Mendengar ”Kisah dari Kebun Terakhir”
Meski buku ini menyegarkan kembali pemahaman tentang otonomi, secara ironi Tania Li juga menunjukkan betapa pada akhirnya otonomi mesti digilas oleh hubungan kapitalis yang menumpang pada komoditas global kakao.
Judul: Kisah dari Kebun Terakhir
Penulis: Tania Murray Li
Penerjemah: Nadya Karimasari dan Ronny Agustinus
Penerbit: Marjin Kiri
Cetakan: I, Agustus 2020
Tebal: xiv + 326 halaman
ISBN: 978-602-0788-02-9
Buku ini berasal dari studi post-doktoral Tania Murray Li di Sulawesi Tengah tahun 1990, yang berlanjut hingga 2009 dengan 9 kali riset lapangan. Melalui ketekunannya melakukan kerja penelitian selama nyaris 20 tahun didukung dengan keterampilannya dalam menulis etnografi, mengantarkan buku Kisah dari Kebun Terakhir pada penghargaan American Ethnological Society Senior Book Prize tahun 2016.
Bagi orang Indonesia, sebenarnya topik yang dikaji oleh Tania Murray Li dalam Kisah dari Kebun Terakhir terbilang sederhana. Seperti pengamatannya pada kebiasaan berkirim makanan ke tetangga atau hubungan tolong-menolong antarwarga. Namun, hal itu menjadi tidak sederhana di tangan Tania Li.
Latar belakangnya sebagai antropolog yang lama mencurahkan perhatian pada Indonesia membuatnya punya kepekaan lebih dalam mencermati perubahan-perubahan kecil yang berlangsung di masyarakat ketimbang orang Indonesia sendiri lantaran hal tersebut mungkin biasa kita lakukan di kehidupan sehari-hari.
Seperti dinyatakan penulisnya, semula ”Buku ini mengkaji apa yang terjadi ketika tanah dipakai untuk maksud-maksud baru dan akses petani terhadap lahan berakhir akibat pengavelingan” (hlm 288). Penulis hendak melihat bagaimana perubahan penggunaan lahan pada orang-orang di perbukitan, suatu bidang kajian yang umum dipelajari dalam studi-studi agraria. Akan tetapi, dengan metode etnografi dalam durasi waktu yang panjang, hal yang sepintas tampak sederhana membawa Tania Li pada kesimpulan tak terduga.
Dalam Kisah dari Kebun Terakhir, Tania Li memperkenalkan pendekatan konjungtur, sebuah konsep yang sebelumnya digunakan oleh seorang antropolog, Marshall Sahlins, dalam buku Culture in Practice, untuk mengabstraksikan berbagai peristiwa sejarah yang selalu diserap kembali dalam struktur (Li, 2020: 44), semacam esensialisme dalam memandang suatu kebudayaan.
Tania Murray Li memberi penekanan baru atas pendekatan ini. Ia mengamati rangkaian unsur, proses, dan relasi yang membentuk kehidupan orang di momen dan tempat tertentu, dengan mengeksplorasi elemen yang membentuk kekhususan hidup orang Lauje di wilayah perbukitan Sulawesi Tengah.
Elemen-elemen itu sendiri meliputi aspek ekonomi, seperti harga-harga, permintaan pasar, keuntungan, utang, termasuk juga kualitas material lingkungan, seperti curah hujan, hama, penyakit, tanah, jarak, topografi, batasan sosial, dan nilai-nilai yang disematkan orang pada jenis tempat serta cara hidup tertentu, elemen kelembagaan, seperti aturan resmi, adat, serta kepercayaan masyarakat setempat (hlm 29).
Di bagian pertama, Tania Murray Li menceritakan kehidupan orang Lauje di perbukitan beserta unit analisis yang ia gunakan. Selanjutnya disusul ulasan yang menyajikan kehidupan masa lalu masyarakat Lauje. Layaknya gaya etnografi kolonial, Tania Li juga menerapkan pembagian masyarakat ke dalam tiga kelompok berdasarkan wilayah: orang pesisir, orang perbukitan tengah, dan orang di perbukitan bagian dalam.
Hubungan sosial di antara ketiga kelompok ini menjadi latar dari terbangunnya hierarki sosial, di mana orang perbukitan dalam mendapat stereotip sebagai orang dengan cara hidup yang masih primitif, liar, susah diatur sehingga kerap mendapat pengabaian dari pemerintah setempat.
Namun, seperti yang dikisahkan oleh Tania Li, mereka yang tinggal di pedalaman bukannya susah diatur, melainkan memiliki mekanisme sosial tersendiri yang tidak dipahami lantaran berbeda dengan corak masyarakat di pesisir.
Pembahasan dilanjutkan dengan menjelaskan pola pembagian kerja di kalangan orang Lauje di perbukitan pedalaman. Di masa lalu, produksi utama orang Lauje selain menanam tanaman pangan seperti jagung, juga menanam tembakau dan bawang merah.
Tania Li menyoroti organisasi kerja dan kebiasaan tolong-menolong di antara keluarga ataupun sesama tetangga, saling berkirim makanan, melakukan kerja-kerja kelompok dalam menggarap lahan, semua itu menjadi sabuk pengaman sosial bagi orang di perbukitan.
Berikutnya, Tania Li mengisahkan dampak dari masuknya tanaman baru di perbukitan, yaitu kakao, yang memicu perubahan relasi sosial dan pola penguasaan lahan. Berbeda dengan jenis tanaman sebelumnya, jagung, bawang merah, dan tembakau, yang memiliki masa tanam jangka pendek, kakao membutuhkan waktu panjang hingga tiba masa panen.
Perbedaan ini mengubah cara orang perbukitan mengolah tanah. Warga yang semula leluasa pinjam-meminjam lahan sebagai area bercocok tanam dan melakukan kerja-kerja kelompok menjadi saling membatasi diri.
Dampak demam kakao dalam pengamatan Tania Li telah memunculkan mekanisme penguasaan baru atas tanah, yaitu pengavelingan, yang mengeksklusi warga satu sama lain hingga mengoyak sabuk pengaman sosial.
Fenomena pengavelingan memicu maraknya pasar tanah lantaran beberapa sebab, di antaranya jual-beli lahan karena adanya dorongan kebutuhan yang mendesak, hilangnya akses atas lahan karena tidak cukup modal untuk memperluas penanaman kakao, atau juga warga yang terjerat masalah utang-piutang sehingga harus rela melepas kepemilikan tanahnya.
Eksklusi kian mendalam, bahkan hingga berujung pada konflik di antara keluarga. Penjelasan ini diuraikan lebih lanjut oleh Tania Li di bab selanjutnya, tentang hubungan-hubungan kapitalis.
Ringkas cerita, Kisah dari Kebun Terakhir merekam eksklusi yang dipicu maraknya komoditas kakao hingga menciptakan sekat sosial. Beberapa warga mulai kehilangan akses atas tanah dan sebagian lainnya justru mengalami hal sebaliknya, memiliki lahan yang semakin luas untuk ditanami kakao dan menjadi kaya raya.
Tumbuhnya kapitalisme pedesaan dari bawah di buku Kisah dari Kebun Terakhir ini menyumbangkan narasi berbeda dengan proses perampasan lahan yang jamak didominasi campur tangan perusahaan besar atau kebijakan negara.
Hilangnya akses atas tanah di buku ini justru disebabkan oleh inisiatif warga sendiri yang jeli membaca peluang untuk mengubah hidup menjadi lebih baik dengan beramai-ramai menanam kakao, tetapi secara tak terduga dan tanpa disadari menyeret warga masuk ke dalam persaingan pasar yang melahirkan kelompok pemenang dan pecundang.
Bagi kelompok yang kalah, yakni orang yang kehilangan akses terhadap tanah karena proses pengavelingan, mereka bukan saja kehilangan akses atas lahan, tapi juga terjerumus lebih dalam, kesulitan menjual tenaga kerjanya demi bisa menyambung hidup.
Di akhir uraiannya, berkali-kali Tania Li menekankan betapa pentingnya penyediaan lapangan pekerjaan bagi kelompok yang tersingkir lantaran kalah dalam persaingan pasar.
Otonomi radikal
Salah satu yang menarik perhatian saya di dalam buku ini adalah ulasannya mengenai otonomi. Tania Li menunjukkan bahwa otonomi tidak hanya terletak pada institusi sosial, seperti pemerintah atau lembaga keagamaan, tapi juga berada di level yang paling kecil, yakni individu.
Kisah kehidupan dalam buku ini telah meletakkan kembali otonomi pada makna yang radikal, yaitu individu yang berdaulat, otonom (dari bahasa Yunani, autos – sendiri, nomos – aturan, kewenangan mengatur diri sendiri).
Kisah dari Kebun Terakhir bukanlah kisah masyarakat yang pasif menerima berbagai agenda pembangunan dari luar, justru sebaliknya, responsif pada setiap peluang yang bisa mengubah keadaan menjadi lebih baik. Melalui uraian yang detail, Tania Li merekam agensi orang perbukitan dalam usahanya mengubah nasib.
Meskipun buku ini menyegarkan kembali pemahaman tentang otonomi, secara ironi Tania Li juga menunjukkan betapa pada akhirnya otonomi mesti digilas oleh hubungan kapitalis yang menumpang pada komoditas global, kakao.
Alhasil, argumentasi Tania Li kemudian mengarah kepada pihak-pihak yang memiliki otoritas lebih besar, yaitu para perencana pembangunan, pemangku kebijakan, media, dan tidak luput juga kelompok aktivis gerakan sosial, untuk lebih jeli menaruh perhatian pada elemen lain perubahan yang berpotensi mengakibatkan orang sengsara karena tercerabut dari akses atas sumber penghidupan.
Kalaupun ada kekurangan dalam buku ini, hal itu lebih pada rasa penasaran saya sebagai pembaca terhadap elemen yang tidak disinggung oleh Tania Li, yaitu hiburan, sebuah elemen yang juga bagian dari ”struktur perasaan” (hlm 46-47).
Mengikuti pandangannya mengenai konjungtur, hiburan juga tidak kalah penting dalam memengaruhi struktur perasaan karena hasrat mendapatkan kesenangan bisa berperan dalam pengambilan keputusan seseorang—seperti yang diuraikan dalam buku ini—juga bisa turut membentuk kekhususan dalam konjungtur sosial.
Rio Heykhal Belvage, Mahasiswa Studi Antropologi di Program Doktoral Ilmu-ilmu Humaniora Universitas Gadjah Mada (UGM), melalui beasiswa kerja sama Fakultas Ilmu Budaya UGM dan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Helsinki