Kawasan wisata baru di selatan Jawa Barat terus memamerkan keindahannya. Tidak hanya menghidupi warga, keberadaannya juga ikut menjaga lingkungan tetap asri.
Oleh
CORNELIUS HELMY HERLAMBANG, ABDULLAH FIKRI ASHRI, MACHRADIN WAHYUDI RITONGA, TATANG MULYANA SINAGA
·5 menit baca
Destinasi wisata di Jabar selatan tidak hanya menarik wisatawan. Warga setempat kini lebih berdaya sembari menjaga kelanjutan masa depan bahagia.
Bangunan serba putih berkubah biru langit itu berdiri di atas bukit. Dari sana, tampak laut biru berombak putih. Debur ombak dan angin menderu. Sepintas, suasananya mirip Santorini, pulau yang terpecah karena letusan gunung berapi di Yunani. Namun, lokasinya di Jabar selatan.
Inilah Karang Potong Ocean View, destinasi wisata di Desa Saganten, Sindangbarang, Cianjur. Dibuka 2021, tempat ini menyajikan spot foto Instagramable, hingga penginapan berlatar pantai dengan pemandangan matahari terbit dan tenggelam.
”Awalnya, tempat ini hanya tanah lapang telantar. Setelah ditata sedemikian rupa, hasilnya memberikan kejutan pada banyak orang. Banyak yang tidak percaya keindahannya apabila tidak datang sendiri,” kata Jejen, Manajer Karang Potong Ocean View, Jumat (5/8/2022).
Suasana itu membuat Asep Setiawan dan keluarga tidak menyesal menempuh perjalanan dari Bekasi, berjarak lebih 230 kilometer ke Karang Potong, Jumat. ”Kawasan ini viral di media sosial. Tadi saya posting foto di sini, teman-teman nanyain. Mereka mau jadwalin ke sini nanti,” ucap karyawan di perusahaan percetakan ini.
Kehadiran Karang Potong juga menarik Siti Kulsum (25) pulang ke Sindangbarang. Selama empat tahun terakhir, ibu satu anak ini merantau sebagai pengasuh orang lanjut usia di Singapura. Bagi tamatan SMP ini, pilihan kerja di daerahnya dulu sangat minim
Akibatnya fatal. Ia berpisah dengan anaknya yang masih berusia tiga tahun. Pernikahannya kandas. Meski meraup sekitar Rp 7 juta per bulan, ia tetap kangen keluarga.
Hingga awal 2022, Kulsum mendengar desanya ramai wisatawan karena Karang Potong. Terlintas pula lowongan pekerjaan. Bertepatan kontraknya habis, ia memutuskan pulang. ”Gajinya kurang dari Singapura, tetapi di sini saya bisa lihat anak setiap hari,” kata satu dari puluhan tenaga kerja di Karang Potong ini.
Kini, ia bertugas di taman bermain anak dalam Karang Potong. Kulsum yang mengerti bahasa Inggris dan Mandarin dipercaya memandu turis asing.
”Pernah ada turis Arab yang berbahasa Inggris. Alhamdulillah, saya bisa komunikasi,” ujarnya.
Kehadiran Karang Potong telah menyulap tempat yang dulunya berupa kebun dan lahan menganggur kini menjadi lapangan pekerjaan bagi warga. Destinasi wisata baru ini tidak kalah menarik dibandingkan Sayang Heulang yang lebih dulu hadir.
Di Sayang Heulang, sekitar 160 km atau 5 jam dari Bandung, pengunjung dapat menikmati matahari terbit dan tenggelam. Setahun terakhir, Pemprov Jabar merevitalisasi Pantai Sayang Heulang.
Hasilnya, jembatan melingkar dengan pemandangan laut, tempat duduk di pinggir pantai, hingga spot foto Instagramable dengan sayap elang. Wisatawan membanjiri tempat itu.
Jumat sore, misalnya, Asep Ahmad bersama 14 anggota keluarganya berfoto ria di jembatan kayu Sayang Heulang. ”Dulu, tempat ini belum tertata, belum ada spot selfie (swafoto). Sekarang, kami tidak usah ke pusat kota Garut yang jaraknya hampir 70 km untuk pajang foto indah di media sosial,” kata warga Cisompet itu, sekitar 25 kilometer, dari Sayangheulang.
Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jabar Benny Bachtiar mengatakan, kolaborasi berbagai pihak pasti bisa membuka kesempatan kawasan wisata selatan, dari Sukabumi, Cianjur, Garut, hingga Tasikmalaya untuk bersama Pangandaran menjadi kawasan wisata ternama di Jabar.
Pangandaran memang masih menjadi guru terbaik. Bahkan, kini sebagian pelaku wisatanya berpikir lebih jauh. Bukan hanya memburu cuan, mereka ikut memikirkan masa depan bumi lebih baik.
Salah satu duta Pangandaran adalah Green Canyon. Pada Senin (8/8), kawasan itu memamerkan keindahannya pada Hafid (46). Bersama istri dan tiga anaknya, mereka datang dari Bekasi atau sekitar 300 km dari Pangandaran.
Setelah absen berlibur akibat pandemi, mereka mengambil paket body rafting menyusuri sebagian Green Canyon. Total jarak yang ditempuh selama perjalanan mencapai 5 kilometer atau hampir separuh kawasan.
Di sana, Hafid disambut aliran sungai deras yang beradu dengan batu-batu berukuran sebesar rumah. Setiap sisinya dikurung pilar-pilar ngarai menjulang. Ada juga stalaktit dari tetesan air atas lembah menghiasi dinding lembah. Tetesan ini turun bagaikan hujan abadi.
Adrenalin yang terpacu selama melewati jeram melandai di kawasan Batu Jamur. Ada batu besar yang kerap dijadikan titik loncat berbentuk payung. Di sana, pengunjung bisa berenang sebelum mengakhiri perjalanannya.
Di sebelah timur, sekitar titik penjemputan, mereka kembali takjub melihat jembatan alam yang menyambung dua lembah seakan mengangkangi sungai di bawahnya.
Bebatuan penghubung yang berada puluhan meter di atas kepala mereka ini disebut Cukang Taneuh (Jembatan Tanah). Nama itu populer sebelum dikenal dengan sebutan Green Canyon. ”Sangat puas. Tidak sia-sia datang ke sini,” katanya.
Manajer Operasional Badan Usaha Milik Desa Guha Bau Dede Kusnendar menjelaskan, aktivitas wisata ini berlangsung sejak 2009. Pamornya semakin melesat setelah muncul media sosial.
Akan tetapi, Dede mengatakan, pihaknya sepakat tidak ingin serakah. Ada aturan ketat demi menjaga kawasan tetap lestari.
Salah satunya pembatasan jumlah perahu hingga spesifikasi mesinnya. Perahu pengantar wisatawan maksimal 80 unit. Panjang perahu tidak lebih dari 6 meter dan hanya mengangkut 5 penumpang dan 1 pemandu. Mesin perahu dibatasi maksimal 7 tenaga kuda.
”Tujuannya agar riak kapal tidak terlalu keras. Apabila nekat, taruhannya adalah abrasi sepanjang sungai. Jika abrasi, ujungnya pasti akan merugikan kami. Saat kawasan ini rusak, siapa yang mau datang ke sini,” katanya.
Semua perahu yang lewat juga wajib mengambil sampah yang mengapung. Pembuang sampah bakal kena denda. ”Sungai ini tempat kami mencari makan. Kami sakit hati jika ada yang tega membuang sampah di sini,” ujar Dede.