logo Kompas.id
Bebas AksesBrasil Bisa Jadi Alternatif...
Iklan

Brasil Bisa Jadi Alternatif Sumber Sapi

Guna mengurangi kebergantungan pada Australia, RI dinilai perlu menimbang negara lain sebagai sumber sapi bakalan dan indukan. Brasil dianggap bisa jadi sumber alternatif.

Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
· 4 menit baca
Peternak memeriksa sambil memberikan pakan rumput kepada sejumlah Sapi Pasundan di Desa Mekarbuana, Kecamatan Panawangan, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Sabtu (17/6/2023).
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA

Peternak memeriksa sambil memberikan pakan rumput kepada sejumlah Sapi Pasundan di Desa Mekarbuana, Kecamatan Panawangan, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Sabtu (17/6/2023).

JAKARTA, KOMPAS –Selain mengutamakan sapi bakalan atau betina produktif ketimbang daging beku, Indonesia dinilai perlu menimbang sumber alternatif impor sapi di luar Australia. Dengan demikian, peternak dan pelaku usaha di dalam negeri berpeluang mendapatkan nilai tambah sekaligus alternatif sapi bakalan yang kompetitif.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2021 menunjukkan, sekitar 45 persen daging sapi impor Indonesia didatangkan dari Australia. Dari total impor daging sapi RI yang mencapai 273.532 ton, sebanyak 122.863 ton di antaranya berasal dari Australia. Tingginya kebergantungan Indonesia pada Australia juga tergambar dari banyaknya impor sapi hidup. Merujuk data Departemen Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan Australia, setiap tahun lebih dari separuh dari total ekspor sapi hidup Australia dikirim ke Indonesia.

Direktur Eksekutif Gabungan Pelaku Usaha Sapi Potong Indonesia (Gapuspindo) Joni Liano berpendapat, RI memiliki alternatif selain Australia sebagai asal impor sapi indukan dan bakalan. Brasil, contohnya, cocok dari segi jenis atau spesies sapi untuk wilayah kawasan tropis.

”Saat ini, pemerintah tengah menjajaki kerja sama dengan negara lain seperti Brasil. Prosesnya (penjajakan kerja sama) kini mencapai penyesuaian protokol kesehatan dengan skema ’G to G’ (government-to-government),” ujarnya saat dihubungi di Jakarta, Senin (19/6/2023).

Baca Juga: Mencari Alternatif Impor Sapi Hidup

https://cdn-assetd.kompas.id/9TOpEDfL6PnkMytOLmsm0_y7tWI=/1024x2355/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F03%2F23%2F04aef6d0-5ffe-407d-8943-bf648aa10308_png.png

Menurut dia, sapi Brasil dominan ”berdarah” India yang dikenal mampu beradaptasi dengan cuaca panas seperti di Indonesia. Secara alami, jenis sapi tersebut juga relatif tahan terhadap penyakit tropis karena perbaikan genetik melalui seleksi pemuliaan di Brasil.

Mengutip data Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) per April 2023, Brasil memiliki tingkat produktivitas sapi tertinggi di dunia, yakni sebesar 10,57 juta ton karkas dan peringkat dua global jumlah sapi terbanyak yaitu 194,36 juta ekor. Sementara itu, total sapi yang diekspor berjumlah 175.000 ekor.

”Lebih dari 30 tahun Indonesia hanya bergantung dan mengimpor sapi hidup dari Australia. Kondisi itu membuat Australia menjadi single supplier dan tidak baik dari segi bisnis,” kata Joni.

Oleh karena itu, dia menilai pemerintah perlu membuka alternatif negara lain untuk impor sapi hidup. Pada saat bersamaan, hal itu perlu didukung dengan regulasi terkait peternakan. Regulasi tersebut bisa mencakup impor yang terukur dan dikaitkan pada defisit konsumsi daging masyarakat Indonesia.

Kebutuhan impor sapi hidup, kata Joni, harus berorientasi swasembada daging sapi, sesuai cita-cita nasional. Dengan mengimpor sapi hidup, penggemukan akan dilakukan di Indonesia sehingga melahirkan efek berganda (multiplier effect) berupa penciptaan lapangan kerja, pemanfaatan pakan lokal, peningkatan ekonomi penduduk sekitar, dan lain sebagainya.

Baca Juga: Upaya Meningkatkan Populasi Sapi Nasional

Pedagang daging sapi sedang melayani permintaan pembeli di Pasar Jatinegara, Jakarta Timur, Minggu (9/10/2022).
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Pedagang daging sapi sedang melayani permintaan pembeli di Pasar Jatinegara, Jakarta Timur, Minggu (9/10/2022).

Joko Iriantono, pengusaha peternakan sapi di Lampung telah menggeluti usaha ternak sapi potong hampir selama 35 tahun, menyatakan, stok sapi yang dimilikinya rata-rata impor dari Australia akibat ketersediaan lokal yang terbatas.

”Saat ini, populasi sapi di Australia sedang menurun akibat musim kemarau dan perang Rusia-Ukraina membuat harga minyak dunia naik. Dua hal tersebut membuat harga sapi dari Australia juga ikut naik. Kondisi seperti ini jadi yang terburuk selama 35 tahun saya beternak,” ujar Joko yang juga menjabat Ketua Umum Gabungan Pelaku dan Pemerhati Sistem Integrasi Sapi Kelapa Sawit (Gapensiska).

Iklan

Sebagai alternatif Australia, dia juga memperhitungkan sapi asal Brasil, Meksiko, dan sejumlah negara lain. Meksiko memiliki stok sapi terbesar ketujuh di dunia, yaitu 17,85 juta ekor (USDA, April 2023). Kendati begitu, kedua negara cukup jauh jarang distribusi logistiknya.

Selain itu, Undang-undang Cipta Kerja juga menyatakan impor ternak indukan mesti berasal dari negara yang bebas penyakit hewan menular. Baik Brasil maupun Meksiko, ungkap Joko, sebagian wilayah asal sapinya belum memenuhi aturan tersebut.

Baca juga: Nasib Sapi Bali di Pulau Asalnya

https://cdn-assetd.kompas.id/xRWgmm5YL5o8MhhF9HRqvfQRyO0=/1024x1481/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F06%2F19%2Fbecda3bd-285a-40d3-ac7b-b74f5040c308_png.png

Bukan impor daging

Dosen Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Panjono, menyebutkan, Indonesia harus terus melakukan impor sapi hidup untuk mencapai swasembada daging. Sebab, ketersediaan pasokan sapi nasional belum mencukupi.

”Impornya berupa sapi dalam kondisi hidup, bukan berbentuk daging. Karena itu, dalam jangka panjang Indonesia perlu mengimpor sapi indukan, sedangkan jangka pendek mengimpor sapi bakalan,” jelasnya.

Jika 50 persen dari total lahan perkebunan sawit menyediakan satu hektar untuk satu hewan ternak, mampu menghasilkan 16,38 juta ternak sapi potong. Jumlah itu malah melebihi kebutuhan sapi nasional, yang sekitar 14 juta ekor, untuk mencapai swasembada.

Merujuk Outlook Komoditas Peternakan Daging Sapi 2022 yang dirilis Kementerian Pertanian, konsumsi daging sapi per kapita dalam setahun akan mencapai 2,77 kilogram pada 2026. Dengan jumlah penduduk yang diproyeksikan 306 juta jiwa di 2026, kebutuhan daging sapi pada tahun tersebut mencapai 795.000 ton.

Oleh karena itu, lanjut Panjono, sapi indukan masih dibutuhkan untuk meningkatkan populasi sapi secara nasional. Sementara itu, sapi bakalan akan dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan daging sapi Indonesia yang sangat tinggi.

Baca juga: Integrasi Ternak Sapi dan Kebun Sawit Tingkatkan Produktivitas

https://cdn-assetd.kompas.id/oJ1xKCCDqjhb5zoGZFQ7_p1Vq8Q=/1024x1301/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F06%2F18%2F7d1cc5f0-bcfa-4f8c-89d8-33b1952431d9_png.png

Dalam menekan kebutuhan impor, Indonesia dapat mulai memanfaatkan hutan industri dan perkebunan sawit untuk menyiasati keterbatasan lahan. ”Mau tidak mau, untuk menampung populasi sapi yang besar juga butuh lahan yang luas,” terangnya.

Integrasi lahan perkebunan sawit–yang luasnya sekitar 16,38 juta hektar–dan peternakan sapi dapat menjadi langkah untuk efisiensi. Menurut kalkulasi Panjono, jika 50 persen dari total lahan perkebunan sawit menyediakan satu hektar untuk satu hewan ternak, mampu menghasilkan 16,38 juta ternak sapi potong. Jumlah itu malah melebihi kebutuhan sapi nasional, yang sekitar 14 juta ekor, untuk mencapai swasembada.

Baca Juga:

> Sapi Pasundan, Kecil-kecil Cabe Rawit

> Inseminasi Buatan, Teknologi Meningkatkan Kualitas Sapi Nasional

Editor:
MUKHAMAD KURNIAWAN
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000