Encih, Racikan Kehidupan Pindang Gunung
Encih Sarsih menjaga nikmat pindang gunung dari dapur sederhananya. Baginya, pindang gunung lebih dari sekadar masakan tetapi juga mengeratkan hubungan sesama.
Encih Sarsih (57) tidak pernah menyangka masakan pindang gunungnya menjadi inspirasi banyak orang. Lebih dari sekadar kuliner khas, sajian sup ikan khas Pangandaran itu menjadi sajian segar untuk bangkit dari segala keterpurukan.
Rabu (10/8/2022), dapur berukuran 3 meter x 2 meter itu sudah banyak berubah. Puluhan tahun lalu, luasnya tiga kali lipat sekarang, lantainya tanah, dan berdinding kayu. Kini, kini lantainya keramik dengan dinding beton berlabur cat kuning. Kompor gas menggantikan hawu atau perapian berbahan bakar kayu.
Fisik boleh jadi berganti. Namun, banyak juga yang tidak berubah. Kecintaan memasak Encih, pemilik dapur, masih hidup. Dibantu Ny Isem (62), yang puluhan tahun membantunya, kuliner pindang gunung tersaji bersama racikan bawang merah, bawang putih, cabai rawit, serai, salam, hingga kecombrang. Semuanya beradu rasa merendam ikan laut segar dalam air mendidih.
”Saya hanya menggunakan tiga jenis ikan, yaitu kue, kakap, dan mangmung karena dagingnya tebal dan tidak lekas hancur. Namun, ingat, ikan baru dimasukkan saat air mendidih. Tujuannya agar tidak merusak tekstur daging dan menjaga air tetap bening,” katanya.
Kira-kira setengah jam kemudian, pindang gunung siap disajikan. Rasanya ramai, asin, manis, pedas, hingga asam, meski tidak ada yang mendominasi. Segar dari honje juga muncul. Namun, yang paling meninggalkan sensasi lebih lama adalah hangat dari jahe.
”Resep pindang gunung ini diturunkan ibu saya di dapur ini. Tidak ada yang dilebihkan atau dikurangi. Sama,” kata Encih.
Di Jabar, pindang gunung identik dengan kuliner asal Pangandaran. Kata pindang tidak sama dengan pengertian diawetkan. Namun, merujuk pada pengolahan dimasak menggunakan kuah (diangeun). Lauk yang digunakan idealnya adalah ikan laut.
Sementara nama gunung diambil dari penggunaan bumbu dari kampung di wilayah pegunungan. Pangandaran memiliki dua keunikan geografis itu, memiliki bentangan pantai hingga puluhan kilometer tetapi juga punya banyak lahan perbukitan. Konon, pindang gunung awalnya populer warga di perbukitan tapi kemudian digemari masyarakat pinggir pantai.
Meski terlihat sederhana, tidak semua piawai membuatnya menjadi sajian istimewa. Encih menjadi salah satu koki andalan. Masakannya sudah diakui berbagai kalangan dalam dan luar negeri. Sebagian besar pindang-pindah dimasak di dapur rumahnya itu sebelum disantap.
”Saya bersyukur bila pindang gunung digemari banyak orang. Masakan ini sejak awal memang sarat kebersamaan. Ibaratnya, bila tidak kebagian ikannya masih bisa menikmati kuahnya,” katanya.
Tidak sengaja
Kisah Encih memopulerkan pindang gunung muncul tidak sengaja. Semua diawali tahun 2008 ketika ia bergabung dalam local working group (LWG) pemulihan tsunami Pangandaran yang terjadi dua tahun sebelumnya. Sebagai salah satu penyintas bencana, ia sadar benar Pangandaran yang terpuruk butuh bantuan banyak orang.
”Sejak remaja kebetulan saya suka berorganisasi. Waktu masih sekolah, kalau tidak bukan alasan organisasi saya dilarang keluar rumah oleh orangtua,” kata Encih.
Di LWG, awalnya dia hanya melakukan berbagai pendampingan sosial dan ekonomi, mulai dari ikut dalam pendampingan usaha kecil hingga penanaman mangrove. Dari sana, jejaringnya bertambah. Ia mulai kenal dengan pegiat UMKM, wisata, hingga pemerintah daerah.
”Saya lantas kenal dengan Pak Eri. Saat itu, Manajer Hotel Pantai Indah Timur di Pangandaran. Dari rekomendasi beliau, pindang gunung buatan saya dikenal banyak orang,” katanya.
Saat itu, Eri memintanya membuat seporsi pindang gunung dengan lauk ikan kakap merah. Hidangan itu lantas dibawa ke Hotel Pantai Indah Timur.
Tidak disangka, Encih sudah ditunggu beberapa wartawan. Pindang gunungnya ternyata akan dijadikan bahan liputan untuk mendorong Pangandaran bangkit kembali.
”Saya lupa surat kabarnya. Namun, beberapa hari kemudian, saya dikasih majalahnya. Di sampulnya ada foto besar bersama pindang gunung,” katanya.
Dari sana, Encih mulai dikenal. Sejak itu, dalam berbagai acara skala nasional dan internasional, ia selalu diminta memasak pindang gunung.
Salah satu yang berkesan saat diminta memasak untuk rombongan delegasi mancanegara, undangan salah satu bank ternama dalam rangka memulihkan investasi di Pangandaran. Ada pesan, seorang peserta tidak memakan ikan. Namun, semua buyar saat ia menyajikan pindang gunung buatannya.
”Dia ternyata makan paling lahap. Dari tidak suka ikan, ia ternyata makan paling lahap sampai beberapa kali tambah. Katanya itu adalah sup terenak dalam hidupnya. Kuahnya segar dan kaya rasa,” katanya.
Pindang gunung buatannya juga dibawa pameran mempromosikan Pangandaran ke sejumlah daerah di Indonesia. Selain kota dan kabupaten di Jabar, dia pernah diundang ke Bali untuk memasak pindang gunung.
”Saya senang bisa jalan-jalan ke sejumlah daerah di Indonesia. Di sana saya bisa membagikan ilmu memasak pindang gunung,” katanya.
Tahun 2018 juga tidak terlupa. Saat itu, dia ditunjuk mendampingi ibu-ibu PKK dari 10 kecamatan membuat 2.018 porsi pindang gunung dalam Festival Pindang Gunung. Penyelenggaranya Program Studi di Luar Kampus Utama Universitas Padjadjaran di Pangandaran. Ribuan sajian itu terekam sebagai rekor ke-8755 Museum Rekor Indonesia sebagai Sajian Pindang Gunung Terbanyak.
Selain itu, Encih menganggap pindang gunung lebih dari sekadar kuliner. Masakan ini juga dijadikannya sebagai sarana mempromosikan mitigasi bencana meminimalkan dampak tsunami. Encih kerap menyajikan pindang gunung untuk disantap bersama orang-orang yang membantunya menanan ribuan mangrove.
”Saya mulai (menanam) dari kawasan dekat rumah saya. Dulu, kawasan ini hancur dilanda tsunami. Sekarang, mangrove sudah mulai tumbuh lebat. Semua dilakukan bersama dengan warga. Pindang gunung ikut menghangatkan kebersamaan kami,” katanya.
Namun, hingga kini, Encih urung membuka rumah makan sendiri. Padahal, banyak orang meminta dia segera memulainya. Dia merendah, mengatakan belum cukup percaya diri. Apalagi, ia masih disibukan aktivitasnya sebagai pengajar.
Sekarang, dia tercatat sebagai kepala sekolah di SDN 6 Pangandaran. Bagi dia, pengabdian sebagai guru bagi anak anak sama pentingnya dengan menjaga pindang gunung sebagai masa depan Pangandaran.
Namun, ia tidak menutupi kemungkinan bakal membuka tempat kuliner khusus pindang gunung. Dia sadar, masakan khas ini masih kalah populer. Menunya masih terselip diantara sajian kuliner ikan bakar di Pangandaran. Rumah makan khusus bisa jadi membuat pindang gunung makin dikenal.
”Sekitar tiga tahun lagi saya akan pensiun. Setelah itu, bisa jadi saya dan anak akan membuka tempat makan khusus pindang gunung. Sekarang, seperti dulu saya diajarkan orangtua, saya kini tengah mendampingi anak untuk menyajikan pindang terbaik. Semoga ada jalannya,” katanya.
Biodata
Nama: Encih Sarsih
Tempat, Tanggal Lahir: Ciamis, 11 Januari 1965
Pendidikan terakhir: S-2 Manajemen Pendidikan Universitas Galuh (lulus 2015)
Suami: Rasyid Arimartian (alm)
Anak:
1. Fahmi Fasola (27)
2. Fauzan Aji (25)
3. Rima Srihatami (21)