Belajar Kecerdikan dari Singapura
Indonesia bisa mengatakan bahwa Singapura licik. Namun, di sinilah letak antara cerdik dan licik, tidak ada bedanya, hanya bergantung pada sudut pandang.
Singapura merupakan negara kecil dengan sumber daya manusia dan sumber daya alam yang sangat terbatas, tetapi dikelilingi oleh negara-negara besar. Singapura harus mampu mempertahankan eksistensi dan kehidupannya.
Di tengah keterbatasannya, berbagai upaya telah dilakukan. Oleh karena itu, Singapura telah sejak lama menjelmakan dirinya sebagai pusat perekonomian dan tingkat ekonomi yang luar biasa. Suara Singapura pun sangat diperhitungkan dalam kancah dunia.
Ketika negara besar seperti Indonesia mempunyai kepentingan yang bersinggungan dengan Singapura, seperti wilayah informasi penerbangan (flight information region/FIR), ”Negara Singa” ini menggunakan kecerdikannya untuk memastikan kepentingannya tidak terganggu.
Lima kecerdikan
Ada paling tidak lima kecerdikan Singapura saat berhadapan dengan Indonesia. Pertama, Singapura tahu apa yang menjadi kepentingannya dan fokus untuk mempertahankannya. Dalam kaitan dengan FIR, Presiden Joko Widodo sudah tepat untuk memiliki kebijakan mengambil alih pengelolaan FIR yang berada di atas Kepulauan Riau. Padahal, Singapura memiliki kepentingan besar untuk mengelola FIR. Tujuannya agar pesawat-pesawat mancanegara menurunkan dan menaikkan penumpang di Bandara Changi.
Bandara Changi telah lama menjadi hub bagi penumpang pesawat udara mancanegara. Para penumpang ini tidak berintensi berkunjung ke Singapura, tetapi bertukar pesawat untuk destinasi akhirnya. Keberhasilan Singapura menjadikan dirinya sebagai hub penerbangan telah diikuti oleh Dubai. Posisi ini tentu ingin dipertahankan oleh Singapura.
Ada paling tidak lima kecerdikan Singapura saat berhadapan dengan Indonesia.
Permasalahannya, apabila pengelolaan FIR diserahkan ke Indonesia, ini menjadi ancaman bagi Singapura. Bandara Changi tidak akan lagi menjadi hub. Dalam perspektif Singapura, pesawat-pesawat komersial mancanegara akan mengkhawatirkan keselamatan penerbangannya apabila Indonesia yang mengelola FIR. Atas dasar pemikiran ini, Singapura akan tetap mempertahankan pengelolaan FIR yang berada di atas kedaulatan Indonesia untuk dikelolanya.
Kedua, Singapura mempertahankan kepentingannya dengan bermain di level yang sangat detail. Ini berbeda dengan kebanyakan orang Indonesia yang tidak suka dengan masalah yang sifatnya detail.
Bagi ahli hukum (lawyer) yang menegosiasikan sebuah perjanjian, ada peribahasa yang selalu menjadi panduan, yaitu the devil is in the details.
Maksud peribahasa tersebut adalah seorang lawyer untuk menang dalam bernegosiasi harus bermain di level yang sangat detail. Apabila lawan negosiasi tidak suka dengan urusan detail, akan menjadi makanan empuk.
Bisa jadi ini yang terjadi dalam perumusan perjanjian FIR. Boleh saja Indonesia berbangga bahwa pengelolaan FIR telah berhasil diambil alih oleh Indonesia setelah berpuluh-puluh tahun berjuang. Namun, dalam kenyataannya Singapura masih tetap sebagai pihak pengelola.
Baca juga : Perjanjian RI-Singapura Dipertanyakan
Sebagaimana disampaikan dalam Siaran Pers Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, tanggal 25 Januari lalu, bahwa di wilayah tertentu di atas kedaulatan Indonesia, tanpa menyebutkan secara spesifik, Indonesia hanya mengelola FIR di atas 37.000 kaki. Sementara nol hingga 37.000 kaki didelegasikan ke Otoritas Penerbangan Singapura.
Padahal, justru di ketinggian nol hingga 37.000 kaki ini penting bagi pesawat udara karena dalam ketinggian ini pesawat udara melakukan pendaratan dan lepas landas. Sementara di ketinggian di atas 37.000 kaki pesawat udara hanya melewati ruang udara yang tentu pengelolaannya pun tidak rumit.
Dengan masih mengelola wilayah udara nol hingga 37.000 kaki yang merupakan pendelegasian dari Indonesia, maka Singapura secara de facto mengelola FIR di atas kedaulatan Indonesia. Lalu apa bedanya dengan yang selama ini berlangsung?
Pemanis
Ketiga, Singapura memberi pemanis kepada mitranya agar lengah dengan tujuan utama. Agar Indonesia lengah dengan tujuan utama pengalihan pengelolaan FIR, maka Singapura memberi pemanis berupa volume investasi 9,2 miliar dollar AS.
Keempat, Singapura pandai memanfaatkan ancaman menjadi peluang. Dengan beralihnya FIR ke Indonesia, Singapura menarasikan ini menjadi kerugian bagi Singapura. Oleh karenanya, sebagai kompensasi Singapura meminta perjanjian kerja sama pertahanan atau yang dikenal sebagai defence cooperation agreement (DCA), yang pernah ditandatangani oleh kedua negara pada tahun 2007, dihidupkan kembali. Singapura berharap perjanjian pertahanan ini segera diratifikasi.
Perjanjian pertahanan yang dikehendaki oleh Singapura adalah dalam rangka memfasilitasi militer Singapura untuk berlatih di beberapa bagian wilayah Indonesia.
Pada tahun 2007, banyak pihak di Indonesia keberatan atas perjanjian pertahanan tersebut, sampai-sampai Presiden ketika itu, Susilo Bambang Yudhoyono, urung menerbitkan surat presiden ke DPR untuk dilakukannya pembahasan dan pengesahan perjanjian pertahanan tersebut.
Kini, perjanjian yang sama telah ditandatangani tanpa sedikit pun perubahan. Indonesia seolah lupa pada kehebohan pada tahun 2007.
Lucunya, saat Singapura meminta perjanjian pertahanan, agar terlihat gagah, Indonesia meminta perjanjian ekstradisi untuk ditandatangani ulang. Kalaupun ada perubahan, maka perubahan terkait masa retroaktif dari yang tadinya 15 tahun menjadi 18 tahun.
Padahal, di tahun 2007, masa retroaktif 15 tahun dimaksudkan agar menjangkau mereka yang terlibat dalam kasus bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Sebagian dari mereka melarikan diri ke Singapura, bahkan berganti kewarganegaraan menjadi warga negara Singapura.
Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong dan Presiden Joko Widodo memberikan keterangan bersama seusai Leaders' Retreat di Bintan, Kepulauan Riau, Selasa (25/1/2022).
Terakhir, kecerdikan Singapura adalah memaketkan tiga perjanjian tersebut. Pemaketan seperti ini sangat merugikan, baik pada tahun 2007 maupun saat ini. Merugikan karena pertukaran dokumen ratifikasi satu perjanjian akan dikaitkan dengan pertukaran dokumen ratifikasi perjanjian yang lain. Ini mengingat suatu perjanjian yang harus melalui proses ratifikasi harus ada pertukaran dokumen ratifikasi agar efektif berlaku.
Dalam konteks demikian, perjanjian FIR, meski sudah disahkan oleh masing-masing parlemen, belum dapat berlaku apabila tidak dipertukarkan. Singapura tentu akan meminta pertukaran dokumen ratifikasi tidak hanya atas perjanjian FIR, tetapi juga pertukaran dokumen ratifikasi perjanjian pertahanan.
Dibutuhkan
Memang kecerdikan dalam bernegosiasi dan menuangkan dalam kalimat hukum di perjanjian sangat dibutuhkan. Ini agar kepentingan dapat terakomodasi. Bagi Singapura memanfaatkan kecerdikannya sangatlah wajar.
Pertanyaannya bagaimana bagi Indonesia sebagai negara mitra Singapura? Indonesia bisa mengatakan bahwa Singapura licik. Namun, di sinilah letak antara cerdik dan licik, tidak ada bedanya, hanya bergantung pada sudut pandang.
Persahabatan Indonesia dan Singapura harus terus dijaga. Namun, apakah kita akan memaklumi dan terus menjadi pecundang? Indonesia tentu harus banyak belajar dari Singapura yang bermain dengan kecerdikannya.
Hikmahanto Juwana Guru Besar Hukum Internasional UI, Rektor Universitas Jenderal A Yani