleh tarikan kepentingan. ”Itulah Buya Buya yang berani dan lurus dalam berpikir dan bertindak, sulit mencari tandingannya,” tegas Silfia Hanani.
Perspektif jender
Meskipun ada beberapa kritik di buku Mencari Negarawan, kado ulang tahun ke-85 untuk Buya Syafii, terkait kurangnya isu perempuan, tetapi bagi Alimatul Qibtiyah, sejatinya sangat mendukung isu-isu kesetaraan dan keadilan jender. Sebelumnya Buya Syafii juga menerima kritik Kiai Hussein Muhammad mengenai pentingnya pembahasan kesetaraan jender dan Islam dalam bukunya Islam dalam Bingkai Kemanusiaan dan Keindonesiaan, kemudian Buya menambahkan pembahasan perempuan dalam edisi revisi.
Demikian juga, dalam Titik-Titik Kisar di Perjalananku: Autobiografi Ahmad Syafii Maarif, tulisan Buya tidak mengarah pada isu-isu jender secara spesifik. Namun, secara jelas sikapnya yang mendukung perempuan di dunia politik, anti-kekerasan terhadap perempuan, tidak poligami telah menjadi bukti nyata bagaimana memahami sikap Buya secara utuh mengenai jender.
Adalah Kalis Mardiasih mengutip artikel ”Status Perempuan Dalam Islam”, untuk menjelaskan pandangan Buya Syafii tentang Al Quran tidak pernah mendiskriminasi perempuan. Buya Syafii memberikan dukungan kepada literatur-literatur yang ditulis oleh feminis Muslim, seperti Riffat Hassan, Fatima Mernissi dan Amina Wadud Muhsin.
Buya Syafii mengapresiasi keberanian kiai-kiai feminis yang turut meramaikan kajian jender Islam, antara lain Prof Nasaruddin Umar dan Buya Husein Muhammad. Di tengah pro-kontra perdebatan apakah feminisme dalam Islam itu relevan, disiplin pandangan Buya adalah sikap ilmiah. Buya mengulas argumen dengan argumen secara objektif, bukan menghakimi sebuah argumen, apalagi menyesatkan seorang pemikir.
Baca juga: Jalan (Sunyi) Pencerahan Buya Syafii
Tulisan Buya Syafii tentang isu perempuan ditemukan dalam serial opini di Republika pada 2017 yang bertajuk ”Malala: Oase di Bumi yang Tandus”. Hal ini sebagaimana diulas Yayah Khisbiyah, ”Buya ASM dan Per-Empu-An”. Menurut Yayah, tulisan itu membicarakan remaja pejuang hak pendidikan perempuan dari Pakistan.
Menurut dia, pilihan Buya untuk menulis tentang Malala Yousafzai merupakan epitome dari komitmen kukuh Buya dalam mengusung nilai-nilai kemanusiaan, mendukung akses pendidikan bagi semua (education for all), menolak ketimpangan jender, ketidakadilan struktural, kekerasan kultural-epistemik, dan ekstremisme atas nama agama. Tulisan tentang Malala ini mengukuhkan prinsip yang selalu dikedepankan Buya: Perdamaian tidak akan tercipta tanpa pewujudan keadilan sosial, termasuk di dalamnya keadilan jender (hlm 165).
Hal yang tak kalah penting adalah warisan Buya Syafii terkait kesetaraan jender di Muhammadiyah. Menurut Rahmawati Husein, upaya untuk melibatkan perempuan sebagai pimpinan Muhammadiyah secara organisatoris dimunculkan saat Buya Syafii menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah. Pada masa itu, peluang perempuan untuk duduk menjadi salah satu pimpinan Muhammadiyah dibuka lebar-lebar. Bahkan, mereka mendapat kuota khusus jika ternyata tidak ada satu nama perempuan pun yang masuk dalam daftar 13 pimpinan Muhammadiyah.
Hal itu dapat dilihat pada Sidang Tanwir Muhammadiyah di Bali tahun 2003. Satu di antara agenda utama sidang membahas masalah kesetaraan jender, terutama mengupayakan para tokoh wanita menjabat dalam kepengurusan PP Muhammadiyah. Dalam sidang tersebut diputuskan dan ditetapkan tentang perubahan Anggaran Rumah Tangga (ART) Pasal 10 tentang Pimpinan Pusat Ayat 2 berbunyi ”Anggota pimpinan pusat dapat terdiri dari laki-laki dan perempuan”. Artinya perempuan berhak memilih dan dipilih menjadi pimpinan Muhammadiyah, tidak hanya terpilih di organisasi perempuan yang ada di Muhammadiyah, seperti Aisyiyah dan Nasyiatul Aisyiya (hlm 189).
Walaupun diskusinya berlangsung lama, tetapi keputusan itu dapat dianggap sebagai sesuatu kemajuan untuk memberi kesempatan kepada para aktivis organisasi perempuan Muhammadiyah.
Teladan perempuan Muslim modern
Setidaknya dua isu utama tentang perempuan pernah diangkat Buya dalam bukunya, yakni isu tentang pemimpin perempuan dan poligami. ”Tak banyak bicara bukan berarti tak peduli. Sesungguhnya laku hidup Buya adalah laku demokrat sejati yang menjunjung tinggi kesetaraan hak laki-laki dan perempuan,” tulis Nia Perdhani (hlm 260).
Mata air keteladanan itu, disaksikan oleh Ienas Tsuroiya yang sangat terkagum terhadap Buya Syafii karena kesederhanaan dan keistiqomahan. Buya rutin shalat berjamaah di masjid. Sering menjamu jamaah seusai shalat. Buya membeli sabun cuci di warung. Buya makan di angkringan. Buya berangkat ke seminar dengan bersepeda. Buya juga naik KRL menuju Istana Negara (waktu itu posisi beliau sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden) dan seterusnya. (hlm 40).
Meskipun RS PKU Muhammadiyah, milik organisasi yang pernah Buya pimpin, usianya pun sudah sepuh, akan tetapi Buya menolak diistimewakan.
Sampai ketika Buya hendak check up rutin di rumah sakit datang sendirian, ikut mengantre bersama pasien lainnya. Meskipun RS PKU Muhammadiyah, milik organisasi yang pernah Buya pimpin, usianya pun sudah sepuh, akan tetapi, Buya menolak diistimewakan.
Setidaknya, Marlis Afridah menyebut dua hal yang sangat relevan menjawab tantangan modernitas dalam kehidupan kaum perempuan Muslim yang dapat diteladani dari Buya Syafii, yaitu gaya hidup minimalis, dan sikap hidup otentik. Buya Syafii adalah teladan gaya hidup minimalis bagi semua manusia modern.
Kaum perempuan sering kali mendapat stigma seperti gila belanja, keranjingan diskon, hobi koleksi tas, sepatu, sandal, dan segala macam barang-barang yang tidak esensial dan tidak fungsional bagi kehidupan sehari-hari. Belajar hidup minimalis dari Buya Syafii yang hidup sederhana adalah salah satu cara bagi kaum perempuan untuk merobohkan stigma yang bias jender itu, bahwa konsumerisme tidak ada kaitannya dengan jender, tetapi lebih berkaitan dengan kesadaran pribadi seseorang (hlm 49).
Yang pertama dan utama dari belajar hidup minimalis penting untuk memberi kedamaian batin dan ketenangan jiwa bagi diri sendiri. Belajar melepaskan diri dari kemelekatan kepemilikan bendawi adalah sumber kebahagiaan dan kebebasan sikap hidup. Itulah mengapa, menjadi pribadi otentik, lebih khusus lagi perempuan Muslim, menjadi tantangan mahadahsyat dalam kehidupan sehari-hari. Kita terus-menerus dihadapkan pada tantangan sistem sosial dan sistem pengetahuan yang patriarkis, di mana perempuan sekadar menjadi topik (obyek) pengetahuan, bukan menjadi subyek pengetahuan yang memegang kendali narasi keislaman (hlm 50).
Dengan segala tantangan hidup sebagai perempuan, sikap hidup otentik Buya sebagai inspirasi masih sangat relevan, baik bagi manusia pada umumnya, maupun bagi kaum perempuan untuk belajar bersikap otentik, seperti Buya Syafii. Dalam hal ini, kaum perempuan punya peluang yang sama untuk belajar sikap hidup autentik dalam konteks kehidupan masing-masing yang berbeda.
(Azaki Khoirudin, Peneliti Ma’arif Institute for Culture and Humanity)