Pemuda Ganteng Itu Menjadi Tameng
Pierre Tendean, ajudan Jenderal Nasution, pun disergap. Konon di saat itulah, Pak Nas sedang meloncat ke pagar rumah sebelah milik Kedutaan Irak.
Judul: Sang Patriot. Kisah Seorang Pahlawan Revolusi
Biografi Resmi Pierre Tendean
Penulis: Abie Besman (Editor) Dkk
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Cetakan: Februari 2019
Tebal: XVI + 344 halaman
Harga: Rp 99.000.
Penyusun yang terdiri dari tujuh orang menulis pada Pengantar: ”Sosok Pierre sangat unik, sekaligus penting untuk dibaca dan dipelajari. Pilihan hidup Pierre memang membawanya jauh dari cita-cita yang digariskan kedua orangtuanya. Sejarah justru mencatat, pilihan Pierre tidak salah, bahkan membawa cita-citanya naik tingkat, Sampai saat ini nama Pierre justru tak pernah bisa dipisahkan dari perjalanan sejarah republik yang dicintainya ini.”
Sebuah Pengantar yang menggelitik untuk menggiring pembaca menekuni halaman-halaman berikutnya. Pierre adalah satu-satunya anak laki-laki dalam keluarga Dokter Tendean. Kedua kakak dan adiknya perempuan, yaitu Mitzy dan Roos. Ia dilahirkan di rumah sakit rakyat (CBZ namanya kala itu, kependekan dari Centrale Burgerlijke Ziekeninrichting) pada tanggal 21 Februari 1939
Ayahnya seorang dokter spesialis kejiwaan asal Minahasa, Tendean, dan ibunya perempuan Belanda asal kota Leiden yang konon keturunan Perancis, Maria Elizabeth Cornet. Sayang, kisah percintaan kedua orangtuanya tidak disinggung sama sekali, padahal mungkin menarik karena masa itu masih zaman penjajahan Belanda dan cerita tentang noni Belanda yang jatuh cinta pada pemuda Minahasa ini tentunya amat menarik untuk dieksplorasi lebih dalam.
Masa kecil Pierre berpindah-pindah mengikuti ”jabatan” ayahnya yang seorang ahli jiwa. Semula di Jakarta (dimana ia lahir), kemudian ke Tasikmalaya di mana ayahnya mendapat tugas membantu memberantas penyakit malaria. Kemudian ketika ayahnya sakit, mereka berpindah ke Cisarua. Namun, setelah sembuh, pak dokter memutuskan untuk tetap tinggal di Cisarua yang tak jauh dari kota Bogor, di Jawa Barat.
Pesan Buku: Buku Pierre Tendean: Sang Patriot, Kisah Seorang Pahlawan Revolusi
Tahun 1942 sebelum tentara Jepang mendarat di Indonesia, mereka sekeluarga pindah ke Magelang karena sang ayah mendapat tugas di Rumah Sakit Jiwa Keramat, Magelang, yang terletak di pinggir jalan antara Semarang dan Yogyakarta. Di kota inilah Pierre kecil bersama kedua saudara perempuannya bermain dan bergaul dengan anak-anak sebaya. Mulai dari membuat sendiri layang-layang untuk diterbangkan sampai bermain kelereng, salah satu permainan beken saat itu untuk anak laki-laki. Sayang di sini tidak disebutkan nama atau nama-nama teman sepermainannya. Mungkinkah di antara mereka ada yang menjadi prajurit juga, atau menjadi orang beken setelah dewasa?
Di Magelang ini pula keluarga Tendean mendapat musibah, yaitu dirampok oleh gerombolan ”sisa-sisa” PKI yang terlibat dalam peristiwa Madiun 1948. Kedua tangan sang ayah diikat dan kemudian dipaksa ikut dengan gerombolan itu (hlm 9). Dalam perjalanan, pak dokter berhasil melarikan diri dengan menceburkan diri ke Kali Manggis, dan ditembaki oleh gerombolan penculik hingga kakinya terkena tembakan. Kapan tepatnya peristiwa penculikan ini (hari dan bulannya), tidak disebut dalam buku.
Hanya ditulis bahwa untuk mengobati luka di kaki sang ayah, keluarga Tendean memutuskan untuk pindah ke Semarang supaya bisa berobat ke CBZ (sekarang RS Dr Karyadi), dan itu terjadi pada 1950.
Masa Taruna
Rupanya sejak remaja Pierre bercita-cita menjadi tentara, seperti dituturkan kakaknya, Mitzy, dan adiknya, Roos (hlm 29). Ada kemungkinan karena keluarga dokter Tendean cukup dekat dengan keluarga Jenderal Nasution. Konon kedua keluarga ini sudah akrab sejak lama, bahkan sebelum Pierre lahir.
Namun, jalan untuk menempuh cita-cita ini tidaklah mudah karena sang ayah menginginkan Piere mengambil studi kedokteran seperti dirinya, hingga beliau menghubungi Dokter Yohanes Leimena (Perdana Menteri saat itu) dan Prof Slamet Iman Santoso (Guru Besar Psikiatri UI) untuk mendapatkan surat rekomendasi.
Namun, Piere menganggap menjadi dokter itu bukan cita-citanya. Ia pun mengerjakan tes dengan asal-asalan dan, benar, ia tidak diterima di UI dan ITB.
Singkatnya, dengan pertolongan Jenderal Nasution, yang menganjurkannya masuk ke Akademi Genie Angkatan Darat (Agiad) yang kemudian berubah namanya menjadi Akademi Zeni Angkatan Darat (Akziad), Pierre mengikuti ujian masuk Taruna di Agiad pada pertengahan tahun 1958. Setelah melalui berbagai tes, Pierre akhirnya diterima sebagai taruna Akziad/Atekad, angkatan keenam, di Hegarmanah Bandung pada November 1958.
Kisah awal Pierre di akademi ini, perploncoan yang dijalani selama 10 hari dan pertemanannya dengan Dradjad sampai pada malam inaugurasi pada 6 Desember 1958 dituliskan dengan rinci dan cukup menarik. Antara lain keterkejutan Dradjad (sesama plonco) yang melihat sosok Pierre yang bule, tetapi fasih berbahasa Jawa, juga bagaimana Ibunda dan kakak Pierre terharu mendengar selama perploncoan Pierre melewati aneka cobaan seperti merayap di atas bongkahan es dengan telanjang dada sepanjang 30 meter.
Setelah melewati masa perploncoan, tahap berikutnya yang harus dilalui adalah latihan dasar kemiliteran yang berlangsung selama tiga bulan. Latihan yang tidak hanya menguras fisik namun juga membutuhkan mental yang prima. Walaupun tidak mudah, tetapi Pierre yang memang sosoknya atletis (selagi SMA dia gemar berolahraga, renang, tenis, terutama basket) dengan tinggi badan 170 sentimeter dan berat 63,9 kilogram dapat melewatinya dengan baik.
Yang menarik selama menjalankan latihan dasar ini, para taruna tidak boleh ditengok. Namun, ternyata seminggu sekali sang Ibunda datang ke Bandung, dan membawakan kue-kue (menggunakan jasa transportasi 4848 yang beken di waktu itu), sambil menanyakan keadaan putranya. Selama masa latihan itu pula, ternyata kedua orangtuanya masih memintanya untuk berkarier di bidang lain dan meninggalkan dunia kemiliteran, yang mereka sampaikan lewat surat-surat.
Selama masa latihan itu pula, ternyata kedua orangtuanya, masih memintanya untuk berkarier di bidang lain dan meninggalkan dunia kemiliteran.
Tanggal 1 April 1959, Pierre menjadi kopral taruna. Lalu pada bulan Oktober di tahun yang sama ia menyelesaikan ujian dari tingkat I untuk naik ke tingkat II. Pada Agustus (mungkin tahun berikutnya karena tidak dicantumkan dalam buku, hlm 45), Pierre dan semua taruna Zeni AD diberangkatkan ke medan operasi di Sumatera untuk menumpas PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia), yang dipimpin Kolonel Ahmad Yani.
Semasa menjadi taruna, rekan-rekannya tidak melihat Pierre dekat dengan seseorang, walaupun ia banyak dikagumi siswi-siswi SMA Negeri di Jalan Dago, Bandung. Tidak hanya itu, banyak pula mahasiswi IKIP yang sering datang mencari Pierre di Atekad. Namun, kalau ia ditanya oleh rekan-rekannya, Pierre menjawab bahwa ia mengajar bahasa Indonesia di IKIP.
Pada 19 Desember 1961, di Alun-alun Utara Yogyakarta, dengan pakaian serba putih 144 pemuda yang masuk Atekad pada 1958 telah menjadi perwira muda dengan pangkat Letnan Dua. Mereka dilantik bersama dengan taruna dari AMN Magelang. Pelantikan itu terasa istimewa, bukan karena Presiden Soekarno yang melantik didampingi oleh Kasad Jenderal Nasution, tetapi karena pelantikan itu bersamaan dengan rapat raksasa yang dipenuhi oleh masyarakat di alun-alun. Rapat itu mencanangkan Trikora (Tri Komando Rakyat) yang ditandai dengan Presiden Soekarno menandatangani naskah Trikora di atas podium.
Keesokan harinya para taruna yang telah dilantik sebagai Letnan Dua oleh Presiden, diambil sumpahnya oleh Wakasad Letjen TNI Gatot Subroto. Maka dimulailah karier perwira Pierre Tendean dengan pangkat Letnan Dua Korps Zeni AD dengan NRP 18681
Karier dan Kekasih
Tanggal 13 Desember 1962, enam perwira remaja ditugaskan dalam satuan Batalyon Zeni Tempur 1 Daerah Militer II/Bukit Barisan. Di antara enam orang itu, ada Pierre, yang berangkat ke Medan, pada Januari 1963.
Rupanya, di Medan itulah Pierre menemukan gadis cantik, namanya Rukmini Chamim yang juga menjadi kembang di antara para perwira lain. Panggilan si manis ini Mimin, anak sulung dari empat bersaudara putri bapak Raden Chamim Rijo Siswopranoto, yang kelahirannya sudah dinanti selama sepuluh tahun oleh pasangan ini. Ia terpaut delapan tahun usianya dengan Pierre dan masih duduk di bangku SMA tatkala berkenalan dengan Pierre (hlm 99).
Keduanya memiliki hobi yang sama, yaitu olahraga. Mimin bahkan bisa dikatakan jago berenang karena beberapa kali mengikuti aneka perlombaan.
Dua sejoli ini jatuh cinta, bahkan setelah Pierre tidak tinggal di Medan lagi, keduanya masih berhubungan ”jarak jauh”. Bukan lewat surat, tetapi atas saran rekannya, Pierre merekam kata-kata untuk sang kekasih. Saat itu keduanya menyadari bahwa ada perbedaan agama. Mimin seorang Muslim sedangkan Pierre penganut Kristen. Tetapi, Pierre tetap berhubungan dengan Mimin, ketika ia ditugaskan di perbatasan Kepulauan Riau dalam Operasi Drikora, bahkan juga katika sudah menjadi ajudan Jenderal Nasution, pada saat cuti, ia akan memilih pergi ke Medan.
Hanya enam bulan Pierre bertugas di sana dan selama itu ia rajin mengirim surat kepada orangtuanya di Semarang, menceritakan segala yang dialaminya, seperti sering diminta sebagai penerjemah ketika atasannya menerima tamu dari negara lain.
Bulan Juli 1963, ia dipanggil untuk mengikuti latihan di Pusat Pendidikan Intelijen (Pusdikintel) TNI AD di Bogor. Nantinya Pierre juga dilibatkan dalam operasi penyusupan ke Malaysia, bahkan sampai tiga kali. Yang pertama kali ia menyamar sebagai wisatawan, yang kedua ia dapat merebut senjata dan teropong dari tangan musuh, dan yang ketiga mereka dipergoki oleh kapal perang Inggris. Di tengah pengejaran itu, Pierre nekat turun dengan speedboat dan berenang menuju sebuah perahu nelayan. Berhari-hari ia memegang perahu itu dari belakang sebelum akhirnya dapat lolos dari pengejaran kapal Inggris itu.
Di tengah pengejaran itu, Pierre nekat turun dengan speedboat dan berenang menuju sebuah perahu nelayan.
Rupanya keberaniannya selama menjalani Operasi Dwikora itu menjadi perbincangan para ”elite” TNI AD, antara lain Jenderal GPH Djatikusumo yang berkata, ”Saya senang sekali pada Pierre. Saya bangga mempunyai anak buah seperti dia.”
Sementara keluarganya, terutama ibunya sangat mencemaskan keadaan Pierre terutama saat masih bertugas dalam Operasi Dwikora. Ibunya menginginkan Pierre ditarik dan bertugas di Jakarta saja. Pucuk dicinta ulam tiba, Menko Hankam/Kasab saat itu adalah Jenderal Nasution yang tak lain kenalan dekat keluarga Pierre, sedang kekurangan ajudan karena Kapten Gustav Adolf Manullang gugur dalam sebuah operasi di Kongo.
Yang dibutuhkan oleh Pak Nas adalah seseorang yang dapat membantu administrasi, sekaligus membantu segala urusan sehari-hari. Orang tersebut harus bisa dipercaya karena situasi politik saat itu agak panas. Maka pilihan jatuh pada Pierre. Sebenarnya ada dua jenderal lain yang juga menginginkan Pierre menjadi ajudannya, yaitu Mayjen Dandy Kadarsan, Direktur Zeni kala itu, dan Mayjen Hartawan, Direktur Zeni sebelumnya.
Ajal Menjemput
Mulailah Pierre bertugas di Jalan Teuku Umar 40, setelah pangkatnya dinaikkan menjadi Letnan Satu seperti keharusan para ajudan. Pierre menjadi ajudan paling muda, tetapi paling gesit. Di daerah Menteng, Pierre dikenal sebagai ”londo Jowo” karena tampang Indonya, tetapi fasih berbahasa Jawa.
Awal Juli 1965 Pierre kembali ke Semarang karena adiknya, Roos, menikah dengan Yusuf yang berbeda keyakinan. (Mungkin pernikahan adiknya ini menjadi inspirasi bagi Pierre yang konon merencanakan menikah dengan kekasihnya, Mimin, pada bulan Desember 1965).
Ternyata kepulangannya untuk menghadiri pernikahan adiknya itu menjadi kepulangan terakhir Pierre ke Semarang. Di dalam buku terdapat foto Pierre berdua bersama Ade Irma (hlm 116) di kamar pengantin adiknya, seolah ada firasat akan peristiwa yang akan menimpa dirinya dan Ade Irma.
Pada hari 30 September 1965 malam, di rumah Jenderal Nasution berkumpul beberapa taruna (mereka bersama dengan taruna Angkatan Laut, Udara dan Kepolisian berada di Jakarta untuk mempersiapkan Parade Hari ABRI tanggal 5 Oktober).
Menjelang subuh, tepatnya pukul 04.00 sepasukan penculik yang didahului oleh 4 orang Tjakrabirawa yang mengucapkan ”selamat malam” pada para penjaga rumah Pak Nas, masuk dan langsung menyekap semua penjaga rumah, baik yang bangun maupun yang sedang tidur.
Saat itu, yang berada di dalam kamar Jenderal Nasution selain Ibu Nas adalah si bungsu, Ade Irma. Mendengar kegaduhan di luar, dan suara kamar kerja Pak Nas dibuka dengan paksa, Bu Nas menghalangi niat Pak Nas untuk keluar dan berbicara sendiri dengan pasukan yang ada di luar. Saat itu Ade Irma sudah dibawa Mardiah (adik bungsu Pak Nas) dengan tujuan untuk diselamatkan. Namun, naas karena gugup, Mardiah justru membuka pintu dimana para anggota Tjakrabirawa sudah menunggu. Maka dilepaskanlah tembakan oleh para penyerbu itu dan mengenai perut Ade Irma.
Kemudian Pak Nas lari ke luar ke samping rumah, memanjat tembok rumah sebelah, yaitu milik Kedutaan Irak, disusul Bu Nas yang baru sadar bahwa Ade Irma berdarah-darah pada perut dan pahanya.
Yanti, putri sulung Pak Nas yang semula mengira AC di kamar orangtuanya meledak, saat mendengar suara tembakan, membangunkan Alpiah, pengasuh Ade Irma, yang malam itu tidur di kamarnya. Mereka berdua melompat dari jendela menuju ke arah paviliun yang terletak di belakang. Di paviliun itu ia melihat banyak tentara yang mengenakan seragam seperti pengawal ayahnya yang menyuruhnya masuk ke dalam, di mana ada Pierre dan Hamdan Mansyur, ajudan yang bertugas jaga malam itu.
Pierre langsung mengenakan jaket dan mengambil senjatanya bersiap untuk keluar. Yanti sempat mencegahnya. Juga Hamdan, mengingat situasi sangat berbahaya.
Pierre bertanya pada Tjakrabirawa: ”Ada apa?”
Mereka bertanya, ”Mana Nasution?
Pierre menjawab, ”Saya ajudan Nasution.”
Mungkin mereka mendengarnya ”Saya Nasution.”
Pierre pun disergap. Konon di saat itulah, Pak Nas sedang meloncat ke pagar rumah sebelah. Menurut Hamdan, setelah disergap, Pierre diikat kedua tangannya dan didudukkan di bawah pohon di halaman yang menghadap paviliun. Kepada para penjaga yang telah dilucuti senjatanya, mereka bertanya, ”Apakah betul ini Jenderal Nasution?” tetapi para penjaga tidak berani menjawab.
Pada dini hari 1 Oktober itu, Piere dibawa dengan truk ke Lubang Buaya, di mana ajal menjemputnya.
Lebih baik dikurangi
Sampai dengan Bab 7 buku ini cukup menarik. Kisah perwira Indo yang ganteng ini ditulis dengan cukup detail, disertai foto-foto yang ”berbicara”. Sayang di Bab 8 dan 9, pengungkapan kematian, wawancara Mitzy dengan penghuni LP Bukit Duri, ”fakta-fakta” persidangan di Mahmilub, terasa berkepanjangan.
Lagipula situasi saat itu tidak bisa tidak akan menghasilkan jawaban seperti yang didapat Mitzy (wawancara dilakukan berdasarkan surat kuasa yang berlaku dari April hingga Juni 1967). Apakah ”pengakuan” 14 anggota Gerwani itu benar seperti yang dikatakannya, hanya Tuhan yang tahu.
Apabila buku ini akan dicetak ulang, mungkin dapat dipertimbangkan bagian akhir bisa dipersingkat karena yang ingin diketahui publik mungkin lebih pada perjalanan hidup Pierre yang singkat, masa kecil hingga remaja, hobinya, kegesitannya, sifat berbelarasa pada teman dan keberaniannya di saat bertugas, yang semuanya sudah ada di dalam buku ini.
Sedikit kritik untuk penerbit, mengapa hanya di bab 1, 2 dan 3 yang diberi Pengantar sebelum masuk ke ”body” tulisan, sementara di bab-bab selanjutnya tidak diberikan. Juga teks foto, hurufnya terlampau kecil, mungkin bisa diperbesar sedikit.
Secara keseluruhan, buku yang mengisahkan perwira muda yang di akhir hidupnya menjadi korban gara-gara ketidaktahuan gerombolan penculik ini, cukup menarik untuk dikoleksi.