Tayib Biarpruga, Kapitan Kampung Sekru, Distrik Pariwari, Fakfak, Selasa (23/5/2023), tergesa menuju jalan masuk kampung. Di sana warga yang mempunyai keahlian memainkan sawat, alat musik sejenis rebana, telah berkumpul dan memainkannya kencang-kencang. Beberapa warga lainnya menari dengan menggerakan badan sedemikian rupa mengikuti irama rampak dari sawat.
Tidak berapa lama sebuah mobil berhenti dan Uskup Keuskupan Jayapura Mgr Yanuarius Theofilus Matopai You turun bersama perwakilan umat katolik, satu buah salib besar turut dibawa. Pertemuan tersebut menjadi rangkaian awal napak tilas 129 tahun misi Katolik di Papua.
Tayib kemudian mengajak tamunya untuk menuju rumahnya yang berada di samping dermaga kecil dengan diantar segenap warga kampung dan diiringi tetabuhan sawat. Lalu di depan rumah Tayib, Mgr Yanuarius Theofilus Matopai You memberi catatan saat memberikan sambutan. ”Indonesia harus belajar tentang toleransi dari Kampung Sekru ini,” ujarnya.
Kampung Sekru di Distrik Pariwari sendiri mempunyai nilai penting dalam sejarah masuknya Katolik di Tanah Papua 129 tahun lalu yang dibawa oleh Pastor Le Cocq d'Armandville SJ. Karena sudah beragama Islam, nenek moyang kampung Sekru (salah satunya nenek moyang dari Tayib Biarpruga) meminta pastor untuk bermalam, lalu memanggil keluarga mereka yang tinggal di daerah pegunungan yang belum menganut agama untuk datang.
Hingga kemudian warga di pegunungan yang berada di kawasan Torea tersebut mengimani Katolik sebagai agamanya. Kejadian itu lalu menjadi contoh dan penanda tumbuh suburnya toleransi di Kabupaten Fakfak hingga kini dan dibakukan dalam satu filosofi hidup Satu Tungku Tiga Batu.
Dari Kampung Sekru, Uskup Keuskupan Jayapura Mgr Yanuarius Theofilus Matopai You diantar dengan perahu oleh segenap warga Muslim untuk menuju lokasi perayaan 129 tahun misi Katolik di Papua di Pulau Bonyom. Gemuruh suara sawat terdengar nyaring dari satu perahu yang mendampingi sepanjang perjalanan. Sebelumnya mereka mampir ke salah satu tempat pertama kali Pastor Le Cocq d'Armandville SJ menginjakkan kaki di Kampung Sekru untuk membuka rangkaian perayaan dan dibuka oleh doa secara Islam yang dibawakan oleh Tayib Biarpruga.
Perayaan tersebut tidak hanya menjadi perayaan umat Katolik, tetapi juga perayaanseluruh warga di Fakfak. Untuk pendanaan kegiatanpun dilakukan secara swadaya melalui prosesi adat Wewowo Misi Katolik Maghi, sebuah proses yang biasa dilakukan saat akan ada pernikahan. Dalam prosesi dilakukan di depan Gereja Katolik Santo Yosep, warga dari berbagai keyakinan datang untuk menyumbang, baik secara pibadi maupun lembaga. Dalam proses tersebut berhasil terkumpul dana sebesar Rp 438 juta.
Di Pulau Bonyom, lebih kurang satu jam berperahu dari Kampung Sekru, ratusan warga telah menunggu. Sebelum sajian pentas budaya, diadakan misa perayaan. Di bawah tenda yang sama, mereka yang datang dari beragam keyakinan duduk bersama tidak dibeda-bedakan, hanya saja yang beragama Katolik kemudian berdiri saat misa dilaksanakan.
Setelah misa selesai, suara tifa bergemuruh mengiringi penari membawakan tarian titir. Sebagai simbol toleransi yang diagungkan di Fakfak, tarian dibawakan juga oleh penari Muslim. Tarian tersebut kemudian disambut warga dengan turut serta menari bersama.
Kebersamaan perayaan tersebut seolah menguatkan kembali identitas mereka sebagai anggota suku Mbaham Matta, suku besar yang mendiami Fakfak, yang menjunjung tinggi filosofi Satu Tungku Tiga Batu. Tungku bermakna kehidupan, sementara tiga batu bermakna aku, kamu dan dia, yang masing-masing memiliki perbedaan, baik agama, suku, maupun status sosial di dalam satu wadah bernama persaudaraan.