”Dia Gayatri”, Perempuan yang Membentuk Kepribadian Majapahit
Wartawan Kompas 1982-2017 Bre Redana mengeluarkan buku ”Dia Gayatri”. Novel ini berkisah tentang Ibu Suri Gayatri Rajapatni dalam balutan fiksi dan sejarah.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·5 menit baca
Beberapa kali Bre Redana, novelis yang juga mantan wartawan Kompas, bilang agar kita tidak melupakan dongeng, cerita rakyat, mitologi. Nanti manusia bisa jadi forgetting being atau manusia pelupa—seperti kata Milan Kundera. Peringatan Bre itu karena bagi dia, dongeng menyimpan gurat kenyataan yang tak tampak.
Contoh kenyataan yang tampak adalah berita yang diracik dengan formula 5W+1H (what, who, when, where, why, how). Yang ditulis harus berbasis pada fakta. Ini yang ditekuni Bre selama menjadi wartawan Kompas 1982-2017. Begitu pensiun, ia banyak berpikir soal ”melihat apa yang tidak terlihat”, tidak sekadar fakta yang kelihatan.
”Masalahnya ada pada memori manusia. Memori tidak hanya terbentuk oleh fakta yang kelihatan, tapi juga yang tidak kelihatan. Kenyataan pun demikian,” kata Bre saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (27/11/2020).
Hari itu ia meluncurkan novel fiksi Dia Gayatri secara virtual. Buku itu hasil meramu sejarah dan imajinasi yang ditulis selama tiga bulan. Namun, proses kreatifnya sebenarnya berjalan sejak 30 tahun lalu.
Ketertarikan Bre terhadap kerajaan Majapahit membawanya masuk-keluar Museum Trowulan di Mojokerto, perpustakaan, candi, dan pertunjukan-pertunjukan seni. Dia Gayatri, novelsetebal 210 halaman, berkisah tentang Gayatri Rajapatni, istri raja Majapahit pertama, Raden Wijaya yang kemudian namanya menjadi Kertarajasa Jayawardhana. Gayatri disebut sebagai perempuan di balik kejayaan Majapahit.
Masalahnya ada pada memori manusia. Memori tidak hanya terbentuk oleh fakta yang kelihatan, tapi juga yang tidak kelihatan. Kenyataan pun demikian.
Gayatri putri bungsu Raja Kertanegara, raja terakhir yang menguasai Singasari sebelum kerajaan itu habis diserang pasukan Mongol dan Kediri. Di antara empat putri Raja Kertanegara, Gayatri yang paling dikasihi. Ia tidak hanya rupawan, tetapi juga cerdas, berpikiran luas, serta visioner.
Raja kerap meluangkan waktu untuk bicara soal politik dan kebudayaan dengan sang putri. Dari obrolan itu, Gayatri menangkap cita-cita ayahnya untuk menyatukan Nusantara.
Cita-cita Raja Kertanegara putus setelah ia bersama sang permaisuri Sri Bajradewi dibunuh pasukan Mongol. Kediri kemudian menduduki Singasari. Gayatri dalam hati bertekat merebut kembali kejayaan Singasari. Tekat itu dipupuk dan diwujudkan bersama Raden Wijaya, kakak ipar Gayatri yang kelak menjadi suaminya. Majapahit pun berdiri.
”Gagasan Nusantara atau Sumpah Palapa selama ini kita tahu disampaikan Gadjah Mada di era Hayam Wuruk, penguasa Majapahit keempat. Mengapa baru di era keempat? Mengapa tidak di era penguasa sebelumnya? Padahal gagasan Nusantara pertama kali disampaikan Raja Kertanegara,” kata Bre.
Setelahnya ia menemukan Gayatri sebagai benang merah. Gayatri yang membawa cita-cita Nusantara dari zaman ayahnya berkuasa hingga Gadjah Mada akhirnya mengucapkan Sumpah Palapa. Adapun Gadjah Mada adalah tangan kanan Gayatri.
Cita-cita itu dibawa Gayatri dari masa penguasa pertama Majapahit, Kertarajasa Jayawardhana. Kemudian ke penguasa kedua—anak tiri Gayatri—bernama Jayanagara, penguasa ketiga Tribhuwana Tunggadewi yang adalah putri sulung Gayatri, hingga penguasa keempat Hayam Wuruk yang adalah cucunya.
Nyaris semua yang terjadi di Majapahit dari masa ke masa sejatinya berangkat dari pemikiran dan restu Gayatri. Ibu Suri Gayatri Rajapatni pula yang mendidik dan membentuk kepribadian penguasa Majapahit, kecuali Jayanagara, anak tirinya.
”Tugas penulis novel adalah mengarang,” ucap Bre. ”Menulis novel tidak sama dengan menulis sejarah. Novelis berhak menceritakan motif, kepribadian, impian, dan pikiran tokoh yang tidak tecermin di perbuatan,” tambahnya.
Dia Gayatri ditulis dengan menghimpun informasi sejak 1990, dihubungkan dengan nalar, diramu dengan imajinasi, lalu dituturkan melalui tokoh tukang cerita (tanpa huruf kapital) dengan bebas. Bre menyebut novelnya cerita yang bisa dipertanggungjawabkan.
”Nalarnya bisa dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, pembaca bisa menikmati dan merasa bahwa fiksi itu nyata,” ujar Bre.
Menulis novel tidak sama dengan menulis sejarah. Novelis berhak menceritakan motif, kepribadian, impian, dan pikiran tokoh yang tidak tecermin di perbuatan.
Kembali ke gagasan Nusantara. Bre mengatakan, konsep Nusantara selalu ia pikirkan. Sejatinya negara ini berdiri dengan pemahaman sebagai negeri yang subur, kaya, punya kearifan lokal, dan inklusif. Nusantara di masa sekarang kerap terancam dengan kelompok tertentu yang mau Indonesia seragam. Kelompok yang memaksakan kehendak.
Mau sampai kapan pun, problem negara sebenarnya tidak jauh-jauh dari masalah sosial, prasangka rasial, perbedaan agama, dan intoleransi. Masalah itu boleh dikisahkan dalam beragam versi, baik sejarah, fiksi, maupun berita di koran. Semuanya tetap akan aktual.
Problem itu tidak akan jadi ilusi walau disampaikan melalui dongeng. Sebab, dongeng (nyaris) selalu disusupi kebenaran yang tidak tampak. Kesadaran manusia dibentuk oleh hal yang tampak dan tidak tampak. Itu pesan si penulis.
Fakta dan fiksi
Pegiat literasi di Solo Hartono Rakiman pada peluncuran buku mengatakan, Dia Gayatri bicara soal dua realitas, yaitu fakta dan fiksi. Menurut dia, fakta tidak selalu bisa dipegang. Ia meyakini bahwa fakta yang disiarkan biasanya berangkat dari satu pihak. Ada fakta lain yang tidak tampak.
”Fakta lebih masuk (ke alam pikiran) dalam bentuk cerita ketimbang perintah,” kata Hartono.
Dia Gayatri ia sebut sejarah dalam dongeng. Hal yang sama juga berlaku buat buku Majapahit Milenia yang ditulis Bre dan terbit pada 2019. Hartono mengatakan, kedua buku itu berkaitan. Majapahit Milenia bercerita tentang kejatuhan Majapahit, sedangkan Dia Gayatri tentang awal mula Majapahit.
”Ini novel tentang politik kekuasaan, tapi ada nilai keberagaman atau Bhineka Tunggal Ika di dalamnya,” lanjut Hartono.
Bre setuju. Dia Gayatri adalah ”adik” Majapahit Milenia. Kisah Majapahit akan ditulis jadi tetralogi. Nanti ada dua buku lanjutannya.
Sastrawan dan pegiat budaya Linda Christanty mengatakan, Dia Gayatri adalah cerita yang kompleks, tetapi menarik dan enak dibaca. Kompleks karena alur ceritanya maju-mundur. Dari cerita perempuan modern di London, ke cerita Gayatri di abad ke-13 di Jawa, kembali lagi ke abad ke-21, terlempar lagi ke belakang.
”Ada lapisan-lapisan yang mengejutkan di cerita ini,” ujar Linda. ”Lompatan ceritanya mengingatkan kita bahwa ini fantasi. Ada beberapa yang mengejutkan seperti mobil bisa bicara, tapi kita bisa menerima ini sebagai kewajaran saat membacanya.”