Sisi Balik Pembelajaran Matematika
Melalui buku ini, matematika berusaha ditempatkan kembali bukan sebagai pelajaran yang menggelisahkan, melainkan belajar untuk bernalar demi membangun masyarakat yang terbuka dan majemuk.
Judul: Berpikir Majemuk dalam Matematika
Penulis : Iwan Pranoto dan Aditya F. Ihsan
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Cetakan : I, 2020
Tebal : xx + 176 hlm.
ISBN : 978-623-241-538-6
Sulit untuk dibantah bahwa matematika telah menjadi momok atau hantu bagi kebanyakan pelajar di Indonesia. Bahkan, hal itu seakan-akan merupakan fobia yang tidak mudah untuk dihilangkan. Mengapa demikian?
Buku yang ditulis oleh Iwan Pranoto dan Aditya F Ihsan ini memberi sebuah cara pandang (scenario) daripada hanya sekadar pandangan (scene) belaka. Artinya, melalui buku itu, hal dan masalah yang menghantui para siswa mengenai matematika dikaji sebagai ”produk gagal” dari pengajaran dalam dunia pendidikan, khususnya di Indonesia. Seperti apakah itu?
Contoh yang paling sederhana adalah keseragaman dalam pengajaran. Perkalian 2 dengan 3, misalnya. Kebanyakan yang dituntut untuk diketahui adalah hasilnya, yaitu 6. Namun, prosesnya hingga diperoleh hasil sejumlah itu diabaikan lantaran diandaikan mudah dan sudah diketahui. Pengandaian inilah yang membuat hasil lebih diutamakan ketimbang prosesnya.
Pengarusutamaan inilah yang membuat pembelajaran hanya sekadar mengandalkan hapalan atau ingatan belaka. Padahal, mekanisme mengingat seiring dan sejalan dengan melupakan. Jadi, tidak terjadi pembentukan kesadaran alias asal tahu saja tanpa dibarengi pencarian jejak-jejak pengetahuannya.
Dengan kata lain, tidak ada pengetahuan apa pun yang dipelajari karena rasa ingin tahu, apalagi meragui, ataupun bernalar kritis terhadap matematika hanya berhenti pada rumus-rumus belaka. Inilah yang mengakibatkan kemampuan berpikir dalam matematika terjebak dalam pandangan biner yang berintensi hitam ataupun putih alias benar atau salah.
Pandangan seperti itu jelas mengabaikan, bahkan meniadakan, keberagaman. Sebab, seakan-akan tidak ada cara ataupun jalan lain yang dapat ditempuh untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, kemungkinan atau probabilitas hanya menjadi bahasa kosong yang menodai atau mencemarkan kepastian.
Karena itulah, pengajaran matematika tampak terasa kaku dan beku dalam sajian angka-angka yang sebenarnya begitu amat terbatas. Hal ini mirip dengan praktik nasionalisme yang memungkinkan orang yang tidak pernah bertemu dan bertegur sapa rela mengorbankan nyawa orang lain, bahkan nyawanya sendiri, demi pembayangan yang serba terbatas.
Dan matematika, dengan segala rumus saktinya, agaknya bersaling silang dengan nasionalisme yang begitu disembah dan dimuliakan sampai titik darah penghabisan.
Maka, untuk sedikit merenggangkan genggaman teoretis dari matematika, buku ini ”mengajukan usulan langkah konkret membelajarkan berpikir majemuk melalui pembelajaran matematika” (hlm. vi). Artinya, matematika tidak harus dipelajari dengan corak yang seragam, abstrak, dingin, asing, dan tak bersahabat. Namun, hal itu justru perlu diajarkan seperti ketika menyantap ”gado-gado ataupun rujak” (hlm. 3).
Di situ setiap komponen yang ada dan membentuknya, seperti mangga muda, kedondong, ataupun mentimun, dapat dicecap dan dinikmati secara utuh. Dengan kata lain, pelajaran Matematika metode bernalar atau struktur berpikir yang tidak tunggal, bahkan seragam, dengan algoritma yang berupaya untuk mencoba berbagai kemungkinan.
Kemungkinan untuk memaknai angka atau lambang sesungguhnya bukanlah semata-mata berorientasi pada hasil akhir. Namun, hal itu adalah proses yang bukan untuk menjawab dengan benar, melainkan justru mengajukan beragam pertanyaan. Di sinilah pembelajaran matematika berintensi mengembangkan nalar, meski agak sukar dan berat, daripada sekadar penyelesaian yang bertujuan pragmatis, prosedural, dan meniru (hlm. 103).
Karena itu, dalam matematika, antara guru dan murid dituntut untuk saling belajar. Sebab ”...guru bukan dewa penentu kebenaran. Guru bukan pula hakim yang memutuskan satu pertanyaan salah atau benar” (hlm. 104). Dalam konteks ini, pembelajaran dengan berkiblat pada nalar, baik yang bergaya induktif maupun deduktif, menjadi kunci yang tak dapat diabaikan. Dengan demikian, pembelajaran, khususnya dalam matematika, tidak sekadar bernada prosedural, tetapi justru berpeluang untuk belajar bernalar (hlm. 111).
Dengan cara trial and error, atau coba-coba, nalar dalam pembelajaran matematika merupakan perangkat yang tidak saja mampu membangkitkan gairah belajar, tetapi juga memotivasi untuk mengembangkan beragam kreasi. Kreasi yang bersumber dari berbagai talenta yang sudah tertanam secara genetis itu dapat menjadi media pembelajaran yang tidak membosankan, tetapi justru menyenangkan. Bukankah hal itu adalah cita-cita yang selama ini masih sulit untuk dipraktikkan meskipun sudah kerap dibayangkan?
Memang, praktik pembelajaran matematika seperti di atas sampai saat ini masih tampak sebagai utopia belaka. Namun, sebenarnya sudah ada berbagai pengalaman yang membuktikan bahwa matematika dapat dipelajari melalui media apa pun juga. Salah satunya dengan kelereng yang kerap digunakan sebagai permainan di masa kanak-kanak.
Caranya dengan memanfaatkan kelereng yang sudah diwarnai, seperti merah, kuning, hijau, ataupun biru, dan memakainya untuk belajar tentang pola yang berulang dan berurutan. Contohnya, kelereng beraneka warna itu disusun berurutan menjadi M(erah), B(iru), B(iru), M(erah), B(iru), B(iru). Dengan susunan seperti itu, pembelajaran matematika dapat dilakukan dengan mengajukan pertanyaan: ”Warna apa kelereng yang ke-8?” dan dapat dilanjutkan dengan pertanyaan lain: ”Bagaimana kamu tahu warna kelerengnya?” (hlm. 130).
Tentu saja pertanyaan yang diajukan itu sesudah urutan kelereng berwarna-warni yang disusun berdasarkan pola tertentu dikenali dengan menyebutkan satu per satu. Proses penyebutan dapat dikreasi dalam bentuk nyanyian ataupun bentuk lain yang sekreatif mungkin. Demikianlah model pembelajaran dalam matematika yang dapat menjadi penawar untuk mengobati wabah ketunggalan yang sudah sedemikian merajalela.
Dengan model seperti di atas, pembelajaran matematika tampak memiliki sisi balik yang selama ini seolah-olah disembunyikan atau ditabiri dengan kepentingan sepihak tertentu. Jadi, melalui buku ini, tabir itu mulai dapat tersingkap dan menempatkan kembali matematika bukan sebagai pelajaran yang menggelisahkan, melainkan belajar untuk bernalar demi membangun masyarakat yang terbuka dan majemuk.
Sebab, hanya dalam masyarakat yang demikian, embrio hidup bersama yang dilandasi nilai-nilai mandiri/independen, tanpa pamrih (altruis), demokratis, nasionalis, dan revolusioner dapat tumbuh dan berkembang secara alami. Halo, halo, para guru dan orangtua sudah baca belum?
(A Windarto Peneliti di Lembaga Studi Realino, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta)