Solidaritas Baru Menjaga "Ibu Bumi"
Kita membutuhkan solidaritas baru dan universal dalam membangun habitus, teristimewa dalam berbela rasa pada mereka yang tak berdaya menghadapi pandemi dan membangun keseimbangan baru lingkungan yang lebih sehat.
Judul : Spiritualitas Keadilan Eko-Sosial
Penulis : Al Andang L Binawan
Penerbit : PT Kanisius
Cetakan : Pertama, 2020
Halaman : xviii + 142 halaman
ISBN : 978-979-21-6368-1
Jauh sebelum pandemi Covid-19 meluluh-lantakkan seluruh persendian kehidupan umat manusia, Paus Fransiskus mengeluarkan ensiklik “Laudato Si”. Ensiklik adalah surat edaran paus yang ditujukan kepada para uskup untuk diteruskan kepada umat Katolik di seluruh dunia. Laudato Si, lengkapnya Laudato Si Signore karena dokumen gereja biasanya hanya menyebut dua kata, sebenarnya diilhami dari madah pujian Santo Fransiskus Asisi, yang berarti “Terpujilah Engkau, Tuhanku”.
Ensiklik berjumlah 184 halaman ini mengingatkan, bahwa Bumi adalah rumah ibu kita bersama. Ibu Pertiwi yang merawat dan membesarkan kita, dengan aneka buah-buahan, warna warni bunga, dan segarnya rerumputan. Ibu yang kini dalam keprihatinan besar, karena kita dengan tidak bertanggung jawab telah menghambur-hamburkan segala kelimpahan yang ada. Maka sakitlah tanah, air, dan udara, yang kemudian berdampak pada semua aspek kehidupan.
Dalam ensikliknya, Paus Fransiskus menyebut Santo Fransiskus sebagai santo pelindung semua orang yang bergerak di bidang ekologi. Dia telah menunjukkan kepedulian khusus terhadap ciptaan Allah dan kaum miskin serta mereka yang tersisihkan. Dia seorang mistikus peziarah yang hidup dalam keselarasan dengan alam, sesama, dan tentu saja dengan Allah. Dengan sudut pandang inilah, Al Andang L Binawan mengajak kita mendalami spiritualitas keadilan eko-sosial.
Populer sebagai Romo Andang, tak banyak yang tahu bahwa nama lengkapnya adalah Alexius Andang Listya Binawan. Dalam buku ini Romo Andang merefleksikan pengalamannya sebagai iman, pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, dan terutama ketika banyak berurusan dengan sampah, lingkungan, disabilitas, bahkan juga waria, saat aktif di Keuskupan Agung Jakarta.
Martabat menjadi berkat
Terbagi dalam 11 bab—dari martabat manusia, keadilan bagi seluruh ciptaan, hingga gelombang cinta gereja—Romo Andang kemudian menyimpulkan, gereja harus aktif terlibat dan menjadi berkat. Artinya semua ajaran gereja harus dibumikan dengan memberi hasil yang jelas pada lingkungan alam, manusia, dan kemanusiaan. Caranya adalah dengan mewujudkan kepedulian sosial dalam tiga hal: karitatif, edukasi, dan pemberdayaan atau empowerment.
Martabat manusia menjadi judul bab pertama, bisa jadi karena gereja sangat menghargai martabat manusia. Ini yang kemudian menjadi dasar, mengapa misalnya, gereja berani melawan arus untuk memberikan perhatian kepada waria, transgender, atau transpuan (hlm 35).
Dasar gereja berbela rasa kepada mereka adalah ketersingkiran, terutama pada para waria yang hidup di jalanan. Mereka menjadi kelompok yang terpinggirkan karena identitasnya tidak diakui, dianggap sebagai pendosa, sehingga dampaknya adalah mereka tidak punya pekerjaan dan penghasilan.
Gereja meyakini, bahwa semua ciptaan baik. Oleh karena itu, martabat manusia tidak tergantung pada warna kulit, gender, agama, kondisi fisik dan psikis, juga tidak pada orientasi seksual. Martabat juga tidak tergantung pada dosa. Oleh karena itu gereja sampai saat ini terus menolak hukuman mati. Sebesar apa pun dosanya, martabat manusia tidak boleh dikalahkan.
Keyakinan bahwa semua ciptaan baik, juga berkonsekuensi pada bagaimana manusia memperlakukan hewan, tumbuhan, dan kekayaan alam secara keseluruhan. Oleh karena itu, Romo Andang menggarisbawahi, bahwa kekuasaan atas dunia yang hidup dan tidak hidup, yang Pencipta anugerahkan kepada manusia, tidak absolut sifatnya. (hlm 88) Ia diukur menurut usaha mempertahankan kualitas hidup sesama, termasuk pula untuk generasi yang akan datang. Ia menuntut penghormatan pada keutuhan ciptaan.
Untuk itu manusia perlu bertobat. Bertobat dengan mengubah cara pandang tentang diri dan alam, serta bertobat dalam tindakan. Dalam praktiknya, manusia di satu sisi perlu memperbaiki kerusakan yang ada dan di sisi lain manusia perlu merawat dan menjaga Bumi seisinya.
Habitus baru
Semua itu, baik perubahan sikap kepada sesama manusia dengan semangat berbela rasa dan penghargaan terhadap martabat—terutama untuk mereka yang terpinggirkan—maupun kepada alam raya dan seluruh ciptaanNya dalam upaya berkeadilan eko-sosial, diwadahi gereja dengan membangun habitus baru (hlm 100).
Maka kita tidak hanya belajar menghayati Santo Ireneus yang menyatakan “Gloria enim Dei vivens homo, vita autem enim hominis visio Dei” (artinya “Keagungan Ilahi itu tampak pada manusia yang hidup, justru karena hidup manusia kenal akan Tuhan”) tetapi juga kembali kepada Santo Fransiskus. Ia membantu kita melihat bahwa ekologi integral membutuhkan keterbukaan terhadap kategori-kategori yang melampaui bahasa matematika dan biologi, dan membawa kita kepada hakikat manusia.
Sama seperti yang terjadi ketika kita jatuh cinta pada seseorang, setiap kali Fransiskus menatap matahari, bulan, atau bahkan binatang terkecil, ia mulai bernyanyi, sambil mengikutsertakan semua makhluk lain dalam pujiannya. Dia berkomunikasi dengan semua ciptaan, bahkan berkhotbah kepada bunga-bunga, mengajak mereka untuk memuji Tuhan, seolah-olah mereka pun dikaruniai akal budi.
Kita pun perlu menanggapi sekeliling kita, jauh melebihi apresiasi intelektual atau perhitungan ekonomi. Alangkah baiknya bila kemudian gereja ikut membantu menginisiasi dialog baru tentang bagaimana membentuk masa depan planet kita. Kita memerlukan percakapan yang melibatkan semua orang, karena tantangan lingkungan yang kita alami, terkait akar manusiawinya, yang menjadi keprihatinan kita semua.
Gerakan ekologi di seluruh dunia telah membuat kemajuan besar, namun solusi konkret untuk memulai dari diri kita, sering terlupakan. Kita membutuhkan solidaritas baru dan universal dalam membangun habitus, teristimewa dalam berbela rasa pada mereka yang tak berdaya menghadapi pandemi dan membangun keseimbangan baru lingkungan yang lebih sehat.
Dengan demikian, gereja menjadi semakin relevan dengan masyarakat dan sungguh menjadi tanda cinta Tuhan bagi bumi dan segala isinya. Bumi yang sudah merawat dan membesarkan kita, bumi yang menjadi rumah ibu kita bersama. (AGNES ARISTIARINI)