Perketat Baku Mutu Udara demi Warga
Pedoman baku mutu udara ambien untuk polutan PM 2,5 Indonesia di bawah WHO. Pengetatan membuat warga menikmati udara lebih sehat.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F09%2F03%2Fcbe6b99e-d409-4428-b133-1638f5306cad_jpg.jpg)
Kabut polusi menyelimuti langit Jakarta yang sedang menjadi tuan rumah KTT ASEAN 43, Minggu (3/9/2023).
Pedoman Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO untuk ambang batas polutan PM 2,5 tahunan yang lebih ketat, dapat menyelamatkan lebih banyak warga di berbagai kota di Indonesia. Jika pedoman WHO diterapkan, 99,4 persen warga kota di Indonesia atau 64,5 juta jiwa punya harapan hidup lebih lama.
Jika menggunakan ambang batas PM 2,5 tahunan versi pemerintah, hanya 91,3 persen warga kota di Indonesia atau 60,1 juta jiwa memiliki harapan hidup lebih lama.
Angka harapan hidup ini merupakan rata-rata perkiraan banyak tahun yang dapat dialami seseorang sejak lahir. Angka harapan hidup juga dijadikan bahan evaluasi terhadap kinerja pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan warganya.
Terkait baku mutu PM 2,5 tahunan, Indonesia menggunakan batas maksimal 15 µg per m3 (mikrogram per meter kubik) sesuai Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jauh di atas pedoman baku mutu udara WHO, yakni sebesar 5 µg per m3.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F11%2F24%2F5e55cb8f-0a6a-40a1-87f5-e4e54473e4c2_jpg.jpg)
Ilustrasi: Masker digunakan, di antaranya untuk mengurangi gangguan dari polusi bau.
Hilangnya angka harapan hidup ini mengacu Energy Policy Institute dari University of Chicago AS. Setiap peningkatan PM 2,5 sebesar 10 µg/m3 di atas baku mutu di suatu wilayah diyakini akan menyebabkan pengurangan angka harapan hidup sebanyak 0,98 tahun.
Kompas mengombinasikan data satelit multitemporal PM 2,5 dari Socioeconomic Data and Applications Center (SEDAC) tahun 1998-2020 dan data penduduk dari Global Human Settlement Layer (GHSL) tahun 2020 untuk mengetahui rata-rata hilangnya angka harapan hidup di 98 kota di Indonesia.
Hasil analisis Kompas menunjukkan rata-rata angka pengurangan harapan hidup di setiap kota bervariasi. Paling tinggi, di Kota Depok, Jawa Barat, dengan rata-rata pengurangan harapan hidup hingga 6,6 tahun. Artinya rata-rata kondisi polutan PM 2,5 tahunan di Kota Depok lebih dari enam kali baku mutu PM 2,5 tahunan versi Indonesia.
Jika baku mutu PM 2,5 tahunan diperketat sesuai pedoman WHO, warga Depok dapat hidup lebih lama, yakni 7,6 tahun.
Adapun bagi Kota Sabang, Aceh, harapan hidup mayoritas warganya tidak berkurang karena menghirup udara dalam batas sehat dengan kadar PM 2,5 antara 5-15 µg/m3. Apabila mengikuti pedoman baku mutu WHO, usia warga Kota Sabang bisa lebih panjang lagi satu tahun.
Baca juga : Warga Kota Indonesia Hidup dengan Polusi Udara

Pedoman WHO
Pedoman WHO untuk polutan PM 2,5 tahunan sebesar 5 µg/m3 ini juga sebetulnya merupakan pengetatan dari sebelumnya di level 10 µg/m3. Pedoman yang baru ini ditetapkan pada 22 September 2021, memperbarui pedoman WHO tahun 2005, yang saat itu menjadi pedoman kualitas udara global pertama di dunia.
Pembaruan pedoman kualitas udara ini berdasarkan sejumlah bukti ilmiah di negara-negara maju dengan udara lebih bersih, efek negatif terhadap kesehatan ternyata sudah muncul dalam tingkat polusi udara yang jauh lebih rendah daripada diduga sebelumnya.
Menurut analisis WHO, apabila tingkat polusi udara di dunia bisa disesuaikan dengan pedoman baru, 80 persen kematian akibat PM 2,5 dapat dicegah.

Baca juga : Mimpi Buruk Saat Langit Tak Lagi Biru
Pengetatan baku mutu ambien WHO terbaru ini sudah seharusnya diterapkan di Indonesia. Apalagi hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memenangkan gugatan warga negara (citizen lawsuit) sesuai putusan PN Jakarta Pusat Nomor 374/Pdt.G/LH/2019/PN Jkt.Pst.
Salah satu keputusan pengadilan adalah menghukum Tergugat I Presiden RI dan Tergugat V Gubernur DKI Jakarta mengetatkan Baku Mutu Udara Ambien Nasional yang cukup untuk melindungi kesehatan manusia, lingkungan, dan ekosistem, termasuk kesehatan populasi yang sensitif.
Merujuk Laporan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam Rapat Terbatas Kabinet untuk mengatasi polusi udara Jabodetabek, pemerintah sudah menindaklanjuti keputusan pengadilan untuk mengetatkan baku mutu udara ambien nasional dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah No 22 Tahun 2021.

Aktivis Gerakan Jeda Untuk Iklim aksi damai sebelum dimulainya sidang pembacaan putusan gugatan polusi udara di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (16/9/2021).
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) berpendapat, Indonesia telah masuk dalam interim target atau target sementara dari WHO.
Ada empat interim target yang ditetapkan WHO, yakni Interim Target 1 atau IT-1 sebesar 35 μg/m3 per tahun, IT-2 (25 μg/m3), IT-3 (15 μg/m3), dan IT-4 (10 μg/m3). Adapun untuk harian atau 24 jam, IT-1 ditetapkan 75 μg/m3, IT-2 (50 μg/m3), IT-3 (37,5 μg/m3), dan IT-4 (25 g/m3).
Baku mutu udara ambien Indonesia artinya sudah mirip dengan IT-3 untuk tahunan dan IT-2 untuk harian.
Hingga kini, bisa jadi belum ada negara yang sama seperti WHO untuk regulasi baku mutu udara ambien 5 μg/m3 untuk tahunan. ”Standar Australia saja, misalnya, itu 8 μg/m3," kata Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK Sigit Reliantoro saat ditemui di kantornya di Jakarta, Senin (19/9/2023).
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F08%2F21%2F2ab7fbbd-e268-496e-8ebc-f1cc653339a2_jpg.jpg)
Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Sigit Reliantoro,
Lebih ambisius
Guru Besar Teknik Lingkungan Institut Teknologi Bandung, Puji Lestari, mengatakan, keberadaan sejumlah instrumen seperti penetapan baku mutu ambien dan ISPU sudah benar arahnya.
Namun, menurut dia, upaya-upaya tersebut bisa lebih ambisius. ”Ini agar intervensi kebijakan yang dilakukan pemerintah dapat terasa lebih besar,” kata Puji.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F09%2F11%2F730bab0e-e924-49e4-8559-d3a9e66219cb_jpg.jpg)
Guru besar teknik lingkungan Institut Teknologi Bandung Prof Puji Lestari ketika diwawancarai Kompas di kediamannya di Kota Bandung, Jumat (11/8/2023).
Peneliti pencemaran udara, yang juga pengajar tamu Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Esrom Hamonangan Panjaitan, berpendapat, nilai ambang batas baku mutu ambien tahunan dan standar pencemaran udara harian Indonesia masih terlalu longgar. Dia berharap, jika standar kualitas udara Indonesia sesuai pedoman WHO, upaya pemerintah juga harus mencerminkan peningkatan standar tersebut.
Ketua Umum Pengurus YLBHI Muhammad Isnur menambahkan, meski baku mutu udara ambien Indonesia dalam PP Nomor 22/2021 sudah lebih baik dibandingkan PP Nomor 41/1999. Namun, aturan itu belum cukup melindungi kesehatan warga. ”Hampir semua parameter cukup jauh melampaui panduan WHO 2005 maupun termutakhir tahun 2021,” kata Isnur, yang juga kuasa hukum gugatan warga untuk udara bersih.
Baca juga : Tingkatkan Baku Mutu Kualitas Udara Sesuai Standar WHO